Laman

Kamis, 14 Maret 2013

Uang Saku : Seberapa Nilai yang Layak?

 
     Sebagai orang tua kita harus paham, bahwa masalah uang bukanlah masalah sepele. Uang memang bukan segala-galanya tapi kita juga tahu bahwa dengan uang kita bisa mendapatkan/melakukan banyak hal, meski bukanlah segala hal. Sehingga sangatlah penting bagi kita sebagai orang tua untuk peduli mengajarkan persepsi yang baik kepada anak tentang nilai uang serta bagaimana pengelolaannya
Sebagai langkah awal kita bisa memulainya dari pengelolaan uang saku.

#Uang Saku ; Perlukah Anak-anak Diberi Uang Saku? (ini sudah saya ceritakan dibagian sebelumnya)

Itu artinya pengaturan pola jajan anak juga jangan dipandang sepele, karena ini akan menyangkut banyak hal, seperti :

1. Pembiasaan yang baik (yaitu tentang pengendalian diri, dimana mereka anak-anak kita akan belajar mengekang keinginannya, yang akan dibawanya kelak hingga dewasa dan mungkin akan diadopsinya untuk cucu-cucu kita),
2. Masalah kedisiplinan (dimana mereka anak-anak kita akan belajar bahwa ada batas-batas yang tidak boleh dilanggarnya dan mereka 'harus' belajar mematuhi aturan main),
3. Meluruskan persepsi mereka tentang uang (jika mereka mudah mendapatkanya, berapa saja dan kapan saja, maka mereka tidak akan tenang jika tidak memperolehnya dan ini akan mendorong mereka untuk melakukan 'banyak hal', karena uang jajan sudah menjadi sesuatu hal yang wajib dan akan menimbulkan 'candu' jajan.)

#Uang Saku ; Berapa kali boleh Jajan, di rumah dan di sekolah.
Ingatlah apapun yang sering kita terapkan
adalah pembiasaan yang akan  terpola pada anak dan akan berubah menjadi kebiasaan. Jadi berhati-hatilah. Pikirkan ulang dan lakukan tinjauan, apa anak-anak masih membutuhkan uang saku di luar jam sekolah? Berapa kali anak-anak kita boleh jajan?
Ini cerita saya dan anak-anak :
Saya pribadi tidak menerapkan uang saku atau jajan rutin di luar jam sekolah. Karena setelah anak-anak saya memasuki usia sekolah itu berarti waktu mereka sudah tersita (nyaris) habis untuk kegiatan sekolah. Sedangkan sebelum usia sekolah anak-anak saya tidak terbiasa jajan-jajan seperti itu, karena saya terbiasa men-stok makanan di rumah atau kalau tidak makanan/minuman saya bikin sendiri. Sesekali mereka saya bawa jajan di luar, itu untuk variasi dan bersenang-senang, dan tentu saja agar mereka juga merasakan seperti anak-anak lainnya yang jajan di luar rumah/sekolah, tapi itu sesekali; tidak rutin.
#Setelah itu baru kita menentukan, Uang Saku ; Berapa Nilai yang Layak?

Ini anak ke-2 saya, namanya Hamzah, yang selalu berterima kasih setiap dapat uang saku Rp 3.000,- yang tidak mau masuk SD hanya karena SDIT itu bukan Ummi yang punya, dan uang sakulah yang memicunya untuk mau sekolah

Sebenarnya berapa sih uang saku yang layak untuk bekal anak-anak kita ke sekolah?

     Sampai saat ini saya belum menemukan panduan tentang jumlah nilai uang yang layak bagi anak ke sekolah. Ini bisa dimengerti karena masalah uang saku pada dasarnya adalah kebijakan internal rumah tangga, tidak seorangpun yang bisa mengintervensinya.
Saya hanya menemukan panduan-panduan tentang pengaturan pola jajanan sehat anak-anak. Panduan inipun didasarkan pada tinjauan-tinjauan ilmu psikologi tentang pola pengasuhan dan pembiasaan anak.

Beberapa point  (menurut saya) yang harus dipertimbangkan dalam menetapkan nominal uang saku anak ke sekolah, yaitu :

1.  Menaikkan standar hidup gampang, tetapi menurunkannya susah.

     Kita semua tahu bahwa menaikkan standar hidup itu gampang/mudah jika kita berkemampuan secara ekonomi, tetapi untuk menurunkannya itu sulit, karena kita sudah terbiasa dengan hidup yang serba ada dan serba mudah.
Nah...masalah inipun akan dialami oleh anak-anak kita, jika kita membiasakan mereka 'keberlimpahan' yang jauh dari nilai 'mendidik' maka akan sulit bagi mereka ketika harus menurunkan standar hidupnya.
Barangkali memang sekarang kita 'mampu', pertanyaanya: "akankah kita akan selalu mampu?"
Ok, baiklah jika kita yakin akan mampu terus, pertanyaan selanjutnya: "akan kita didik seperti apa anak kita? Tidakkah kita khawatir jika mereka berpikir bahwa semuanya mudah untuk digapainya?"

Inilah yang didalam ilmu psikologi anak disebut sebagai bentuk mencintai anak dengan cara yang tidak tepat, memanjakan dengan cara yang tidak mendidik, menjerumuskan anak sendiri. 
Bahwa rasa sayang dan cinta itu bukanlah berarti memberi segala pintanya, memenuhi segala maunya. Jika anak sudah menjadi anak penuntut dimana segala maunya harus dikabulkan, segala pintanya harus diikuti maka ketika itu semua tidak terpenuhi yang akan terdengar adalah jerit tangis tak terkendali, membanting-banting ini dan itu, bahkan bisa mengancam orang tuanya.
Maka alangkah lebih baiknya jika kita memang mencintai anak-anak kita, sudah selayaknyalah kita memilih cinta yang mendidik. Tak usah khawatir, sesekali anak perlu menangis agar ia tahu bahwa sekalipun ia menangis tidaklah itu berarti ia akan mendapatkan maunya.

Itulah gunanya segala keputusan terkait anak harus dilihat dari sudut pandang anak, mereka diajak berdiskusi untuk memutuskan dan tanya serta dengarlah apa maunya sebelum kita mengambil keputusan tentang mereka.

2.  Menerapkan pola jajanan sehat.

     Anak-anak kita harus tahu tentang bahaya jajan sembarangan, ini bukan hanya untuk kesehatan fisik mereka tapi juga untuk mental. Perlahan anak-anak akan belajar mengendalikan diri tentang apa yang boleh dan tidak boleh, apa yang dibutuhkannya dan apa yang diinginkannya. Serta anak akan belajar hemat, yakni ketika memang tidak ada yang boleh dan tidak ada yang perlu dibelinya maka uangnya bisa disimpan untuk membeli sesuatu yang lain yang  barangkali akan lebih besar nilai uangnya.

Saya pribadi menetapkan besarnya uang saku anak ke sekolah setelah melewati beberapa tahapan :

  • Melakukan survey jajanan di kantin sekolah, tentang jenis jajanan mana saja yang boleh dibelinya, dan berapa harganya, kemudian saya rata-ratakan.
  • Melihat pengelolaan jam turun main (istirahat) anak, seberapa besar kemungkinannya untuk menjambangi kantin.
  • Berusaha menstandarkannya dengan besarnya uang yang boleh dibawa anak ke sekolah sesuai dengan peraturan sekolah. (Ini karena di JSIT tempat anak saya bersekolah diberlakukan jumlah maksimal uang yang boleh dibawa anak ke sekolah) 
  • Mengajak anak berbicara tentang uang jajannya.

     Dulu anak sulung saya ketika di Pekanbaru dibekali uang jajan Rp 4.000,- , tetapi kemudian ketika kami pindah ke Semarang uang jajannya saya turunkan menjadi Rp 3.000,- ,tentu saja setelah melalui tahapan di atas dan setelah menganalisis pilihan jajannya. Ternyata Rp 3.000,- itu sudah cukup sekalipun pada kenyataannya uang jajan temannya lebih banyak, bahkan tidak jarang anak saya membawa pulang kembali uang saku utuh. (ini ada triknya, mudah-mudahan di lain  masa saya bisa berceloteh lagi, insyaaLlah).

Proposal Penaikan Anggaran Belanja

     Biasanya setelah kita menentukan jumlahnya, akan ada masanya anak-anak meminta lebih dari yang biasa.
Pernahkah si kecil kita mengajukan proposal penaikan anggaran belanja? Ayo...bagaimana kita mensikapinya?

Barangkali pertanyaan yang pertama muncul di benak kita ketika anak-anak mengajukan proposal penaikan anggaran adalah, "Apakah uang saku yang selama ini kurang?"; sebaiknya pikiran ini ya. Bukannya pikiran ,"Nih anak gak tahu diri banget, gak tahu bersyukur, jajan-jajan mulu yang ada dipikirannya." hahaha...

Kenapa??
     Karena apa yang kita pikirkan cenderung akan terlontar secara spontan, apalagi kalau kita termasuk tipe-tipe orang tua yang reaksioner terhadap pendapat, khususnya pendapat anak-anak.
Karena setelah kita berpikir cenderung kemudian kita akan mengambil tindakan.

Ketika yang kita pikirkan ,'apakah uang saku yang selama ini kurang', biasanya kita akan mencoba menganalisis dan kemudian akan bertanya ,"Nak, untuk apa uang jajan tambahan?"

Tetapi ketika kita berpikir ,'Nih anak gak tahu diri banget,....', biasanya reaksi kita akan emosional, kemampuan kita untuk mencoba mendengarkan anak akan berkurang apalagi jika kondisi ekonomi dalam 'bahaya'. Maka kita akan cenderung berceramah panjang lebar, kita akan menyerang pribadi anak sebagai anak yang 'tidak tahu diri' dsb, memberinya cap/label 'boros' dsb,sehingga kita tidak memiliki waktu untuk mendengarkan alasannya. Karena waktu kita tersita untuk meluapkan emosi.

     Jadi berhati-hatilah mensikapi celotehan anak, rileks. Namanya juga anak, dah bagus mereka mau berterus terangkan? Bukankah itu yang kita inginkan? Bagaimana kalau kemudian anak takut ngomong tapi justru dia melakukan tindakan, seperti mengambil uang di dompet kita tanpa izin, atau menipu uang saku saudaranya, atau yang lebih parah menjadi 'pencuri/pemalak' kecil di kelas, atau bahkan lebih parah lagi yaitu menjadi anak yang minder bahkan tersisih di antara teman-temannya?

Ini salah satu contoh ketika anak saya mengajukan proposal kenaikan anggaran belanja.
Ketika anak sulung saya (yang kala itu baru kelas 1 SD di Pekanbaru) minta uang saku ke sekolah lembaran 5 ribu rupiah, padahal biasanya saya hanya memberinya 4 ribu rupiah. Setelah saya usut, ternyata keinginannya itu dikarenakan teman-temannya yang rata-rata membawa uang 5 ribu, bahkan lebih dari 1 lembar 5 ribu. Padahal sekolah tidak mengizinkan membawa uang saku lebih dari 5 ribu rupiah. Setelah berdiskusi dengan anak, saya memutuskan memberinya kesempatan membawa uang 5 ribu rupiah.
Untuk memutuskan uang jajan 4 ribu rupiah, saya telah melakukan survey : pagi-pagi sesampai di sekolah anak saya dalam kondisi perut kenyang karena saya biasakan sarapan pagi bergizi, sekitar jam 8.30 pagi mereka istirahat pertama itupun sudah terjadwal shalat dhuha berjamaah, sekitar jam 10.30 mereka istirahat kedua dan inilah jam jajan yang sebenarnya, kemudian jam 12.30 siang istirahat untuk shalat zuhur berjamaah dan makan siang bekal yang dari rumah hingga 1.30 siang, kemudian belajar lagi hingga 3.30 sore seterusnya shalat ashar berjamaah dan bersiap-siap untuk pulang. Jadi melihat nilai jajanan  di sekolah saya memutuskan untuk memberinya uang saku 4 ribu rupiah, itu berarti kira-kira untuk 2 potong jenis kue.
Dan kemudian setelah beberapa hari apa yang terjadi setelah anak saya 'memperoleh' 5 ribu rupiahnya?
Kejadian pertama, uang jajan anak saya 'ditilap' temannya karena anak saya belum mengerti nilai uang secara konkrit. (seperti celoteh saya di 'uang saku disebelumnya)
Kejadian kedua, anak saya sudah kenyang karena jajan, sehingga makan siangnya tak tersentuh (secara berarti).
Kedua kejadian itu jelas tidak saya inginkan, sehingga menggiring saya mengambil tindakan selanjutnya yaitu mengembalikan nilai uang sakunya ke nilai semula dan mulai mewarningnya bahwa uang saku bisa saja 'tiada sama sekali' jika bekal makan siangnya tidak habis dimakannya atau 'tidak disentuhnya.'
Demikianlah, ternyata Uang Saku bisa memberi pelajaran yang banyak untuk kita dan si buah hati.
Sudah dulu celoteh kali ini ya, walau terasa sulit tangan ini berhenti, masih pengen berceloteh tentang bagaimana jika anak ketagihan jajan? Mudah-mudahan ini bisa di lain masa ya, insyaaLlah.

WaLlahu'alam, semoga bermanfaat.





terimakasihsudahmampir,jikaberkenansilahkantinggalkanjejak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar