Laman

Selasa, 03 Februari 2015

Jilbab Tumbung Beruk


Pada masa yang telah berlalu di rumah orang tua tempat saya dibesarkan, jika ada yang disuruh melakukan sesuatu dan tidak selesai-selesai pekerjaan itu dalam waktu yang lama, maka bapak saya akan mengatakan, “Ha..lah bakukuak pulo anjiang dek manunggu.” (B.Ind. : Sudah sampai berkokok pula anjing selama menunggu).

Atau ketika ada yang  disuruh untuk menjemput sesuatu namun tak kunjung kembali maka bapak saya akan mengatakan, ”Bak manyuruah kuciang manjapuik api.” (B. Ind. : Seperti meminta kucing mengambil api)

Atau ketika ada yang susah payah menyuruhnya melakukan sesuatu seperti susah menyuruh mandi, maka bapak saya akan mengatakan, “Alah badaun muluik, tapi bak manyuruah kambiang mandi.” (Sudah banyak nasehat namun seperti membawa kambing ke air)


Dan masih banyak lagi pepatah yang sejak kecil sudah terbiasa saya dengar. Dimana pepatah-pepatah itu kebanyakan mengambil objek dari alam.
Seperti:
Indak balubang pinjaik (Tidak berlubang jarum jahit)
Bak mamasuak-an unto ka lubang pinjaik (Seperti memasukkan unta melewati lubang jarum jahit)
Bak manambah garam ka lawik (Seperti menambahkan garam ke air laut)
dsb...
Maka saya pun sudah terbiasa tanpa saya sadari untuk kalimat-kalimat pengandaian mengandalkan apa-apa yang ada di sekeliling saya, atas apa-apa yang saya lihat dan yang saya rasakan.




Saya tertarik dengan hijab sejak kecil. Sejak kecil di masa saya tumbuh, saya terbiasa melihat perempuan-perempuan remaja/ dewasa di sekeliling saya berbaju kurung pada banyak kesempatan. Dan pada kesempatan tertentu saya melihat anak-anak remaja yang bersekolah di MTsN atau PGA yang berada dalam lingkungan saya tumbuh memakai lilik.
Lilik adalah pakaian khas mereka. Orang-orang sekarang menyebutnya pashmina. Sebenarnya kepada lilik inilah pertama kali saya jatuh hati.

Kebetulan saya tinggal di sebuah kampung yang merupakan pusat kenagarian dan juga merupakan ibu kota kecamatan, pun sangat dekat dengan pusat pemerintahan kabupaten. Juga berada di daerah jalur lintas sumatera (jalinsum) yang merupakan jalur antar kota antar propinsi.
Sehingga diantara kampung-kampung/ korong-korong kecil dalam kenagarian tempat saya tumbuh kampung saya sedikit lebih maju.
Maaf tidak bermaksud meremehkan, tapi memang seringkali penduduk yang tinggal di korong-korong itu sedikit agak tertinggal dalam banyak hal. Terkadang kami yang tinggal sedikit di pusat ini mengolok-ngolok gaya berpakaian, pilihan busana bahkan pilihan warnanya. Kami menyebutnya udik.





Pada malam-malam tertentu di bulan Ramadhan, orang-orang dari kampung-kampung dalam kenagarian itu turun ke kampung kami untuk berpartisipasi dalam kegiatan menyemarakan malam Nuzul Qur’an.
Dan sejak kecil saya sudah biasa terlibat.
Ninie kecil(itu saya) terbiasa memang memperhatikan sekeliling. Saya kurang suka bicara banyak tapi lebih suka memperhatikan orang dan lingkungan.
Nah, gaya berhijab mereka tak luput dari perhatian saya.




Sudah saya katakan bahwa meski lahir dari keluarga muslim, saya malah tidak tahu kalau berhijab itu wajib bagi muslimah yang sudah baligh. Tidak ada yang memberi tahu saya. Sehingga ketika saya berhijab (memakai busana yang menutup aurat plus jilbab di kepala) saya lebih condong memakai insting. Nilai keindahannya memakai standar nyaman di diri sendiri.

Maka saya perhatikanlah orang-orang di sekeliling saya.



Rata-rata yang berasal dari kampung saya, jika mereka berjilbab, bagian belakang jilbabnya kempes. Kalaupun lilik menjadi pilihannya itu juga kempes di bagian belakang kepalanya.

Sedangkan orang-orang yang kami sebut udik itu memakai jilbab/ lilik, pada bagian belakang kepalanya seringkali ada sesuatu yang menonjol di bagian belakang kepalanya.
Saya yakin itu rambut, karena rata-rata orang kampung itu rambutnya panjang. Jadi kebanyakan mereka menyanggul rambutnya. Bahkan mungkin ada yang memakai anak jilbab (agar jilbabnya tidak lari-lari) hanya saja anaknya agak lebar sehingga perlu digelung.




Singkat kata singkat cerita, saya lebih nyaman dengan gaya jilbab dimana bagian belakang kepalanya kempes. Saya tidak suka bagian belakang kepala yang menonjol. Selain dari nilai keindahan di mata saya itu juga merupakan gaya jilbab orang-orang yang kami sebut udik.



Kembali ke bagian awal, maka kami pun mulai mengolok-ngoloknya dengan istilah yang kami pungut dari alam.
Kebetulan karena tinggal di kampung, boleh dikatakan saya ini tiap hari melihat beruk. Karena beruk dan majikannya suka mondar-mandir di jalan depan rumah saya (kebetulan rumah orang tua saya di pinggir jalan). Biasanya pasangan majikan dan piaraan ini bekerja sama mencari nafkah dengan cara mengambil upah memetik kelapa.

Beruk (saudaranya monyet) memiliki tumbung di bagian belakang tubuhnya arah ke bawah. (Maaf, sebenarnya lebih tepatnya itu di sebut bagian pantatnya).

Pada hari-hari biasa saja tumbung beruk ini sudah sangat besar. Terlihat dengan jelas karena itu menonjol. Coba anda bayangkan tumbung itu jika pada masa kawin beruk. Tumbung itu semakin membesar dengan warna memerah nyala.
Dan itu kami jadikan olok-olokan untuk jilbab yang membengkak di bagian belakang kepala si pemakai.
“Ondeh gadangnyo lai tumbuang (Ya ampun, besarnya tumbungmu),” Kurang lebih seperti itu.

Beruk sedang memanjat kelapa
 Sumber: Google, Wonderful Indonesia


Maka setiap saya memakai jilbab (jauh sebelum saya memutuskan untuk berhijab) saya selalu memastikan bahwa tidak ada tumbung di bagian belakang kepala. Saya selalu mengelus-ngelusnya untuk memastikan bahwa tidak ada rambut yang menggumpal/ menggembung di situ.

Dan karena saya pun berambut panjang, maka saya lebih memilih menjalinnya kemudian kemudian melipat-lipatnya dan memastikan bahwa lipatan jalinan rambut itu bertengger dengan manis di atas pundak saya.


Nah, setelah saya memutuskan berhijablah saya mengenal istilah jilbab punuk unta.

Jujur saja, sekarang ini setiap melihat hijaber yang memakai jilbab punuk unta saya selalu teringat akan tumbung beruk.

Mohon maaf banget buat para hijaber, teman-temanku yang memilih gaya jilbab ini. Istilahku tidak kejam, kan? Toh Rasulullah saw sendiri juga menggambarkannya dengan istilah punuk unta.

Ini jilbab punuk unta
Sumber: Laman FB Artikel, Renungan dan Kisah Motivasi II


Jika kita memakai jilbab sedikit pendek sedangkan rambut kita panjang, sekalipun kita menjalinnya, secantik apapun kita melipatnya tetap akan membuat di bagian belakang kepala membengkak dan bagian pundak akan sedikit kelihatan. Itu artinya tetap ada tonjolan dan rawan tersingkap angin.

Alhamdulillah semenjak saya memilih jilbab besar dan lebar, masalah saya terselesaikan dengan sendirinya. Rambut panjang akan saya jalin kemudian jalinan rambut itu saya letakkan diantara pakaian dalam dan pakaian luar saya. Sehingga bagian belakang punggung saya tidak perlu kegelian ataupun gerah karena keringat.



Saudariku para hijaber, ketahuilah bahwa ALlah tidak perkenankan kita untuk mencium bau surga jika ada punuk unta di bawah jilbab/ lilik/ pashmina yang kita pakai.

Ini tinjauannya:


Dari Abu Hurairah ra., beliau berkata bahwa Rasulullah saw bersabda,

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat:

(1) Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan

(2) para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok,

kepala mereka seperti punuk unta yang miring.

Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, padahal baunya dapat tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128).


Sayang sekali bukan? Kita bersusah-susah dalam berbusana bahkan sampai ada yang mengalami kesulitan dalam kehidupan namun ternyata niat kita menyempurnakan kesungguhan kita dalam ber-islam justru tidak berbuah surga. Bagaimana mungkin bisa masuk sedangkan kita tidak patuh pada panduan yang diberikan Rasulullah Muhammad saw.

Saya mengerti apa itu yang disebut proses. Seperti halnya membalik telapak tangan, tentu tidak mudah untuk merubah sesuatu terlebih jika kita menyukainya. Kita akan mengemukakan beribu alasan untuk pembenaran.
Namun hendaknya seiring dengan berjalannya waktu kita jadi tahu, sesungguhnya penutup kepala yang seharusnya itu seperti apa. Pelajarilah. Sungguh banyak sumber-sumber yang bisa kita cari sekarang ini.



Secara fashion mungkin terkesan kurang indah. Nilai estetikanya rendah. Namun cobalah pikir ulang, sebenarnya kita ini berhijab buat apa sih? Apakah untuk menerima seruan ALlah ataukah hanya sekedar fashion?
Maka luruskanlah niatmu. Iman yang benar itu saudaraku, setelah kita ilmui, benarkan dalam hati lalu amalkan dengan benar, barulah ia bernilai ibadah.
Alhamdulillah, bagus sudah berhijab.
Alhamdulillah, pakaian yang kita pilih adalah yang menutupi aurat bukan yang membungkus aurat.
Alhamdulillah, jilbabnya sudah memenuhi standar yaitu menghulur hingga menutupi dada. Nah sekarang sesuaikan dengan panduan yang diberikan Rasulullah, berhentilah membuat tonjolan di atas atau di belakang kepala atau di atas pundak kita, karena itu berarti membuat punuk unta.
Jadi jangan sia-siakan apa yang sudah kita pilih.

Tidak berniat sok hebat, ya. Tapi dengan mengistilahkan jilbab punuk sama dengan jilbab tumbung beruk, saya jadi enggan terlihat cantik dalam defenisi pandangan zahir kebanyakan manusia.



Sedikit cerita sebelum sampai ke ujung.
Dalam sebuah kesempatan safar kami beristirahan di atas kapal dalam perjalan menyeberangi Selat Sunda. Saya yang terkantuk-kantuk membawa 3 bocah saya untuk mencari tempat istirahat di atas kapal. Mata saya menangkap seorang muslimah yang berhijab. Saya lihat ia kerepotan meletakan kepalanya di lantai sementara anaknya minta disusui. Setelah anaknya tertidur ia mencoba berbaring telentang. Namun ia duduk lagi, ternyata ada yang mengganjal kepalanya. Saya terus perhatikan muslimah itu dalam remang-remang cahaya lampu.
Saya lihat ia melepaskan ganjalan di kepalanya yang barangkali selama diperjalanan telah memberi kesan jilbabnya tidak kempes. Entah bongkahan apa itu, ia melepaskannya. Ternyata rambutnya pendek. Setelah lepas baru kemudian ia berbaring telentang beristirahat.
Saya pun kemudian mengalihkan pandangan sambil berfikir. Jika sampai begitu repot pilihan fashion itu, kenapa masih banyak orang yang memilih repot?
Entahlah. Saya pun kemudian berbaring tanpa harus membongkar jilbab saya karena memang tidak ada yang perlu dibongkar di sana.



Bisikan setan itu sungguh canggih, saudaraku. Beralasan fashion dan beralasan menyesuaikan dengan zaman kita jadi memandang indah apa-apa yang dilarang ALlah melalui Rasul-Nya Muhammad saw.
Saking getolnya setan itu, jika rambut kita sedikit/ pendek, maka berdalih kretifitas mereka membuat sambungan-sambungan rambut untuk sekedar membuat ia menonjol. 
Kadang itu berupa sanggul, kadang permainan jilbab dari bahan yang lebih tipis. Bahkan saya pernah melihat itu adalah hiasan rambut yang besar seperti bunga kembang. Bermacam caranya. Kemudian segala macam tambahan rambut itu ditutupi dengan jilbab. Maka menggembunglah jilbab sejadi-jadinya. Ada gembungan yang kecil dari kepala bahkan tak jarang gembungannya nyaris dua kali kepala ukurannya. MasyaaALlah.
Semua terpulang padamu, saudariku. Sudah sampai kabar tentang jilbab/ lilik/ pashmina yang benar kepadamu, akankah engkau tergoda?

Janganlah marah padaku dan jangan memutus persaudaraan hanya karena persoalan jilbab tumbung ini. Ini semua juga karena aku mencintaimu karena ALlah, saudari-saudariku, di bagian bumi ALlah manapun engkau berada.
WaLlahu'alam 

Ini artikel terkait Jilbab Punuk Unta:

1. 3 Gaya Wanita yang Tidak Mencium Bau Surga. 

2. Jilbab Punuk Unta di Kalangan Akhwat Pengajian

3. Gambaran Wanita Menggunakan Jilbab Punuk Unta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar