Pada masa yang
telah berlalu di rumah orang tua tempat saya dibesarkan, jika ada yang disuruh
melakukan sesuatu dan tidak selesai-selesai pekerjaan itu dalam waktu yang
lama, maka bapak saya akan mengatakan, “Ha..lah bakukuak pulo anjiang dek
manunggu.” (B.Ind. : Sudah sampai berkokok pula anjing selama menunggu).
Atau ketika ada
yang disuruh untuk menjemput sesuatu
namun tak kunjung kembali maka bapak saya akan mengatakan, ”Bak manyuruah
kuciang manjapuik api.” (B. Ind. : Seperti meminta kucing mengambil api)
Atau ketika ada
yang susah payah menyuruhnya melakukan sesuatu seperti susah menyuruh mandi,
maka bapak saya akan mengatakan, “Alah badaun muluik, tapi bak manyuruah
kambiang mandi.” (Sudah banyak nasehat namun seperti membawa kambing ke air)
Dan masih
banyak lagi pepatah yang sejak kecil sudah terbiasa saya dengar. Dimana
pepatah-pepatah itu kebanyakan mengambil objek dari alam.
Seperti:
Indak balubang
pinjaik (Tidak berlubang jarum jahit)
Bak mamasuak-an
unto ka lubang pinjaik (Seperti memasukkan unta melewati lubang jarum jahit)
Bak manambah
garam ka lawik (Seperti menambahkan garam ke air laut)
dsb...
Maka saya pun
sudah terbiasa tanpa saya sadari untuk kalimat-kalimat pengandaian mengandalkan
apa-apa yang ada di sekeliling saya, atas apa-apa yang saya lihat dan yang saya
rasakan.
Saya tertarik
dengan hijab sejak kecil. Sejak kecil di masa saya tumbuh, saya terbiasa
melihat perempuan-perempuan remaja/ dewasa di sekeliling saya berbaju kurung
pada banyak kesempatan. Dan pada kesempatan tertentu saya melihat anak-anak
remaja yang bersekolah di MTsN atau PGA yang berada dalam lingkungan saya
tumbuh memakai lilik.
Lilik adalah
pakaian khas mereka. Orang-orang sekarang menyebutnya pashmina. Sebenarnya
kepada lilik inilah pertama kali saya jatuh hati.
Kebetulan saya
tinggal di sebuah kampung yang merupakan pusat kenagarian dan juga merupakan
ibu kota kecamatan, pun sangat dekat dengan pusat pemerintahan kabupaten. Juga
berada di daerah jalur lintas sumatera (jalinsum) yang merupakan jalur antar
kota antar propinsi.
Sehingga
diantara kampung-kampung/ korong-korong kecil dalam kenagarian tempat saya
tumbuh kampung saya sedikit lebih maju.
Maaf tidak
bermaksud meremehkan, tapi memang seringkali penduduk yang tinggal di
korong-korong itu sedikit agak tertinggal dalam banyak hal. Terkadang kami yang
tinggal sedikit di pusat ini mengolok-ngolok gaya berpakaian, pilihan busana
bahkan pilihan warnanya. Kami menyebutnya udik.
Pada
malam-malam tertentu di bulan Ramadhan, orang-orang dari kampung-kampung dalam
kenagarian itu turun ke kampung kami untuk berpartisipasi dalam kegiatan
menyemarakan malam Nuzul Qur’an.
Dan sejak kecil
saya sudah biasa terlibat.
Ninie kecil(itu saya) terbiasa memang memperhatikan sekeliling. Saya kurang suka bicara
banyak tapi lebih suka memperhatikan orang dan lingkungan.
Nah, gaya
berhijab mereka tak luput dari perhatian saya.
Sudah saya
katakan bahwa meski lahir dari keluarga muslim, saya malah tidak tahu kalau berhijab itu wajib bagi muslimah yang sudah baligh. Tidak ada yang memberi tahu saya. Sehingga ketika saya berhijab (memakai busana yang menutup aurat plus
jilbab di kepala) saya lebih condong memakai insting. Nilai keindahannya
memakai standar nyaman di diri sendiri.
Maka saya
perhatikanlah orang-orang di sekeliling saya.
Rata-rata yang
berasal dari kampung saya, jika mereka berjilbab, bagian belakang jilbabnya
kempes. Kalaupun lilik menjadi pilihannya itu juga kempes di bagian belakang
kepalanya.
Sedangkan
orang-orang yang kami sebut udik itu memakai jilbab/ lilik, pada bagian belakang
kepalanya seringkali ada sesuatu yang menonjol di bagian belakang kepalanya.
Saya yakin itu
rambut, karena rata-rata orang kampung itu rambutnya panjang. Jadi kebanyakan
mereka menyanggul rambutnya. Bahkan mungkin ada yang memakai anak jilbab (agar
jilbabnya tidak lari-lari) hanya saja anaknya agak lebar sehingga perlu
digelung.
Singkat kata
singkat cerita, saya lebih nyaman dengan gaya jilbab dimana bagian belakang
kepalanya kempes. Saya tidak suka bagian belakang kepala yang menonjol. Selain
dari nilai keindahan di mata saya itu juga merupakan gaya jilbab orang-orang
yang kami sebut udik.
Kembali ke
bagian awal, maka kami pun mulai mengolok-ngoloknya dengan istilah yang kami
pungut dari alam.
Kebetulan
karena tinggal di kampung, boleh dikatakan saya ini tiap hari melihat beruk.
Karena beruk dan majikannya suka mondar-mandir di jalan depan rumah saya
(kebetulan rumah orang tua saya di pinggir jalan). Biasanya pasangan majikan
dan piaraan ini bekerja sama mencari nafkah dengan cara mengambil upah memetik kelapa.
Beruk
(saudaranya monyet) memiliki tumbung di bagian belakang tubuhnya arah ke bawah.
(Maaf, sebenarnya lebih tepatnya itu di sebut bagian pantatnya).
Pada hari-hari
biasa saja tumbung beruk ini sudah sangat besar. Terlihat dengan jelas karena
itu menonjol. Coba anda bayangkan tumbung itu jika pada masa kawin beruk.
Tumbung itu semakin membesar dengan warna memerah nyala.
Dan itu kami
jadikan olok-olokan untuk jilbab yang membengkak di bagian belakang kepala si
pemakai.
“Ondeh
gadangnyo lai tumbuang (Ya ampun, besarnya tumbungmu),” Kurang lebih seperti
itu.
Maka setiap
saya memakai jilbab (jauh sebelum saya memutuskan untuk berhijab) saya selalu
memastikan bahwa tidak ada tumbung di bagian belakang kepala. Saya selalu
mengelus-ngelusnya untuk memastikan bahwa tidak ada rambut yang menggumpal/ menggembung di
situ.
Dan karena saya
pun berambut panjang, maka saya lebih memilih menjalinnya kemudian kemudian
melipat-lipatnya dan memastikan bahwa lipatan jalinan rambut itu bertengger
dengan manis di atas pundak saya.
Nah, setelah
saya memutuskan berhijablah saya mengenal istilah jilbab punuk unta.
Jujur saja,
sekarang ini setiap melihat hijaber yang memakai jilbab punuk unta saya selalu
teringat akan tumbung beruk.
Mohon maaf
banget buat para hijaber, teman-temanku yang memilih gaya jilbab ini. Istilahku
tidak kejam, kan? Toh Rasulullah saw sendiri juga menggambarkannya dengan
istilah punuk unta.
Ini jilbab punuk unta Sumber: Laman FB Artikel, Renungan dan Kisah Motivasi II |
Jika kita
memakai jilbab sedikit pendek sedangkan rambut kita panjang, sekalipun kita
menjalinnya, secantik apapun kita melipatnya tetap akan membuat di bagian
belakang kepala membengkak dan bagian pundak akan sedikit kelihatan. Itu artinya tetap ada tonjolan dan rawan tersingkap angin.
Alhamdulillah
semenjak saya memilih jilbab besar dan lebar, masalah saya terselesaikan dengan
sendirinya. Rambut panjang akan saya jalin kemudian jalinan rambut itu saya
letakkan diantara pakaian dalam dan pakaian luar saya. Sehingga bagian belakang
punggung saya tidak perlu kegelian ataupun gerah karena keringat.
Saudariku para
hijaber, ketahuilah bahwa ALlah tidak perkenankan kita untuk mencium bau surga
jika ada punuk unta di bawah jilbab/ lilik/ pashmina yang kita pakai.
Ini
tinjauannya:
Dari Abu Hurairah ra., beliau berkata bahwa Rasulullah saw bersabda,
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat:
(1) Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan
(2) para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok,
kepala mereka seperti punuk unta yang miring.
Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, padahal baunya dapat tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128).
Sayang
sekali bukan? Kita bersusah-susah dalam berbusana bahkan sampai ada yang mengalami
kesulitan dalam kehidupan namun ternyata niat kita menyempurnakan kesungguhan
kita dalam ber-islam justru tidak berbuah surga. Bagaimana mungkin bisa masuk
sedangkan kita tidak patuh pada panduan yang diberikan Rasulullah Muhammad saw.
Saya
mengerti apa itu yang disebut proses. Seperti halnya membalik telapak tangan,
tentu tidak mudah untuk merubah sesuatu terlebih jika kita menyukainya. Kita
akan mengemukakan beribu alasan untuk pembenaran.
Namun
hendaknya seiring dengan berjalannya waktu kita jadi tahu, sesungguhnya penutup
kepala yang seharusnya itu seperti apa. Pelajarilah. Sungguh banyak
sumber-sumber yang bisa kita cari sekarang ini.
Secara
fashion mungkin terkesan kurang indah. Nilai estetikanya rendah. Namun cobalah
pikir ulang, sebenarnya kita ini berhijab buat apa sih? Apakah untuk menerima
seruan ALlah ataukah hanya sekedar fashion?
Maka
luruskanlah niatmu. Iman yang benar itu saudaraku, setelah kita ilmui, benarkan dalam hati lalu
amalkan dengan benar, barulah ia bernilai ibadah.
Alhamdulillah,
bagus sudah berhijab.
Alhamdulillah,
pakaian yang kita pilih adalah yang menutupi aurat bukan yang membungkus aurat.
Alhamdulillah,
jilbabnya sudah memenuhi standar yaitu menghulur hingga menutupi dada. Nah
sekarang sesuaikan dengan panduan yang diberikan Rasulullah, berhentilah
membuat tonjolan di atas atau di belakang kepala atau di atas pundak kita,
karena itu berarti membuat punuk unta.
Jadi
jangan sia-siakan apa yang sudah kita pilih.
Tidak
berniat sok hebat, ya. Tapi dengan mengistilahkan jilbab punuk sama dengan
jilbab tumbung beruk, saya jadi enggan terlihat cantik dalam defenisi pandangan
zahir kebanyakan manusia.
Sedikit
cerita sebelum sampai ke ujung.
Dalam
sebuah kesempatan safar kami beristirahan di atas kapal dalam perjalan
menyeberangi Selat Sunda. Saya yang terkantuk-kantuk membawa 3 bocah saya untuk
mencari tempat istirahat di atas kapal. Mata saya menangkap seorang muslimah
yang berhijab. Saya lihat ia kerepotan meletakan kepalanya di lantai sementara
anaknya minta disusui. Setelah anaknya tertidur ia mencoba berbaring telentang.
Namun ia duduk lagi, ternyata ada yang mengganjal kepalanya. Saya terus
perhatikan muslimah itu dalam remang-remang cahaya lampu.
Saya
lihat ia melepaskan ganjalan di kepalanya yang barangkali selama diperjalanan
telah memberi kesan jilbabnya tidak kempes. Entah bongkahan apa itu, ia
melepaskannya. Ternyata rambutnya pendek. Setelah lepas baru kemudian ia
berbaring telentang beristirahat.
Saya pun
kemudian mengalihkan pandangan sambil berfikir. Jika sampai begitu repot
pilihan fashion itu, kenapa masih banyak orang yang memilih repot?
Entahlah.
Saya pun kemudian berbaring tanpa harus membongkar jilbab saya karena memang
tidak ada yang perlu dibongkar di sana.
Bisikan
setan itu sungguh canggih, saudaraku. Beralasan fashion dan beralasan
menyesuaikan dengan zaman kita jadi memandang indah apa-apa yang dilarang ALlah
melalui Rasul-Nya Muhammad saw.
Saking getolnya
setan itu, jika rambut kita sedikit/ pendek, maka berdalih kretifitas mereka
membuat sambungan-sambungan rambut untuk sekedar membuat ia menonjol.
Kadang
itu berupa sanggul, kadang permainan jilbab dari bahan yang lebih tipis. Bahkan
saya pernah melihat itu adalah hiasan rambut yang besar seperti bunga kembang.
Bermacam caranya. Kemudian segala macam tambahan rambut itu ditutupi dengan jilbab. Maka menggembunglah jilbab sejadi-jadinya. Ada gembungan yang kecil dari kepala bahkan tak jarang gembungannya nyaris dua kali kepala ukurannya. MasyaaALlah.
Semua
terpulang padamu, saudariku. Sudah sampai kabar tentang jilbab/ lilik/ pashmina yang benar kepadamu, akankah engkau tergoda?
Janganlah
marah padaku dan jangan memutus persaudaraan hanya karena persoalan jilbab
tumbung ini. Ini semua juga karena aku mencintaimu karena ALlah,
saudari-saudariku, di bagian bumi ALlah manapun engkau berada.
WaLlahu'alam
Ini artikel terkait Jilbab Punuk Unta:
1. 3 Gaya Wanita yang Tidak Mencium Bau Surga.
2. Jilbab Punuk Unta di Kalangan Akhwat Pengajian
3. Gambaran Wanita Menggunakan Jilbab Punuk Unta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar