Laman

Jumat, 19 Desember 2014

Totto-chan Gadis Cilik di Jendela # Dua

Apa anda sudah bisa membayangkan, gadis kecil seperti apakah ia si Totto-chan itu?
Kalau menurut saya, sebenarnya si gadis kecil ini tak ubahnya gadis-gadis/ anak-anak kecil seusianya. Mereka memiliki keingintahuan, penasaran , ingin coba-coba, berdaya imajinasi. 
Bukankah itu wajar untuk anak-anak? Mereka selalu ingin tahu apa ini, apa itu, kenapa begini, kenapa begitu, memindahkan ini memindahkan itu, mencongkel ini mencongkel itu. 

Saya yang pernah mengalami kecelakaan anak-anak di rumah seperti memasukkan gabus ke hidungnya, memasukkan potongan mainan ke lubang hidung, memborgol kakinya sendiri, memindahkan galon yang terisi penuh padahal usianya belum 3 tahun, memanjat tangga tukang hingga tiba-tiba berada di puncak peranginan, si kecil yang masih balita mengejar anak kecil tetangga yang sebaya dengan ranting kayu, mencukur rambutnya sendiri dll, dsb, dst. 
Pokoknya seru deh. Jadi saya sebenarnya menganggap kelakuan Totto-chan ini lumrah. Hanya saja mungkin dosisnya Totto-chan agak berlebih dibanding anak-anak saya. Namun itu sebenarnya lumrah.

Coba simak cerita pembuka di buku ini, Stasiun Kereta.
Kisah ini ketika Totto-chan dan Mama sedang menuju ke sekolah baru, ke sekolah Tomoe Gakuen.

Setelah turun dari kereta di Stasiun Jiyugaoka, Totto-chan yang jarang naik kereta enggan memberikan karcis. Ia memeganginya erat-erat.
"Bolehkah aku menyimpannya?" Totto-chan bertanya  kepada petugas pengumpul karcis.
"Tidak boleh," jawab petugas itu sambil mengambil karcis dari tangannya.
Totto-chan menunjuk kotak yang penuh dengan karcis. "Itu semua punyamu?"
"Bukan, itu milik stasiun kereta," jawab petugas itu sambil mengambil karcis dari orang-orang yang keluar stasiun.
"Oh." Totto-chan memandang kotak itu dengan penuh minat, lalu melanjutkan, "Kalau sudah besar, aku mau menjadi penjual karcis kereta!"
Petugas pengumpul karcis itu memandangnya untuk pertama kali. "Anak laki-lakiku juga ingin bekerja di stasiun kereta. Mungkin nanti kalian bisa bekerja sama."
Lalu Totto-chan memperhatikan petugas pengumpul karcis itu. Menurut pikiran kanak-kanaknya, lelaki itu berhati baik. Kemudian ia berkacak pinggang dan berkata dengan sungguh-sungguh.
"Aku tak keberatan bekerja dengan anakmu," katanya. "Aku akan memikirkannya. Tapi sekarang aku sedang sibuk karena aku mau pergi ke sekolahku yang baru."
Kemudian ia berlari ke Mamanya menunggu sambil meneriakkan bahwa ia ingin menjadi penjual karcis. Si mama tidak kaget. (Ya iyalah, masak emak enggak tahu dengan tabi'at anaknya). 
Dia hanya berkata, "Ku kira kau ingin jadi mata-mata."
Sambil berjalan memegangi tangan mamanya, gadis kecil ini mengingat bahwa sampai kemaren ia masih ingin menjadi mata-mata. Tapi ia juga membayangkan keasyikan mengurusi sekotak penuh karcis kereta. Jadi bagaimana menggabungkan dua pekerjaan yang disukainya ini? Pernahkan anak-anak anda hari ini ingin jadi A, besok jadi B, besoknya lagi jadi C? Anak-anak saya semuanya memiliki keinginan yang berubah-ubah.
..., lalu ia berteriak keras-keras, "Bukankah aku bisa jadi penjual karcis yang sebenarnya mata-mata?"
...
"Totto-chan tidak tahu Mama merasa khawatir. Jadi ketika mata mereka bersitatap, dia berkata dengan riang, "Aku berubah pikiran. Aku akan bergabung dengan sekelompok pemusik jalanan yang selalu berkeliling sambil mengiklankan toko-toko baru."
 Nah, lho...!
 Apa menurutmu itu aneh? Kalau saya secara pribadi sih tidak aneh. Anak saya tiga. 
Yang pertama usia 12 tahun. Cita-cita pertamanya ketika ia 2,5 tahun adalah menjadi Ummi. Lalu Abinya bilang kenapa gak jadi dokter? Dokter itu pinter, lho. Setelah berulang kali mengatakan bahwa ia tidak mau, akhirnya gadis kecilku menjerit, "Ndak mau, Acah mau jadi Ummi! Lantang, lugas dan tegas. Cukup lama profesi ini bertahan sampai ia masuk SD. Kala itu ia berkeinginan menjadi guru, tapi masih pengen jadi ummi, jadi bagaimana ini? Hahaha... Ia bertanya, apa bisa jadi guru iya, jadi ummi juga iya. Mungkin ia bingung kali ya, karena Umminya hanya di rumah saja bersamanya. Saya jelaskan saat itu bahwa ia bisa menjadi guru sekaligus menjadi ummi.
Tak lama, sekitar setahun ia melapor bahwa ia ingin menambah daftar cita-citanya, ia ingin jadi penari. Di titik ini saya agak tersedak. Tapi kemudian saya jelaskan bahwa boleh anak perempuan menjadi penari tetapi yang menontonnya hanya orang-orang perempuan saja. Ia menggangguk dan memantapkan daftar cita-citanya. 
Di kelas 4 SD ia mulai mendesain-desain baju. Sebenarnya lebih tepat ke ia mulai menggambar-gambar baju. (Hihihi ternyata saya suka membesar-besarkan ide ya). Kemudian ia melapor, "Uni ingin menambah daftar cita-cita Uni, Mi. Uni ingin bisa menggambar baju."
"Oh. Itu mendesain namanya, pekerjaannya namanya designer." Saya mencoba menjelaskan.
"Tapi Uni juga ingin menjualnya, Mi. Uni ingin punya toko baju."
"Tak apa. Uni mendesain baju sendiri lalu Uni menjualnya di toko. Itu namanya designer yang punya butik. Jadi sekarang cita-citanya nambah nih, pengen jadi designer dan punya butik?"
Gadis kecilku mengangguk.
Namun tahun lalu ketika ia kelas 6, ia melapor lagi bahwa ia ingin menambah cita-citanya. Katanya ia ingin jadi penulis. Dan ia bingung, bisakah ia melakoni semuanya, secara ia menyenangi semua itu. Saya biarkan ia berfikir dan memutuskan. Akhirnya ia berniat mencoret cita-citanya jadi penari. (Saya kegirangan, walau itu hanya impian anak-anak, tapi tak terbayang rasanya jika gadisku yang sejak kecil ku biasakan menutup aurat ini meliuk-liuk menari di tonton orang banyak.)
Saya membantunya untuk memecahkan masalahnya. Menurut saya semuanya bisa disatukan. Ia tetap bisa jadi ummi, bisa jadi guru, bisa jadi designer, bisa punya butik dan bisa jadi penulis. Menurut hemat saya semua profesi itu berada pada titik-titik yang bisa terhubung satu dengan yang lainnya, jadi tidak sulit untuk melakoninya semua asal ia mau berusaha.

Itu baru anak pertama, ya. Saya kan punya tiga. Belum lagi si Uda dan si Adek.
Uda (sekarang 9 tahun) dulunya ingin jadi Ummi, kemudian ingin jadi masinis hanya untuk menabrakkan kereta apinya untuk melihat efek dentumannya (aduh..), kemudia ia ingin membangun rel kereta dan membayangkan kereta kecelakan serta melihat efek dentumannya juga, kemudian ia ingin membuat kapal terus dihanyutkan ke tengah laut dan dibakar serta melihat apa yang akan terjadi? Terus ingin membuat pesawat terbang dan membayangkan pesawatnya tabrakan serta ingin tahu kemana saja pergi serpihannya. Sempat pula ingin jadi arkeolog karena sangat suka dengan dinosaurus. 
Sehingga ketika saya menceritakan bahwa esok itu video kita akan diputarkan ALlah dan jika kita masuk surga kita bisa meminta apa saja pada ALlah. Lalu ia buru-buru ingin segera meninggal dan tidak ingin jadi presiden dan segera masuk surga hanya untuk bertanya pada ALlah, bolehkah ia melihat video terjadinya alam semesta, bagaimana gletser itu, bagaimana terpecah-pecahnya benua dan bagaimana cara hidup para dinosaurus. (Uff..., untuk yang satu ini saya harus lebih fokus menjawab pertanyaanya).

Nah ini yang ketiga, si Adek (5 tahun). Pertama kali bercita-cita ingin jadi Uda, kemudian ingin jadi tukang pengumpul sampah agar tidak kebanjiran, kemudian ia ingin jadi ambulance agar bisa membawa orang sakit. Kemudian ia ingin jadi dokter. Tapi ternyata bukan hanya dokter biasa, ia ingin jadi dokter yang punya restoran, punya salon. Sekarang ini ingin memiliki rumah 10 lantai dengan 10 pembantu. Eh belum lama ini ingin pula jadi pilot.
Aduhai sedapnya.

Coba bandingkan Totto-chan dengan anak anda, atau bandingkan dengan anak-anak di sekeliling anda, atau jika tak punya coba bandingkan ia dengan anak-anak saya. Mirip bukan?
Ya, karena memang begitulah anak-anak.
Anda tak bisa memahaminya. Bagaimana anda waktu kecilku dulu, apakah punya cita-cita dan keinginan?
Jika memang tak punya aku tak bisa berkata apa-apa.

Tapi coba bayangkan apa jadinya, jika setiap mereka bercita-cita dan menceritakannya kepada kita orang dewasa yang berada di sekelilingnya, kemudian kita mencemoohnya, mematahkan semangat bercerita dan bercita-citanya. Apa jadinya jika mereka hanya sibuk menghitung angka, menghafal, mengerjakan PR terstruktur, menulis tegak bersambung sampai njelimet dsb dengan cara kita dan standar kita. Mereka belajar bersungguh-sungguh untuk memuaskan maunya kita orang tuanya.
Anak-anak itu akan kehilangan masa-masa emasnya. Mereka akan berubah menjadi mesin, robot, mereka kehilangan jiwanya. Bukan berarti tidak boleh memberi mereka 'beban' tanggung jawab, namun sesuaikanlah dengan usianya, dengan hobinya, dengan minatnya, tumbuhkan bakatnya, biarkan mereka menjadi diri mereka sendiri.

Si Totto-chan yang merasa berbahagia dengan Tomoe dan Mr. Kobayashi, di saat menuliskan bukunya ini adalah pemandu acara Tetsuko's Room ditelevisi. Dia berbahagia dengan pekerjaannya, dia melanglang buana karena pekerjaannya. Dan semua teman-teman sekelas Tetsuko si Totto-chan mengalami masa hidup yang bahagia. 
Bukankah bahagia menjalani profesi itu penting?

Coba anda bayangkan, apa jadinya Tetsuko jika ia terpaksa menyesuaikan diri di sekolah konvensionalnya, atau apa jadinya ia jika gurunya tidak mengeluarkannya dari sana, atau apa jadinya jika ia tidak memiliki mama yang bijaksana, atau apa jadinya jika ia tidak bertemu Tomoe dan Mr. Kobayashi?
Dalam kasusku sendiri, sulit bagiku untuk mengukur betapa aku sangat tertolong oleh caranya mengatakan padaku berulang-ulang, "Kau anak yang benar-benar baik, kau tahu itu, kan?"
Seandainya aku tidak bersekolah di Tomoe dan tidak pernah bertemu dengan Mr. Kobayashi mungkin aku akan dicap "anak nakal", tumbuh tanpa rasa percaya diri, menderita kelainan jiwa, dan bingung? (Totto-chan Gadis Cilik di Jendela, Tetsuko Kuroyanagi, halaman 250)
Bisakah anda membayangkan itu? 
Lalu apakah gurunya di sekolah yang lama itu tidak baik? Kurang baikkah ia dibandingkan Mr. Kobayashi? 
Menurut saya tidak, si guru cukup baik. Hanya sistemnyalah yang perlu diperbaiki. Dulu karena membaca buku ini pertama kali atas hasutan Ummu Afif tetangga saya, saya juga sempat berfikir bahwa bukan sekolahnya saja yang kurang bagus namun juga gurunya. Namun setelah saya membaca berulang-ulang, saya malah jadi empati pada gurunya; pada guru kelas 1 Totto-chan. 

Intinya saya ingin mengatakan bahwa gadis seperti Totto-chan itu banyak di sekitar kita. Jika anak-anak kita punya rasa ingin tahu yang besar, maka si Totto-chan ini memiliki rasa ingin tahu yang sedikit lebih besar saja.
Sekali lagi saya katakan, Totto-chan ini beruntung. Ia memiliki mama yang sangat sabar  dan suka bercanda. Mamanya Totto-chan ini mengingatkan saya pada kisah Tracy Hogg dan neneknya yang ia panggil Nan.  Menurut saya baik Mama maupun Nan memiliki sesuatu yang mungkin kita tidak punya.
Pun ia telah bertemu dengan seorang guru mau mendengarkan ceritanya. Pada halaman 24 dari buku Totto-chan Gadis Cilik di Jendela ini pada judul kecil Kepala Sekolah, anda akan mengetahui betapa hebatnya ia. 
Kepala sekolah duduk di kursi ke dekat Totto-chan lalu duduk berhadapan dengan gadis cilik itu. Ketika mereka sudah duduk nyaman, dia berkata, "Sekarang, ceritakan semua tentang dirimu. Ceritakan semua dan apa saja yang ingin kau katakan."
Obrolan itu berakhir setelah 4 jam. Totto-chan yang belum mengerti waktu tidak menyadari itu, ia hanya tahu bahwa ia telah bercerita cukup lama, sehingga ia tak tahu lagi apa yang harus diceritakannya. Gadis kecil itu lelah karena tak punya bahan lagi untuk diceritakan.

Kita, membaca bagian yang ini jangan langsung membanding-bandingkannya dengan kepala sekolah anak-anak kita atau dengan guru-gurunya. Cobalah bandingkan dengan diri kita sendiri dulu. Pernahkah kita duduk bersama anak dan bertanya, "Adakah yang ingin kalian ceritakan hari ini?" Jika mereka bercerita, bisakah kita bersabar mendengar ceritanya barang sebentar saja tanpa mengingat schedule, ingat janji dengan si ini dan si itu, bahwa kita belum makan, belum ini belum itu? Rasanya mustahil kita duduk 'membuang-buang' waktu begitu saja apalagi dengan anak kecil.
Jika kita belum melakukannya jangan pernah memrotes guru-guru anak-anak kita.
Ups...(Kita? Ealah...saya kali)


Next...InsyaALlah.
Saya akan mencoba memaparkan 'dosa-dosa' Totto-chan sehingga ia harus drop out di usia kecilnya. Next ya, ini udah malem.
Semoga kita bertemu kembali. 

Related :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar