“’Pada suatu waktu,’ kata Ajo Sidi memulai, ‘di akhirat
Tuhan ALlah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas
di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia.
Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah di mana-mana ada perang. Dan di
antara orang-orang yang diperiksa itu ada seorang yang di dunia dinamai Haji
Saleh. Haji Saleh itu senyum-senyum saja, karena ia
sudah begitu yakin akan dimasukkan ke surga. Kedua tangannya ditopangkan di
pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika
dilihatnya orang-orang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan
ketika ia melihat orang-orang yang masuk surga, ia melambaikan tangannya,
seolah-olah hendak mengatakan ‘selamat ketemu nanti’. Bagai tak
habis-habisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut di muka, bertambah
yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.
Akhirnya sampailah giliran
Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan
pertanyaan pertama.
‘Engkau?’
‘Aku
tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’
‘Ya,
Tuhanku.’
‘Apa
kerjamu di dunia?’
‘Aku
menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’
‘Lain?’
‘Setiap
hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.’
‘Lain?’
‘Segala
tegah-Mu kuhentikan, Tuhanku. Tak pernah aku berbuat jahat, walaupun dunia dan
seluruhnya penuh oleh dosa-dosa yang dihumbalangkan iblis laknat itu.’
‘Lain?’
‘Ya,
Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu,
menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu
menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdo’a, mendo’akan kemurahan hati-Mu
untuk menginsafkan umat-Mu.’
‘Lain?’
Haji Saleh tak dapat menjawab
lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia insyaf, bahwa pertanyaan
Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum dikatakannya. Tapi
menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang
harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba
menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air
matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu.
‘Lain
lagi?’ tanya Tuhan.
‘Sudah
hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang, Adil
dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri
dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut
terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.
Tapi
Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’
‘O,
o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca kitab-Mu.’
‘Lain?’
‘Sudah
kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang aku lupa katakan, aku pun
bersyukur karena Engkaulah yang Mahatahu.’
‘Sungguh
tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?’
‘Ya,
itulah semuanya, Tuhanku.’
‘Masuk
kamu.’
Dan malaikat
dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti kenapa ia dibawa ke neraka. Ia tak mengerti
apa yang dikehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap.
Alangkah tercengangnya Haji
Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus,
merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya, karena
semua yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan
ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar
syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka
dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itupun, tak
mengerti juga.
‘Bagaimana
Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, ‘Bukankah kita disuruh-Nya taat
beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita.
Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka.’
‘Ya,
kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita semua, dan tak
kurang keta’atannya beribadat,’ kata salah seorang diantaranya.
‘Ini
sungguh tidak adil.’
‘Memang
tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.
‘Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan
kita ke neraka ini.’
‘Benar.
Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.
‘Kalau
Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?’ suatu suara melengking di
dalam kelompok orang banyak itu.
‘Kita
protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh.
‘Apa
kita revolusikan juga?’ tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi
pemimpin gerakan revolusioner.
‘Itu
tergantung pada keadaan,’ kata Haji Saleh. ‘Yang
penting sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.’
‘Cocok
sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,’
sebuah suara menyela.
‘Setuju.
Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai.
Lalu
mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.
Dan
Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’
Haji Saleh yang jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara menggelegar dan berirama indah, ia memulai pidatonya :
‘O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang
menghadap-Mu ini adalah umatmu yang paling taat beribadat, yang paling taat
menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji
kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami
hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikitpun kami membacanya. Akan tetapi,
Tuhanku yang Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau masukkan kami
ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak
diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut
agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ditinjau kembali dan memasukkan kami
ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.’
‘Kalian
di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan.
‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia,
Tuhanku.’
‘O,
di negeri yang tanahnya subur itu?’
‘Ya,
benarlah itu, Tuhanku.’
‘Tanahnya
yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang
lainnya, bukan?’
‘Benar.
Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka mulai menjawab serentak.
Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah
mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
‘Di
negeri di mana tanahnya begitu subur, hingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?’
‘Benar.
Benar. Benar. Itulah negeri kami.’
‘Di
negeri di mana penduduknya sendiri melarat?’
‘Ya.
Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’
‘Negeri
yang lama diperbudak orang lain?’
‘Ya,
Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’
‘Dan
hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkutnya ke negerinya, bukan?’
‘Benar,
Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’
‘Di
negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang
hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’
‘Benar,
Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting
bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.’
‘Engkau
rela tetap melarat, bukan?’
‘Benar.
Kami rela sekali, Tuhanku.’
‘Karena
kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’
‘Sungguhpun
anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka
hafal di luar kepala.’
‘Tapi
seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?’
‘Ada,
Tuhanku.’
‘Kalau
ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua.
Sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu
mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu,
saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih
suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak
membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal karena engkau
miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu
lain tidak memuji-muji dan menyembahku saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk
neraka. Hai, malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di
keraknya!’
Semua jadi pucat pasi tak
berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridhai
ALlah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang dikerjakannya
di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia
bertanya saja pada malaikat penggiring mereka itu.
‘Salahkah
menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh.
‘Tidak.
Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut
masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan
kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu, sehingga mereka itu
kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis.
Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak
mempedulikan mereka sedikitpun.’’’
***
Demikianlah cerita Ajo Sidi,
tentang dialog Tuhan dan Haji Saleh yang seorang WNI.
Ini adalah cuplikan kisah
yang paling saya sukai di buku Robohnya Surau Kami. Menggambarkan sikap masa
bodoh seseorang akan tanggung jawabnya sebagai manusia, yang memiliki pikiran
yang sempit dalam makna ibadah. Padahal sikap masa bodoh seseorang terhadap
urusan kaum muslimin dan terhadap keluarganya secara khusus sangat dicela dalam
Islam.
Saya sudah berkali-kali
membaca buku ini, dan selalu saja saya terkesima dengan gaya penuturannya.
Bukan hanya karena ia Urang Awak (istilah kami untuk orang Minang) , tapi
karena apa yang Beliau kisahkan di sini adalah sebuah kritik sosial yang cukup
maju. Jangankan buat hari ini, bahkan itu sangat berani dituturkannya di era
itu. Buku yang saya pegang ini adalah cetakan ke-18.
Pertama kali membacanya, saya
masih SMP. Itu kira-kira 25 tahun yang lalu. Semakin bertambah usia saya,
semakin paham saya akan maksud dari tulisannya. Benar-benar memberi saya
pelajaran dan mengajak saya untuk terlibat dalam ceritanya. Sebagai mana ceria
ke-3 dari buku ini yang berjudul Nasihat-nasihat, yaitu tentang seorang tua
yang merasa nasihatnya sangat berharga. Tanpa saya sadari, si penulis, Angku
A.A. Navis ini membuat saya seakan-akan berada di meja makan bersama orang tua
yang suka memberi nasihat itu. Seperti contoh paragraf di bawah ini :
Dipandangnya Hasibuan tenang-tenang, seperti hendak menaksir isi
kepalanya. Diletakkan sendok garpunya.
Dan tanpa saya sadari, saya
berekspresi seperti orang tua yang suka memberi nasihat itu. Memandang ke suatu
titik dengan tenang, pura-pura paham dan kemudian membayangkan saya meletakkan
sendok garpu itu. Aduhai...saya jadi malu sendiri, betapa berhasil Angku Navis
ini menghipnotis saya.
Ada 10 cerita pendek di buku
ini, dan semuanya membuat saya terbawa suasana ceritanya. Selain Robohnya Surau Kami, ada Anak Kebanggaan, Nasihat-nasihat, Topi Helm, Datangnya dan Perginya, Pada Pembotakan Terakhir, Angin dari Gunung, Menanti Kelahiran, Penolong, dan Dari Masa ke Masa. Entahlah, apa karena
Angku Navis ini benar-benar hebat, ataukah karena gaya bahasanya dekat dengan
bahasa ibu saya, ataukah lagi karena saya bisa membayangkan tempat kejadian
perkara secara nyata, karena itu adalah ranah Minang juga. WaLlahu'alam.
Tapi jika engkau, kawan,
ingin mencari buku yang bergizi, ini adalah salah satunya. Selain nilai yang
terkandung, engkau juga akan diperkaya dengan gaya bahasa.
Semoga engkau tidak puas
dengan ceritaku ini.
terimakasihsudahmampir,silahkantinggalkanjejakjikaberkenan
Kalau td salah buku ini sdh pernah di filmkan juga Uni,.........cerita Uni selalu lengkap dan menarik saya hrs belajar mengupas buku nih sama Uni..........
BalasHapusiyakah Teh, aduh ketinggalan dong saya, padahal saya ini termasuk penikmat filem2 sekelas itu lho...
Hapus*mikir2, waktu film tu tayang saya di mana ya*