Laman

Selasa, 23 Juli 2013

Pilunya Suasana Ramadhan di Lingkungan Sekolah Anakku



Kemaren siang waktu bubaran sekolah, di pagi menjelang siang, semakin banyak saja anak-anak yang berseragam merah putih duduk-duduk di kedai makanan di depan sekolahan. Kedai-kedai itu masih satu lingkungan (komplek) dengan sekolah. Saya hanya melihatnya dari jauh, nelangsa. Dan membawa anak-anak saya kabur dari pemandangan itu secepatnya. Pilu.
Salah persepsikah saya?


          Perkenalkan, saya ini orang Minang, sebuah suku yang menganut prinsip Adat Bersandi Syarak, Syarak Bersandi KitabuLlah. Saya lahir dan besar di ranah Minang, satu-satunya kesempatan saya merambah ranah orang lain adalah ketika saya menikah  hampir 13 tahun yang lalu. 

Meski kondisi alam Minang Kabau terkadang juga jauh dari kondisi Islami, namun ada beberapa poin yang sulit diabaikan, diantaranya adalah bahwa setiap orang di ranah Minang, baik muslim atau bukan, ada kewajiban tidak tertulis untuk menghormati orang berpuasa. Sehingga ketika Ramadhan menjelang, bisa dipastikan suasana puasa akan kental terasa. Jika ada para pedagang yang nekat mengais rezki di siang hari di bulan ini, maka akan ada aturan-aturan yang mengikatnya. 

Jumat, 12 Juli 2013

Sorban Putih Bapakku



Alhamdulillah, di usia 9 tahun saya dulu, saya sudah memantapkan pikiran untuk tidak berpacaran dan berfikir bahwa pacaran sebelum menikah itu adalah perbuatan sia-sia.
(Alm) Bapak saya memakai metode dialog dan analisa studi kasus untuk saya, dan itu efektif. Tapi sayang tidak efektif untuk saudara-saudara saya yang lainnya.
Ini bisa dimaklumi, karena ternyata memang beda anak, akan berbeda tipikal dan karakternya dan sudah tentu akan berbeda pula pola pendekatannya. Inilah cerita itu, cerita yang takkan mungkin ku lupa seumur hidupku...

***
"Kalian tau apa ini?" Bapak bertanya sambil memegang sorban putih di tangannya.
Kami semua, berenam bersaudara menjawab bahwa itu adalah sorban.
"Kalian tau apa yang akan terjadi jika sorban ini kalian lumurkan dengan lumpur?"
"Tentu saja sorban itu akan kotor," saya menjawab dengan lantang. Pandangan mata beliau beralih ke saya. Entahlah saya tak tahu kenapa, apa karena saya satu-satunya anak yang berani menatap mata beliau ketika berbicara ataukah karena saya adalah anak yang tanpa rasa takut ketika berbicara dengan beliau?

Sia Kau, Matilah Kau



Benar kata pepatah,"Sepandai-pandai tupai melompat sekali waktu kan terjatuh jua." Dan itulah yang terjadi pada saya...:(
Selama ini saya cukup sopan menanggapi sms, meski itu dari orang yang tidak saya kenal. Tapi pernah suatu ketika saya kecele, akibat kekesalan yang menginginkan pelampiasan. Jadilah sebuah sms tanpa prembule menjadi tempat pelampiasan saya. Malangnya..., astaghfiruLlah, ternyata sms salah sambung dari seseorang yang menyimpan nomer saya.
***
Sesore kemaren dulu itu saya bener-bener kesel akan banyak hal. Sms masuk ke hp saya ketika saya separuh terlelap kala meninabobokkan gadis cilik saya. Isinya menurut hemat saya tidak perlu untuk saya pertimbangkan, karena alamat dan isinya ditujukan bukan untuk saya. 

Jumat, 05 Juli 2013

Itu Belum Seberapa, Masih Ada yang Lebih Parah



repost dari sebuah postingan yang terhapus tanpa sengaja.
          Jum’at sore itu anak perempuan saya pulang tidak di waktu biasanya. Sore itu ia pulang pukul 4 sore kurang beberapa menit. Saya dan Abinya sudah cemas menunggu di teras rumah. Biasanya ia pulang ke rumah paling lambat pukul 3.15 sore. Kami masih menunggu dan memberi jeda beberapa menit lagi sebelum memutuskan untuk menelpon driver sekolahnya.
Anak-anak kala itu memang saya ikutkan antar jemput sekolah. Karena sebagai orang baru di kota SMG, saya belum begitu mengenal medan. Di tambah lagi Abinya anak-anak ada kelas magister di setiap malamnya. Anak saya 2 orang yang sudah SD, dan dua-duanya sebenarnya tidak begitu suka naik antar jemput. Seringkali mereka berdua mengajukan proposal agar Abinyalah yang mengantar ke sekolah dan saya  yang menjemput sepulangnya.

Nelangsakah Emak-ku?

Coba renungkan, pernahkah ibu kita memiliki pikiran dan perasaan seperti ini?
 
          Dalam perjalanan saya yang baru 37 tahun lebih, saya pernah bertemu seorang ibu. Terus terang ibu itu sering curhat ke saya tentang anak-anaknya. Entah kenapa, mungkin karena saya bisa jadi teman ngobrolnya ataukah karena penampilan luar saya persis sama seperti anaknya yang jauh di rantau sana. 
Setiap ibu itu curhat sebenarnya saya bisa langsung tahu arah pembicaraannya. Sudah bisa dipastikan, takkan jauh-jauh dari masalahnya dengan anak-anaknya. Sekalipun di awal-awal kami akan bercerita yang lain, tapi ujung-ujungnya si ibu akan menyempatkan curhat.