Laman

Selasa, 23 Juli 2013

Pilunya Suasana Ramadhan di Lingkungan Sekolah Anakku



Kemaren siang waktu bubaran sekolah, di pagi menjelang siang, semakin banyak saja anak-anak yang berseragam merah putih duduk-duduk di kedai makanan di depan sekolahan. Kedai-kedai itu masih satu lingkungan (komplek) dengan sekolah. Saya hanya melihatnya dari jauh, nelangsa. Dan membawa anak-anak saya kabur dari pemandangan itu secepatnya. Pilu.
Salah persepsikah saya?


          Perkenalkan, saya ini orang Minang, sebuah suku yang menganut prinsip Adat Bersandi Syarak, Syarak Bersandi KitabuLlah. Saya lahir dan besar di ranah Minang, satu-satunya kesempatan saya merambah ranah orang lain adalah ketika saya menikah  hampir 13 tahun yang lalu. 

Meski kondisi alam Minang Kabau terkadang juga jauh dari kondisi Islami, namun ada beberapa poin yang sulit diabaikan, diantaranya adalah bahwa setiap orang di ranah Minang, baik muslim atau bukan, ada kewajiban tidak tertulis untuk menghormati orang berpuasa. Sehingga ketika Ramadhan menjelang, bisa dipastikan suasana puasa akan kental terasa. Jika ada para pedagang yang nekat mengais rezki di siang hari di bulan ini, maka akan ada aturan-aturan yang mengikatnya. 

Kondisi ini didukung oleh perda yang mengatur bahwa kedai-kedai itu harus memakai kelambu/tirai tertutup serapat mungkin. 

Dan semacam ada norma dalam masyarakat bahwa baik yang berjualan di siang hari ramadhan ataupun muslim yang tidak berpuasa akan digolongkan oleh masyarakat ke dalam orang-orang lemah iman, tipis urat malu, tidak tahu tata krama, bahkan terkadang diejek sebagai kafir. 

Sehingga bagi saya pribadi dan bagi banyak orang Minang lainnya yang masih kental suasana Ranah Minangnya beranggapan, bahwa muslim yang tidak menghargai orang yang berpuasa itu termasuk ke dalam bagian orang-orang yang bermaksiat selama Ramadhan.


          Anak-anak saya bersekolah di sebuah SDIT di lingkungan JSIT Kota Semarang, Jawa Tengah. Anak-anak saya, Aisyah (kelas 6), Hamzah (kelas 3) dan Fathimah (TK A), bersekolah di satu komplek lingkungan di bawah naungan sebuah partai berbasis Islam yang belum lama ini mantan presidennya terseruduk kasus daging sapi. Pihak pengelola yayasan, para guru dan semua elemen di sini, adalah orang-orang yang ‘wajib’ berada dalam tarbiyah ala partai ini. Bahkan banyak dari mereka sudah berada di jenjang para perindu syorga dan perindu syahid.
Salahkan jika saya berharap lebih?


        SDIT ini adalah sekolah IT kedua bagi anak saya Aisyah, yang dua-duanya berada di lingkungan JSIT yang sama. Sekolah IT pertamanya dulu di Pekanbaru, di daerah mayoritas suku Melayu yang juga terkenal Islami, beradik kakak, bersebelas dua belas dengan Ranah Minang, karena secara akar kedua suku ini sebenarnya serumpun. 

Di sana, dulu, saya merasa mendapatkan dukungan dalam mengajari anak berpuasa. Karena sekolah ketat dalam hal ini, ketat soal batas wilayah dengan orang di luar sekolah, ketat dalam prinsip-prinsip ber-Islam, kental suasana tarbiyahnya. Beda jauh dengan di sini.

Saya sejujurnya sungguh tak ingin membanding-bandingkan, tapi apa hendak dikata, suasana yang memilukan ini membuat batin saya meringis. Tak tahu apa yang harus saya lakukan.

Ramadhan di Sekolah Anakku

          Pertama kali beramadhan di sekolah ke dua ini, anak sulung saya merengek-rengek minta puasa bedug. Kala itu ia kelas 4 SD. Saya bingung dan penasaran, bukankah semenjak dia kelas 1 SD saya sudah melazimkannya untuk puasa penuh hari, dan terbukti bahwa ia telah sanggup melakukannya? Ada apakah? 

Suasana ini juga merangsang adiknya yang kala itu baru kelas 1 SD untuk minta puasa bedug juga, padahal saya sedang mengajarinya untuk berpuasa  sehari penuh. Saya berusaha mencari jawaban. Satu-satunya jawaban yang saya dapatkan saat itu adalah karena teman sekelasnya masih banyak yang puasa bedug, dan itu diproklamirkan oleh mereka kepada teman-temannya. 
Anak saya merasa ‘terzholimi’ oleh saya, karena saya sudah memintanya untuk puasa penuh hari, sementara teman-temannya masih menikmati puasa bedug. Setelah penjelasan yang panjang lebar, akhirnya anak-anak saya mengerti. Alhamdulillah.

Setahun kemudian saya baru mendapatkan jawabannya, yaitu ketika saya berkesempatan berkunjung di siang hari Ramadhan ke sekolah, di saat jam bubaran sekolah. Sesuatu yang mengejutkan saya temui. Betapa di lingkungan sekolah anak-anak saya, kedai-kedai makanan terbuka dengan sebebas-bebasnya.Terbuka tanpa kain penutup/ tirai/kelambu.



          Di sini, di Semarang ini, memang banyak ditemui non muslim berwajah pribumi. Sehingga agak sulit membedakan jika melihat orang-orang yang makan, minum atau merokok dengan bebas di siang hari itu, mereka muslim ataukah bukan? 

Di tambah lagi suasana budaya yang  (maaf) benar-benar kurang menghargai orang-orang yang berpuasa. Setidak-tidaknya itu saya temui dari para tetangga yang bebas makan di teras rumahnya di siang hari Ramadhan. Jadi kalau kita melewati pasar dan melihat orang-orang makan, minum atau merokok dengan bebas tanpa tirai atau menemui mereka di jalanan, belum tentu mereka itu adalah non muslim, tidak ada jaminan untuk itu. Pun begitu dengan pengunjung dan pemilik kedai-kedai di lingkungan sekolah anak saya.
Hati saya miris, ini sekolahnya orang-orang tarbiyah lho, kok bisa?


          Setahun yang lalu saya pernah mengabari ini ke Majelis Sekolah tempat anak saya bersekolah, tapi tiada tanggapan. Saya mengabari ke wakaseknya, pun tiada tanggapan berarti. Satu-satunya reaksi yang saya lihat kala itu adalah, salah seorang ustad di sekolah ini yang peduli, berusaha menghalau anak-anak yang berkeliaran di sekitaran kedai. Hanya itu dan di hari itu.


Gambaran Posisi Kedai di Lingkungan Sekolah

Gambaran posisi kedai-kedai itu seperti ini. 
          Awalnya tanah sekolah ini berada di belakang sebuah lahan keluarga (saya kurang tahu persis status hak miliknya). Yang saya tahu (belakangan) bahwa penanggung jawab lahan ini (seorang ikhwah) memercayakan  pengelolaan dan uang sewa lahan ini kepada yayasan yang menaungi sekolah. Jalan sekitar 3x7 meter yang membelah tanah ini merupakan jalan masuk ke sekolah, dan itu jalan satu-satunya. 

Itu artinya anak-anak yang keluar masuk dari sekolah harus melewati jalan ini, dan harus terbiasa melihat bakwan panas yang mengepul dari kedai-kedai makanan, tempe goreng, peyek dsb, melihat orang-orang duduk menyantap makanan di sana, serta mencium aroma makanan yang membuat perut lapar, bahkan menyaksikan teman sebayanya duduk bersama orang tuanya di dalam kedai untuk membatalkan puasa karena jatah puasa bedugnya sudah usai.
Hampir setahun belakangan ini lahan itu bahkan sudah menjadi milik yayasan.


          Saya sempat berfikir, bagaimana mungkin yayasan tidak punya kuku untuk mengatur orang-orang yang mengontrak di lahan yang dipercayakan ke mereka, jika alasan hak kepemilikan tanah yang dibicarakan. 
Bagaimana mungkin yayasan tidak peduli, bukankah mereka bergerak di yayasan yang fokus ke kependidikan yang mengedepankan character building, karakter Rabbani? Saya penarasan sekali. 
Tapi sayang, saya tak menemukan jawaban, yang saya lihat adalah bentuk ketidakpedulian, yang penting uang sewa masuk ke yayasan, itu yang terlihat jelas di mata saya.


Salah Persepsikah Saya?

          Itu adalah pertanyaan yang sering melintas dalam benak saya. Mengingat kasus terindikasi sexual abuse, indikasi bulliying dari teman sebaya, bahkan dari guru terhadap anak saya, yang tidak pernah tuntas mendapatkan penyelesaian dan jawabannya, saya berfikir, jangan-jangan saya ini memang dipandang suka salah persepsi oleh sekolah.

Tapi saya yakin tidak salah persepsi, apalagi terkhusus untuk malasalah ini.
Setiap Ramadhan datang akan ada seruan dari sekolah untuk tidak membekali anak dengan bekal makanan, cukup membekali mereka uang saja untuk mengajari anak berinfak. Tujuan pelarangan membekali anak dengan makanan itu, untuk apa coba. 

Menurut saya yang faqir ini, tentu saja untuk melatih anak-anak berpuasa dan juga untuk menghormati orang-orang yang berpuasa, mengingat masih banyak anak-anak (bahkan sudah kelas 4 SD) yang oleh orang tuanya masih dalam status puasa bedug. Melatih anak berpuasa dan mengajari mereka menghormati teman-temannya yang berpuasa penuh adalah salah satu bentuk dari pendidikan berkarakter Rabbani.
Nah, sungguh kontradiktif dengan kondisi lingkungan secara umum, bukan? 


          Lalu alasan apa yang membuat yayasan membebaskan orang-orang berjualan makanan di siang hari di depan sekolahnya (masih dalam satu lahan) ? Sementara sekolah memberikan seruan untuk tidak membekali anak dengan makanan selama ramadahan di sekolah.  
Profitkah ini ataukah memang pihak yayasan benar-benar masa bodoh, ataukah mereka memang tidak mengerti, ataukah memang sebegitu mirisnya budaya di sini? Bagaimana mungkin yayasan tidak mendukung program sekolah yang dinaunginya. Ataukah ini defenisi lain dari kearifan lokal?
Benar-benar segerobak pertanyaan yang tidak mendapatkan jawabannya.


          Menurut hemat saya, jika memang uang yang menjadi masalah di sini (mengingat yayasan sedang butuh dana besar untuk melunasi lahan yang harganya milyaran), dan karena alasan sudah dikontrak, apa memang yayasan tidak punya cara lain dalam mengatasi ini? 

Jika memang status kedai itu dikontrak dalam masa ratusan tahun, mungkin ada baiknya pihak yayasan meminta agar kedai-kedai itu memasang kelambu serapat-rapatnya. Agar orang-orang yang tak berpuasa dan menikmati jamuan di kedai itu tidak perlu ditonton oleh anak-anak yang sedang belajar dan melatih diri untuk menahan lapar dan haus di tengah teriknya ramadhan. 

Dimana nurani dan empati para pengelola yayasan? Adakah masukan dari para pengajarnya, atau mereka semua memang masa bodoh saja? Akan berkahkah uang yang didapatkan dari hasil sewa kedai-kedai itu? WaLlahu’alam, entahlah...


Jika Saya Adalah Pengambil Kebijakan di Yayasan itu

Ada langkah-langkah bijak dalam mendukung program sekolah dan juga dalam mensyiarkan Ramadhan yang penuh berkah, jika saya adalah decision maker di yayasan itu.


#Mengingat bahwa ada di antara penyewa ini yang sudah menempati kedai itu dari zaman purba kala, akan ada beberapa tahapan yang bisa dilakukan, yaitu :

1. Memberi himbauan kepada pemilik-pemilik kedai untuk menghormati ramadhan, setidak-tidaknya di jam-jam anak-anak bersekolah, itu artinya di hari sekolah, di bawah jam Zuhur, dengan tidak berjualan bebas di siang hari.

2. Memberi anjuran, agar orang-orang yang menyewa kedai untuk memasang kelambu/tirai serapat-rapatnya, jika mereka tidak bisa untuk tidak berjualan.

3. Memberi peringatan tegas kepada kedai-kedai yang melanggar himbauan dan anjuran ini, semisal dengan tidak lagi memperpanjang sewa kedai untuk mereka.

4. Mengembalikan uang sewa jika pihak penyewa tidak bisa menghormati keputusan ini.


#Menimbang bahwa ternyata ada penyewa baru setelah tanah berubah pemilik, ada beberapa langkah yang bisa diambil, yaitu :

1. Memberi batasan jelas ke pihak penyewa, bahwa ini adalah yayasan yang bergerak di bidang kependidikan, yang berada di bawah bendera P**, maka tidak diizinkan mereka berjualan di siang hari ramadhan.

2. Jika akad sewa menyewa sudah terjadi sebelum pihak yayasan sadar akan keteledoran ini, maka dianjurkanlah ke pihak penyewa untuk tidak mengizinkan orang-orang menikmati hidangan di kedainya. Silahkan berjual beli, tapi tidak untuk disantap di tempat, melainkan untuk dibungkus dibawa pulang.

3. Tetap menganjurkan mereka agar memasang kelambu/tirati serapat-rapatnya.

4. Mengembalikan uang sewa waktu yang tersisa jika pihak penyewa tidak bisa menerima keputusan ini.


#Mengambil sikap tegas untuk kedepannya, bahwa pihak penyewa dilarang berjualan di siang hari ramadhan, terutama di hari-hari sekolah dan di jam-jam sekolah.


#Memutuskan bahwa yayasan hanya akan menyewakan kedai kepada orang-orang yang bisa menghormati orang-orang yang berpuasa.


Menurut saya, yayasan bisa mengambil tindakan ini. Analoginya begini,.

Jika kita memiliki lahan/bangunan yang kita sewakan ke orang lain, apakah kita akan membebaskan mereka untuk berbuat semaunya di sana? Mereka mau bermaksiat, mereka mau menggangu ketentraman tetangga, dsb, dst, dsl, apa kita sebagai pemilik tidak berhak menegurnya, begitukah? Apakah kita akan membiarkan program pendidikan ke anak-anak kita menjadi terganggu hanya karena berharap uang sewa?


Kalau saya tidak, insyaaLlah tidak, jika saya adalah pemiliknya. 
Bagi saya, tetap ada peraturan dan norma-norma yang mengikat. Karena uang bukanlah segala-galanya. Memberi aturan yang jelas dan memihak kebajikan, adalah bentuk lain dari dakwah, wujud nyata dari menciptakan bi’ah sholehah; sesuatu (yang tadinya, entah dengan sekarang) menjadi ciri dari tarbiyah. Izzah dan karakteristik tidak bisa dihargai dengan money.

Salah persepsikah saya? Terserah apa pendapat anda, bagi saya tidak. Jika memang itu dianggap sebagai beda persepsi, maka saya ‘tidak minder’ dengan beda persepsi dalam hal ini. Saya 'bangga' bisa punya prinsip dalam hidup.

Demikian, sudah saya sampaikan.

10 komentar:

  1. Mbak Vet.., maaf ya, mau tanya nih, bukannya partai yang satu itu sudah mendeklarasikan diri sebagai partai yang terbuka ketika munas di Bali beberapa tahun yang lalu? jadi enggak salah dong kalau mereka bersikap seperti itu. khan mereka sudah mengakui sebagai partai yang terbuka. saya cuma heran saja kalau sebagian masih ada yang percaya bahwa itu partai dakwah. atau, apakah yang disampaikan di publik berbeda dengan para kadernya yang masih sangat mempercayai partai tsb sbg partai dakwah. (apa yang terlihat di depan, beda dengan apa yang ada di dalam dengan alasan maslahat?

    Tapi, apapun itu, sebagai institusi pendidikan yang berbasis agama (terlepas partainya apa), harusnya bisa menanamkan nilai-nilai islam sebagai bagian jati diri anak didiknya, termasuk mengkondisikan lingkungan sekolah untuk hal tsb. tetap semangat ya mbak. walau kadang merasa sendirian dalam berjuang, yakinlah, engkau tidak sendiri :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. soal partai daku tak terlalu paham Kak Rebellina, banyak poin yang diriku sendiri tidak memahaminya, apalagi soal buka2an itu ya =D
      kalau gak salah mereka menyatakan partai terbuka agar mereka bisa meraup suara lebih besar, bisa masuk ke semua elemen, dalam artian dakwah dalam baju yang lain, waLlahu'alam

      terima kasih supportnya say, ini yang bisa kulakukan sekarang, mengingat Majelis Sekolah sendiri (kemungkinan besar) adalah orang2 yang diinginkan akan menggolkan ide2nya oleh yayasan, bukan wakil orang tua untuk kemaslahatan anak di sekolah :(

      Hapus
  2. aduuh...miris ya? kayaknya ini udah kegelisahan kesekian kalinya dari Bunda ya? kayaknyaharus diambil langkah lebih berani, semisal memindahkan adik2nya ke sekolah lain (kalo kakaknya kan nanggung tuh...)
    memang berat resikonya, keluar uang banyak, atau harus berjibaku hunting sekolah baru yang sesuai visi-misi kita. Namun kalo itu untuk masa depan anak dan ketenangan batin kita, mungkin akan sebanding dengan pengorbanannya.
    sekolah si sulung sy sepertinya ga masuk JSIT (ato saya y blm tau), lalu homeshooling group SD afiliasi dari HS TK anak2 saya juga memang gak populer, tapi insyaAlloh soal bi'ah dan pembentukan syakhsiyah islamiyyah-nya saya percaya dan membuat sy kagum.
    jadi menurut saya, sekolah y gak populer belum tentu lebih buruk dari sekolah populer. wallahu a'lam
    tetap semangat ya, Bunda... terusterang saya termasuk pengagum Bunda^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. memang miris Mbak Maya,
      hanya saja pindah bukan solusi saat ini, selain karena faktor biaya yang sangat besar, juga faktor repot mendrop anak di dua tempat yang berbeda, dirimu kan tau, daku trauma pakai driver, jadi kalau abinya anak2 DL, daku bisa keteteran..., lagi pula kami tak berencana lama di sini, hanya hingga abinya selesai sekolah, insyaaLlah tahun depan kita semua meninggalkan Semarang, rencanya begitu

      benar, populer belum tentu lebih baik dari yang tidak populer, dan kami memilih sekolah ini dulunya bukan karena populernya itu, tapi lebih ke efektifitasnya, karena rencana awal kami hanya sampai 2 tahun di sini,eh malah molornya lama :(

      terima kasih supportnya, semoga kita bisa saling menyemangati ^_^

      Hapus
  3. mak Vetri, memang yg paling bisa dilakukan adalah terus melakukan pendekatan pada anak2 kita sendiri, mengandalkan pihak lain sudah sangat sulit saat ini.
    Saya yang masih sangat minim ilmu agama ini menganggap bahwa puasa adalah ibadah wajib yang setara dengan sholat, hal yg memang sudah wajar dan biasa dilakukan oleh muslim, sesuatu yg tidak menuntut diistimewakan. Memang berat utk anak2 kita saat melihat temannya asyik jajan sedangkan dia sendiri kudu berpuasa.
    Anak saya hanya bersekolah di SD Negeri, bisa dibayangkan to bagaimana suasana Islaminya? Minim. Namun Alhamdulillah sepanjang kita punya trik dan tau psikologis anak kita masing2, akan selalu ada jalan dari Allah utk membimbing mereka.
    Memberikan benteng berupa situasi yg super kondusif kepada anak2 juga ada kelemahannya lho mak, karena nantinya di luar sana saat anak2 tumbuh berkembang mereka akan berhadapan dengan apa itu yang namanya 'real world'. Itulah tantangan kita ya mak, yuk tetap semangat, semoga kita selalu dilimpahi barokah utk membawa anak2 kita berhasil dunia akhirat. Aamiin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya Mak Uniek, bener sekali, kondisi seperti ini seharusnya membuat anak2 kita menjadi struggle ya, ini adalah kesempatan untuk membuat anak2 menjadi pribadi tangguh, setuju sekali say...

      tapi Mak, masalah ini terjadi di IT Mak, bukan di Negeri atau non IT (maaf ya), ada standar2 tersendiri bagi pengelolanya, bagi pengajarnya, bagi karyawannya bahkan bagi CSnya,

      mereka berkoar2 mengedepankan pendidikan berkarakter Rabbani, lha gimana mau berkarakter, wong kondisinya aja enggak kondusif, terkesan tidak ada keterhubungan program sekolah dengan dukungan pihak yayasan, gitu lo Mak

      soal anak2ku, daku juga tak berharap banyak pada sekolah, tapi daku boleh protes dong ya, kan daku dah bayar mahal,
      tiap tahun bayar daftar ulang, tahun ini aja si Sulung kena 2jt, yang kelas 3 kenal 1,63jt , tuh kan duit beneran, bukan kertas yang disobek2 :(

      Hapus
  4. Dear ibu yang Vietrieni

    Hal yang hampir sama terjadi antara saya dan suami, pada saat memutuskan apakah anak saya akan melanjut ke sekolah Islam atau umum. Karena kepepet waktu dan kami baru pindah, hanya sekolah swast umum tersebut lah yang menerima anak saya.

    ada kegalauan dihati Suami saya tentang pendidikan agama anak saya, memang suami saya dari Aceh dimana kondisinya sangat penuh syariah dan saya berasal dari medan dimana kemajemukan dan plural.

    Saya mencoba memberi pandangan bahwa saya dulu juga bersekolah di sekolah umum, guru saya dari kelas 1 sampai kelas 4 adalah non muslim.

    Tapi begitu kembali kerumah, saya memiliki panutan yaitu Bapak dan Ibu saya. Bapak saya sangatlah tegas dalam ibadah dan mereka mengundang guru ngaji kerumah setiap malam.

    Benar lingkungan sangatlah berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak, tapi kita orang tua ada role model untuk mereka, saya selalu tanamkan ke anak, "kita kan muslim saya, dalam islam kita diajarkan begini begini..." dan itu tidak satu atau 2 kali, tapi setiap hari. Mereka harus ditanamka bahwa mereka beda dan mereka bangga akan islamnya.

    Ibu jadikan umat islam itu umat yang kuat, kita yang puasa kok orang lain yang dilarang makan, hiduplah berdampingan dengan umat lain, itu akan sangat menguji kita akan ketaqwaan kita.

    BalasHapus
  5. Dear Anonim, maaf saya tak tau harus membahasakan apa pada dirimu,,,
    sepertinya engkau tidak menangkap maksudku dengan baik ataukah diriku yang tak pandai menyampaikannya :)

    secara pribadi saya punya hak apa ya ngelarang2 orang makan di siang hari ramadhan, pede banget kali yah =D
    jelas saya tidak punya hak
    tapi dalam hidup bermasyarakat kita diajarkan untuk bertenggang rasa, bertoleransi, saling menghormati,...begitu ajaran nenek moyang dari zaman dulu, melakukannya dalam konteks yang benar

    masalah panutan, anak2 saya sejauh ini alhamdulillah dan insyaaLlah untuk selanjutnya tidak perlu mencari role mode, ada saya dan suami dan para paman bibinya yang bisa memberi contoh yang baik, alhamdulillah

    saya tak bisa melihat profile dirimu, jadi saya anggap engkau tidak bisa menangkap beberapa kata kunci
    anak saya sekolah di IT, bukan sebarang IT, tapi ITnya orang2 tarbiyah P**,

    separuh usia saya habis di tarbiyah ini dan saya tahu seharusnya orang2 tarbiyah itu seperti apa,,,
    nah ketika bertolak belakang idealita dan realita dan terbentang jurang yang menganga, tentu akan ada pertanyaan, kenapa ini, ada apa ini, kok bisa...(*bingung)

    Ini sekolah mengedepankan pendidikan berkarakter lo, bukan sebarang karakter, tapi karakter Rabbani, nah lo, maksudnya apa itu?
    guru2nya WAJIB TARBIYAH lo, bahkan CS dan DRIVERnya pun,SEMUANYA WAJIB NGAJI, ARTINYA INI BUKAN SEBARANG IT, dan bayarannya MUAHAL LO, ntu yang disetor tiap tahun ajaran baru itu duit, bukan potongan2 kertas qeqeqe
    lha tidak kondusif dong untuk ciri khas sekolah, untuk program sekolah, gitu lo say maksud saya...

    btw, kenapa tidak menyatakan dirimu secara tegas, khawatir terlacak ya ^_^ atau jangan2 dirimu bagian dari orang2 ini, JSIT dari daerah yang plural juga, bukan dari daerah yang berbasis sangat penuh syari'ah (minjam istilahmu ya),
    kalau itu benar saya bisa mengerti, memang orang2 P** ini banyak yang aneh2 sekarang, faktor x nya sangat kuat terasa

    tapi apapun itu thanks ya, jazakaLlahu khairan atas kunjungan dan jejaknya, silahkan datang lagi, yeahh...
    salaam

    BalasHapus
  6. Alhamdll untung mba di sekolahan si sulung, SD Mhmdyh 1 Kudus, semua tertib lancar...kebetulan pula ketertiban serta kedisiplinan selalu ditegakkan, mungkin adanya komunikasi paguyuban ortu di sekolah dengan pihak sekolah dan yayasan harmonis ya. Aduh baru tahu deh ada info seperti kisah mbak diatas.
    Semoga Allah akan terus membantu keadaan menjadi lebih baik ya,mbak. YAng terprnting support dan akhlak mental anak-anak sudah mba bekali lebih kuat dalam kehangatan rumah. Salam sayang sayang untuk anak2.

    BalasHapus
  7. alhamdulillah ya Mbak, senang rasanya melihat kondisi seperti sekolahan Mhmdyh itu ya,...saya bingung kenapa di sini seperti itu ya, setau saya secara akarnya kita sama, sama2 memiliki kepedulian, toleransi dan saling menghormati,,,
    thanks support ya, aamiin, salam sayang juga untuk anak2mu yah :)

    BalasHapus