Kemaren siang waktu
bubaran sekolah, di pagi menjelang siang, semakin banyak saja anak-anak yang berseragam merah putih
duduk-duduk di kedai makanan di depan sekolahan. Kedai-kedai itu masih satu
lingkungan (komplek) dengan sekolah. Saya hanya melihatnya dari jauh, nelangsa.
Dan membawa anak-anak saya kabur dari pemandangan itu secepatnya. Pilu.
Salah persepsikah
saya?
Perkenalkan, saya ini
orang Minang, sebuah suku yang menganut prinsip Adat Bersandi Syarak, Syarak
Bersandi KitabuLlah. Saya lahir dan besar di ranah Minang, satu-satunya
kesempatan saya merambah ranah orang lain adalah ketika saya menikah hampir 13 tahun yang lalu.
Meski kondisi alam
Minang Kabau terkadang juga jauh dari kondisi Islami, namun ada beberapa poin
yang sulit diabaikan, diantaranya adalah bahwa setiap orang di ranah Minang,
baik muslim atau bukan, ada kewajiban tidak tertulis untuk menghormati orang
berpuasa. Sehingga ketika Ramadhan menjelang, bisa dipastikan suasana puasa
akan kental terasa. Jika ada para pedagang yang nekat mengais rezki di siang
hari di bulan ini, maka akan ada aturan-aturan yang mengikatnya.
Kondisi ini didukung
oleh perda yang mengatur bahwa kedai-kedai itu harus memakai kelambu/tirai
tertutup serapat mungkin.
Dan semacam ada norma
dalam masyarakat bahwa baik yang berjualan di siang hari ramadhan ataupun muslim
yang tidak berpuasa akan digolongkan oleh masyarakat ke dalam orang-orang lemah
iman, tipis urat malu, tidak tahu tata krama, bahkan terkadang diejek sebagai
kafir.
Sehingga bagi saya pribadi dan bagi banyak orang Minang
lainnya yang masih kental suasana Ranah Minangnya beranggapan, bahwa muslim
yang tidak menghargai orang yang berpuasa itu termasuk ke dalam bagian
orang-orang yang bermaksiat selama Ramadhan.
Anak-anak saya
bersekolah di sebuah SDIT di lingkungan JSIT Kota Semarang, Jawa Tengah.
Anak-anak saya, Aisyah (kelas 6), Hamzah (kelas 3) dan Fathimah (TK A),
bersekolah di satu komplek lingkungan di bawah naungan sebuah partai berbasis
Islam yang belum lama ini mantan presidennya terseruduk kasus daging sapi.
Pihak pengelola yayasan, para guru dan semua elemen di sini, adalah orang-orang
yang ‘wajib’ berada dalam tarbiyah ala partai ini. Bahkan banyak dari mereka
sudah berada di jenjang para perindu syorga dan perindu syahid.
Salahkan jika saya
berharap lebih?
SDIT ini adalah
sekolah IT kedua bagi anak saya Aisyah, yang dua-duanya berada di lingkungan JSIT
yang sama. Sekolah IT pertamanya dulu di Pekanbaru, di daerah mayoritas suku
Melayu yang juga terkenal Islami, beradik kakak, bersebelas dua belas dengan
Ranah Minang, karena secara akar kedua suku ini sebenarnya serumpun.
Di sana,
dulu, saya merasa mendapatkan dukungan dalam mengajari anak berpuasa. Karena
sekolah ketat dalam hal ini, ketat soal batas wilayah dengan orang di luar
sekolah, ketat dalam prinsip-prinsip ber-Islam, kental suasana tarbiyahnya.
Beda jauh dengan di sini.
Saya sejujurnya
sungguh tak ingin membanding-bandingkan, tapi apa hendak dikata, suasana yang memilukan ini membuat batin
saya meringis. Tak tahu apa yang harus saya lakukan.
Ramadhan di Sekolah Anakku
Pertama kali beramadhan di
sekolah ke dua ini, anak sulung saya merengek-rengek minta puasa bedug. Kala itu ia
kelas 4 SD. Saya bingung dan penasaran, bukankah semenjak dia kelas 1 SD saya
sudah melazimkannya untuk puasa penuh hari, dan terbukti bahwa ia telah sanggup
melakukannya? Ada apakah?
Suasana ini juga
merangsang adiknya yang kala itu baru kelas 1 SD untuk minta puasa bedug juga,
padahal saya sedang mengajarinya untuk berpuasa sehari penuh. Saya berusaha
mencari jawaban. Satu-satunya jawaban yang saya dapatkan saat itu adalah karena
teman sekelasnya masih banyak yang puasa bedug, dan itu diproklamirkan oleh
mereka kepada teman-temannya.
Anak saya merasa ‘terzholimi’ oleh saya, karena
saya sudah memintanya untuk puasa penuh hari, sementara teman-temannya masih menikmati puasa bedug. Setelah penjelasan yang panjang
lebar, akhirnya anak-anak saya mengerti. Alhamdulillah.
Setahun kemudian saya
baru mendapatkan jawabannya, yaitu ketika saya berkesempatan berkunjung di
siang hari Ramadhan ke sekolah, di saat jam bubaran sekolah. Sesuatu yang
mengejutkan saya temui. Betapa di lingkungan sekolah anak-anak saya,
kedai-kedai makanan terbuka dengan sebebas-bebasnya.Terbuka tanpa kain penutup/ tirai/kelambu.
Di sini, di Semarang
ini, memang banyak ditemui non muslim berwajah pribumi. Sehingga agak sulit
membedakan jika melihat orang-orang yang makan, minum atau merokok dengan bebas
di siang hari itu, mereka muslim ataukah bukan?
Di tambah lagi suasana
budaya yang (maaf) benar-benar kurang
menghargai orang-orang yang berpuasa. Setidak-tidaknya itu saya temui dari para
tetangga yang bebas makan di teras rumahnya di siang hari Ramadhan. Jadi kalau
kita melewati pasar dan melihat orang-orang makan, minum atau merokok dengan
bebas tanpa tirai atau menemui mereka di jalanan, belum tentu mereka itu adalah
non muslim, tidak ada jaminan untuk itu. Pun begitu dengan pengunjung dan
pemilik kedai-kedai di lingkungan sekolah anak saya.
Hati saya miris, ini
sekolahnya orang-orang tarbiyah lho, kok bisa?
Setahun yang lalu saya
pernah mengabari ini ke Majelis Sekolah tempat anak saya bersekolah, tapi tiada
tanggapan. Saya mengabari ke wakaseknya, pun tiada tanggapan berarti.
Satu-satunya reaksi yang saya lihat kala itu adalah, salah seorang ustad di
sekolah ini yang peduli, berusaha menghalau anak-anak yang berkeliaran di
sekitaran kedai. Hanya itu dan di hari itu.
Gambaran Posisi Kedai
di Lingkungan Sekolah
Gambaran posisi
kedai-kedai itu seperti ini.
Awalnya tanah sekolah ini berada di belakang
sebuah lahan keluarga (saya kurang tahu persis status hak miliknya). Yang saya tahu (belakangan) bahwa penanggung
jawab lahan ini (seorang ikhwah) memercayakan
pengelolaan dan uang sewa lahan ini kepada yayasan yang menaungi sekolah.
Jalan sekitar 3x7 meter yang membelah tanah ini merupakan jalan masuk ke
sekolah, dan itu jalan satu-satunya.
Itu artinya anak-anak yang keluar masuk
dari sekolah harus melewati jalan ini, dan harus terbiasa melihat bakwan panas
yang mengepul dari kedai-kedai makanan, tempe goreng, peyek dsb, melihat
orang-orang duduk menyantap makanan di sana, serta mencium aroma makanan yang
membuat perut lapar, bahkan menyaksikan teman sebayanya duduk bersama orang
tuanya di dalam kedai untuk membatalkan puasa karena jatah puasa bedugnya sudah
usai.
Hampir setahun
belakangan ini lahan itu bahkan sudah menjadi milik yayasan.
Saya sempat berfikir,
bagaimana mungkin yayasan tidak punya kuku untuk mengatur orang-orang yang
mengontrak di lahan yang dipercayakan ke mereka, jika alasan hak kepemilikan
tanah yang dibicarakan.
Bagaimana mungkin yayasan tidak peduli, bukankah mereka
bergerak di yayasan yang fokus ke kependidikan yang mengedepankan character
building, karakter Rabbani? Saya penarasan sekali.
Tapi sayang, saya tak
menemukan jawaban, yang saya lihat adalah bentuk ketidakpedulian, yang penting
uang sewa masuk ke yayasan, itu yang terlihat jelas di mata saya.
Salah Persepsikah Saya?
Itu adalah pertanyaan
yang sering melintas dalam benak saya. Mengingat kasus terindikasi sexual
abuse, indikasi bulliying dari teman sebaya, bahkan dari guru terhadap anak
saya, yang tidak pernah tuntas mendapatkan penyelesaian dan jawabannya, saya
berfikir, jangan-jangan saya ini memang dipandang suka salah persepsi oleh
sekolah.
Tapi saya yakin tidak
salah persepsi, apalagi terkhusus untuk malasalah ini.
Setiap Ramadhan datang
akan ada seruan dari sekolah untuk tidak membekali anak dengan bekal makanan,
cukup membekali mereka uang saja untuk mengajari anak berinfak. Tujuan
pelarangan membekali anak dengan makanan itu, untuk apa coba.
Menurut saya yang
faqir ini, tentu saja untuk melatih anak-anak berpuasa dan juga untuk
menghormati orang-orang yang berpuasa, mengingat masih banyak anak-anak (bahkan
sudah kelas 4 SD) yang oleh orang tuanya masih dalam status puasa bedug.
Melatih anak berpuasa dan mengajari mereka menghormati teman-temannya yang
berpuasa penuh adalah salah satu bentuk dari pendidikan berkarakter Rabbani.
Nah, sungguh
kontradiktif dengan kondisi lingkungan secara umum, bukan?
Lalu alasan apa yang
membuat yayasan membebaskan orang-orang berjualan makanan di siang hari di
depan sekolahnya (masih dalam satu lahan) ? Sementara sekolah memberikan seruan
untuk tidak membekali anak dengan makanan selama ramadahan di sekolah.
Profitkah ini ataukah memang pihak yayasan
benar-benar masa bodoh, ataukah mereka memang tidak mengerti, ataukah memang sebegitu
mirisnya budaya di sini? Bagaimana mungkin yayasan tidak mendukung program
sekolah yang dinaunginya. Ataukah ini defenisi lain dari kearifan lokal?
Benar-benar segerobak
pertanyaan yang tidak mendapatkan jawabannya.
Menurut hemat saya, jika
memang uang yang menjadi masalah di sini (mengingat yayasan sedang butuh dana
besar untuk melunasi lahan yang harganya milyaran), dan karena alasan sudah
dikontrak, apa memang yayasan tidak punya cara lain dalam mengatasi ini?
Jika
memang status kedai itu dikontrak dalam masa ratusan tahun, mungkin ada baiknya
pihak yayasan meminta agar kedai-kedai itu memasang kelambu serapat-rapatnya.
Agar orang-orang yang tak berpuasa dan menikmati jamuan di kedai itu tidak
perlu ditonton oleh anak-anak yang sedang belajar dan melatih diri untuk
menahan lapar dan haus di tengah teriknya ramadhan.
Dimana nurani dan empati
para pengelola yayasan? Adakah masukan dari para pengajarnya, atau mereka semua
memang masa bodoh saja? Akan berkahkah uang yang didapatkan dari hasil sewa
kedai-kedai itu? WaLlahu’alam, entahlah...
Jika Saya Adalah Pengambil
Kebijakan di Yayasan itu
Ada langkah-langkah
bijak dalam mendukung program sekolah dan juga dalam mensyiarkan Ramadhan yang
penuh berkah, jika saya adalah decision maker di yayasan itu.
#Mengingat bahwa ada
di antara penyewa ini yang sudah menempati kedai itu dari zaman purba kala, akan ada
beberapa tahapan yang bisa dilakukan, yaitu :
1. Memberi himbauan
kepada pemilik-pemilik kedai untuk menghormati ramadhan, setidak-tidaknya di
jam-jam anak-anak bersekolah, itu artinya di hari sekolah, di bawah jam Zuhur,
dengan tidak berjualan bebas di siang hari.
2. Memberi anjuran,
agar orang-orang yang menyewa kedai untuk memasang kelambu/tirai
serapat-rapatnya, jika mereka tidak bisa untuk tidak berjualan.
3. Memberi peringatan
tegas kepada kedai-kedai yang melanggar himbauan dan anjuran ini, semisal
dengan tidak lagi memperpanjang sewa kedai untuk mereka.
4. Mengembalikan uang
sewa jika pihak penyewa tidak bisa menghormati keputusan ini.
#Menimbang bahwa
ternyata ada penyewa baru setelah tanah berubah pemilik, ada beberapa langkah
yang bisa diambil, yaitu :
1. Memberi batasan
jelas ke pihak penyewa, bahwa ini adalah yayasan yang bergerak di bidang
kependidikan, yang berada di bawah bendera P**, maka tidak diizinkan mereka
berjualan di siang hari ramadhan.
2. Jika akad sewa
menyewa sudah terjadi sebelum pihak yayasan sadar akan keteledoran ini, maka
dianjurkanlah ke pihak penyewa untuk tidak mengizinkan orang-orang menikmati
hidangan di kedainya. Silahkan berjual beli, tapi tidak untuk disantap di
tempat, melainkan untuk dibungkus dibawa pulang.
3. Tetap menganjurkan
mereka agar memasang kelambu/tirati serapat-rapatnya.
4. Mengembalikan uang
sewa waktu yang tersisa jika pihak penyewa tidak bisa menerima keputusan ini.
#Mengambil sikap tegas
untuk kedepannya, bahwa pihak penyewa dilarang berjualan di siang hari
ramadhan, terutama di hari-hari sekolah dan di jam-jam sekolah.
#Memutuskan bahwa
yayasan hanya akan menyewakan kedai kepada orang-orang yang bisa menghormati
orang-orang yang berpuasa.
Menurut saya, yayasan
bisa mengambil tindakan ini. Analoginya begini,.
Jika kita memiliki
lahan/bangunan yang kita sewakan ke orang lain, apakah kita akan membebaskan
mereka untuk berbuat semaunya di sana? Mereka mau bermaksiat, mereka mau
menggangu ketentraman tetangga, dsb, dst, dsl, apa kita sebagai pemilik tidak berhak menegurnya, begitukah? Apakah kita akan membiarkan program pendidikan ke anak-anak kita menjadi terganggu hanya karena berharap uang sewa?
Kalau saya tidak, insyaaLlah tidak, jika
saya adalah pemiliknya.
Bagi saya, tetap ada peraturan dan norma-norma yang
mengikat. Karena uang bukanlah segala-galanya. Memberi aturan yang jelas dan
memihak kebajikan, adalah bentuk lain dari dakwah, wujud nyata dari menciptakan
bi’ah sholehah; sesuatu (yang tadinya, entah dengan sekarang) menjadi ciri dari
tarbiyah. Izzah dan karakteristik tidak bisa dihargai dengan money.
Salah persepsikah
saya? Terserah apa pendapat anda, bagi saya tidak. Jika memang itu dianggap sebagai beda persepsi, maka saya ‘tidak minder’ dengan beda
persepsi dalam hal ini. Saya 'bangga' bisa punya prinsip dalam hidup.
Demikian, sudah saya
sampaikan.
Pos terkait :
1. Itu Belum Seberapa, Masih Ada yang Lebih Parah
2. Mandi Bersama Anak, Mengenalkan Anatomi Tubuh
Mbak Vet.., maaf ya, mau tanya nih, bukannya partai yang satu itu sudah mendeklarasikan diri sebagai partai yang terbuka ketika munas di Bali beberapa tahun yang lalu? jadi enggak salah dong kalau mereka bersikap seperti itu. khan mereka sudah mengakui sebagai partai yang terbuka. saya cuma heran saja kalau sebagian masih ada yang percaya bahwa itu partai dakwah. atau, apakah yang disampaikan di publik berbeda dengan para kadernya yang masih sangat mempercayai partai tsb sbg partai dakwah. (apa yang terlihat di depan, beda dengan apa yang ada di dalam dengan alasan maslahat?
BalasHapusTapi, apapun itu, sebagai institusi pendidikan yang berbasis agama (terlepas partainya apa), harusnya bisa menanamkan nilai-nilai islam sebagai bagian jati diri anak didiknya, termasuk mengkondisikan lingkungan sekolah untuk hal tsb. tetap semangat ya mbak. walau kadang merasa sendirian dalam berjuang, yakinlah, engkau tidak sendiri :)
soal partai daku tak terlalu paham Kak Rebellina, banyak poin yang diriku sendiri tidak memahaminya, apalagi soal buka2an itu ya =D
Hapuskalau gak salah mereka menyatakan partai terbuka agar mereka bisa meraup suara lebih besar, bisa masuk ke semua elemen, dalam artian dakwah dalam baju yang lain, waLlahu'alam
terima kasih supportnya say, ini yang bisa kulakukan sekarang, mengingat Majelis Sekolah sendiri (kemungkinan besar) adalah orang2 yang diinginkan akan menggolkan ide2nya oleh yayasan, bukan wakil orang tua untuk kemaslahatan anak di sekolah :(
aduuh...miris ya? kayaknya ini udah kegelisahan kesekian kalinya dari Bunda ya? kayaknyaharus diambil langkah lebih berani, semisal memindahkan adik2nya ke sekolah lain (kalo kakaknya kan nanggung tuh...)
BalasHapusmemang berat resikonya, keluar uang banyak, atau harus berjibaku hunting sekolah baru yang sesuai visi-misi kita. Namun kalo itu untuk masa depan anak dan ketenangan batin kita, mungkin akan sebanding dengan pengorbanannya.
sekolah si sulung sy sepertinya ga masuk JSIT (ato saya y blm tau), lalu homeshooling group SD afiliasi dari HS TK anak2 saya juga memang gak populer, tapi insyaAlloh soal bi'ah dan pembentukan syakhsiyah islamiyyah-nya saya percaya dan membuat sy kagum.
jadi menurut saya, sekolah y gak populer belum tentu lebih buruk dari sekolah populer. wallahu a'lam
tetap semangat ya, Bunda... terusterang saya termasuk pengagum Bunda^^
memang miris Mbak Maya,
Hapushanya saja pindah bukan solusi saat ini, selain karena faktor biaya yang sangat besar, juga faktor repot mendrop anak di dua tempat yang berbeda, dirimu kan tau, daku trauma pakai driver, jadi kalau abinya anak2 DL, daku bisa keteteran..., lagi pula kami tak berencana lama di sini, hanya hingga abinya selesai sekolah, insyaaLlah tahun depan kita semua meninggalkan Semarang, rencanya begitu
benar, populer belum tentu lebih baik dari yang tidak populer, dan kami memilih sekolah ini dulunya bukan karena populernya itu, tapi lebih ke efektifitasnya, karena rencana awal kami hanya sampai 2 tahun di sini,eh malah molornya lama :(
terima kasih supportnya, semoga kita bisa saling menyemangati ^_^
mak Vetri, memang yg paling bisa dilakukan adalah terus melakukan pendekatan pada anak2 kita sendiri, mengandalkan pihak lain sudah sangat sulit saat ini.
BalasHapusSaya yang masih sangat minim ilmu agama ini menganggap bahwa puasa adalah ibadah wajib yang setara dengan sholat, hal yg memang sudah wajar dan biasa dilakukan oleh muslim, sesuatu yg tidak menuntut diistimewakan. Memang berat utk anak2 kita saat melihat temannya asyik jajan sedangkan dia sendiri kudu berpuasa.
Anak saya hanya bersekolah di SD Negeri, bisa dibayangkan to bagaimana suasana Islaminya? Minim. Namun Alhamdulillah sepanjang kita punya trik dan tau psikologis anak kita masing2, akan selalu ada jalan dari Allah utk membimbing mereka.
Memberikan benteng berupa situasi yg super kondusif kepada anak2 juga ada kelemahannya lho mak, karena nantinya di luar sana saat anak2 tumbuh berkembang mereka akan berhadapan dengan apa itu yang namanya 'real world'. Itulah tantangan kita ya mak, yuk tetap semangat, semoga kita selalu dilimpahi barokah utk membawa anak2 kita berhasil dunia akhirat. Aamiin.
iya Mak Uniek, bener sekali, kondisi seperti ini seharusnya membuat anak2 kita menjadi struggle ya, ini adalah kesempatan untuk membuat anak2 menjadi pribadi tangguh, setuju sekali say...
Hapustapi Mak, masalah ini terjadi di IT Mak, bukan di Negeri atau non IT (maaf ya), ada standar2 tersendiri bagi pengelolanya, bagi pengajarnya, bagi karyawannya bahkan bagi CSnya,
mereka berkoar2 mengedepankan pendidikan berkarakter Rabbani, lha gimana mau berkarakter, wong kondisinya aja enggak kondusif, terkesan tidak ada keterhubungan program sekolah dengan dukungan pihak yayasan, gitu lo Mak
soal anak2ku, daku juga tak berharap banyak pada sekolah, tapi daku boleh protes dong ya, kan daku dah bayar mahal,
tiap tahun bayar daftar ulang, tahun ini aja si Sulung kena 2jt, yang kelas 3 kenal 1,63jt , tuh kan duit beneran, bukan kertas yang disobek2 :(
Dear ibu yang Vietrieni
BalasHapusHal yang hampir sama terjadi antara saya dan suami, pada saat memutuskan apakah anak saya akan melanjut ke sekolah Islam atau umum. Karena kepepet waktu dan kami baru pindah, hanya sekolah swast umum tersebut lah yang menerima anak saya.
ada kegalauan dihati Suami saya tentang pendidikan agama anak saya, memang suami saya dari Aceh dimana kondisinya sangat penuh syariah dan saya berasal dari medan dimana kemajemukan dan plural.
Saya mencoba memberi pandangan bahwa saya dulu juga bersekolah di sekolah umum, guru saya dari kelas 1 sampai kelas 4 adalah non muslim.
Tapi begitu kembali kerumah, saya memiliki panutan yaitu Bapak dan Ibu saya. Bapak saya sangatlah tegas dalam ibadah dan mereka mengundang guru ngaji kerumah setiap malam.
Benar lingkungan sangatlah berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak, tapi kita orang tua ada role model untuk mereka, saya selalu tanamkan ke anak, "kita kan muslim saya, dalam islam kita diajarkan begini begini..." dan itu tidak satu atau 2 kali, tapi setiap hari. Mereka harus ditanamka bahwa mereka beda dan mereka bangga akan islamnya.
Ibu jadikan umat islam itu umat yang kuat, kita yang puasa kok orang lain yang dilarang makan, hiduplah berdampingan dengan umat lain, itu akan sangat menguji kita akan ketaqwaan kita.
Dear Anonim, maaf saya tak tau harus membahasakan apa pada dirimu,,,
BalasHapussepertinya engkau tidak menangkap maksudku dengan baik ataukah diriku yang tak pandai menyampaikannya :)
secara pribadi saya punya hak apa ya ngelarang2 orang makan di siang hari ramadhan, pede banget kali yah =D
jelas saya tidak punya hak
tapi dalam hidup bermasyarakat kita diajarkan untuk bertenggang rasa, bertoleransi, saling menghormati,...begitu ajaran nenek moyang dari zaman dulu, melakukannya dalam konteks yang benar
masalah panutan, anak2 saya sejauh ini alhamdulillah dan insyaaLlah untuk selanjutnya tidak perlu mencari role mode, ada saya dan suami dan para paman bibinya yang bisa memberi contoh yang baik, alhamdulillah
saya tak bisa melihat profile dirimu, jadi saya anggap engkau tidak bisa menangkap beberapa kata kunci
anak saya sekolah di IT, bukan sebarang IT, tapi ITnya orang2 tarbiyah P**,
separuh usia saya habis di tarbiyah ini dan saya tahu seharusnya orang2 tarbiyah itu seperti apa,,,
nah ketika bertolak belakang idealita dan realita dan terbentang jurang yang menganga, tentu akan ada pertanyaan, kenapa ini, ada apa ini, kok bisa...(*bingung)
Ini sekolah mengedepankan pendidikan berkarakter lo, bukan sebarang karakter, tapi karakter Rabbani, nah lo, maksudnya apa itu?
guru2nya WAJIB TARBIYAH lo, bahkan CS dan DRIVERnya pun,SEMUANYA WAJIB NGAJI, ARTINYA INI BUKAN SEBARANG IT, dan bayarannya MUAHAL LO, ntu yang disetor tiap tahun ajaran baru itu duit, bukan potongan2 kertas qeqeqe
lha tidak kondusif dong untuk ciri khas sekolah, untuk program sekolah, gitu lo say maksud saya...
btw, kenapa tidak menyatakan dirimu secara tegas, khawatir terlacak ya ^_^ atau jangan2 dirimu bagian dari orang2 ini, JSIT dari daerah yang plural juga, bukan dari daerah yang berbasis sangat penuh syari'ah (minjam istilahmu ya),
kalau itu benar saya bisa mengerti, memang orang2 P** ini banyak yang aneh2 sekarang, faktor x nya sangat kuat terasa
tapi apapun itu thanks ya, jazakaLlahu khairan atas kunjungan dan jejaknya, silahkan datang lagi, yeahh...
salaam
Alhamdll untung mba di sekolahan si sulung, SD Mhmdyh 1 Kudus, semua tertib lancar...kebetulan pula ketertiban serta kedisiplinan selalu ditegakkan, mungkin adanya komunikasi paguyuban ortu di sekolah dengan pihak sekolah dan yayasan harmonis ya. Aduh baru tahu deh ada info seperti kisah mbak diatas.
BalasHapusSemoga Allah akan terus membantu keadaan menjadi lebih baik ya,mbak. YAng terprnting support dan akhlak mental anak-anak sudah mba bekali lebih kuat dalam kehangatan rumah. Salam sayang sayang untuk anak2.
alhamdulillah ya Mbak, senang rasanya melihat kondisi seperti sekolahan Mhmdyh itu ya,...saya bingung kenapa di sini seperti itu ya, setau saya secara akarnya kita sama, sama2 memiliki kepedulian, toleransi dan saling menghormati,,,
BalasHapusthanks support ya, aamiin, salam sayang juga untuk anak2mu yah :)