Laman

Rabu, 18 September 2013

Syukurilah Apa yang Ada



Saya dulu pernah merasa hampa dengan pernikahan ini. Sehingga saya sering tersenyum geli ketika mendengar betapa orang-orang berharap untuk segera menikah. Lucu sekali, betapa mereka berharap terikat, semantara saya sendiri berharap bisa terbang bebas, begitu dulu pola pikir saya.


Saya menikah karena orang tua ingin saya segera menikah. Kalau boleh jujur, saya belum ingin menikah kala itu. Saya terpesona ketika Bapak sumringah kala lelaki sholeh itu datang. Betapa beliau tidak akan berbahagia, saya belum pernah sekalipun berpacaran. Meski berkali-kali saya menjelaskan, bahwa saya tidak akan pernah berpacaran, tapi beliau berdua tak mengerti juga. 
Menurut orang tua, saya ini ‘mengerikan’ di mata lelaki, buktinya sampai saya 24 tahun,

Kematian Itu Membawa Hidayah



Tak sedikitpun saya menyangka, akan ada sisi positif dari kematian yang menyakitkan itu. Karena berhari-hari hingga berminggu-minggu bahkan bertahun kemudian luka itu masih menganga. Meski berduka dalam diam, tapi saya tahu, tak sepenuhnya kami bisa menerimanya. Selalu saja ada nada-nada tak puas, selalu saja.


21 tahun yang lalu, Jum’at siang menjelang waktu jum’atan.
Suasana di rumah benar-benar mencekam. Seakan-akan ada alarm, bersiap-siaplah, akan ada kematian menghampiri.
Sebenarnya hawa tak menyenangkan itu sudah terasa dari semenjak pagi, ketika kami semua yang masih duduk di bangku sekolah tiba-tiba mendengar raungan Bapak. Itulah kali pertama saya tidak menyukai kaum lelaki menangis. Usut punya usut ternyata kakak sulung kami sudah tidak bisa lagi menelan nasi, bahkan meneguk air walau cuma seteguk. Kami semua tercenung, saling berpandangan dalam diam.
“Sudah...sudah, ayo semuanya berangkat sekolah”, Bapak memberi instruksi. “Sepulang sekolah langsung pulang ya, jangan mampir sana sini”. Bapak menambahkan instruksinya.