Laman

Jumat, 13 Februari 2015

Momen Yang Tepat Berbicara Sex Pada Anak

"Terbuka" bicara sex sama anak-anak, akan kita mulai pada usia anak berapakah?
Dua dari tiga yang sama miliki, telah berusia 9 th dan 12 th. Keduanya pada usia yang hampir berbarengan telah bertanya soal sex ini.
Momen valentine telah dimanfaatkan oleh orang-orang yang ingin merusak moral anak bangsa. Mereka telah bekerja sama dengan berbagai pihak untuk program penghancuran ini.
Sementara kita sebagai orang tua masih jalan sendiri-sendiri, masih ogah untuk belajar dan masih ogah untuk berbicara apa itu sex kepada anak.
Bahkan bisa jadi anak-anak tahu tentang penis, vagina dan bersenggama (hubungan sex) malah dari teman-temannya.
Sama halnya dengan info berbagi kasih di hari valentine, info berbagi cinta pun bisa jadi telah sampai ke telinga anak dengan cara yang keliru dan tidak tepat.
Salah siapa ini?

Hallo... jangan nyalah-nyalahin zaman, ya, jika kita sendiri sebagai orang tua justru tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kita telah jadi orang tua gagap yang hanya bisa marah dan menyalahkan. "Tidak boleh, dosa!"
Itu tidak cukup bagi anak.
Zaman sekarang ini informasi terpapar dengan jelas. Anak-anak bisa belajar dari mana saja terlebih jika mereka punya akses ke sana, lalu mereka akan berdiskusi sesama teman sebaya.
Nah, rasa penasaran ini akan membuat mereka melakukan uji coba praktek. Rangsangan untuk itu sudah sangat kuat sekarang



Sumber: Google, harianjateng.com

Kami di rumah terbiasa memeluk anak sebagai ungkapan sayang dan cinta, secara bahasa tubuh mereka juga meminta hal yang sama sejak kecilnya.
Barangkali ini insting, ya, karena saya jelas bukan sexolog dan juga bukan psikolog, saya mulai merasakan sesuatu yang lain dari pelukan itu meski hanya sesaat. Di saat itulah saya berfikir bahwa barangkali ini saat yang tepat mulai berbicara soal laki-laki dan perempuan dan tentang hubungan laki-laki dan perempuan.
Saat ini saya sedang mencari cara (karena saya bukan ahlinya) tentang informasi yang benar soal sex pada anak dengan cara yang seimbang untuk anak laki-laki saya yang sekarang mau 10 tahun. 
Soalnya dia termasuk anak yang penuh imajinasi. Kita ngomong A yang dibayangkannya B. Kita baru bicara A dia sudah komentar soal B. Intinya, pertanyaannya selalu lebih duluan selangkah dari yang saya bahas, kadang malah melenceng-lenceng dan menyerempet-nyerempet.
Dan juga untuk lebih memperkuat mental saya. Lha... kalau saya malu-malu, si buyung yang mulai besar itu tentu akan bisa menangkap keraguan saya.
Ow..ow, pipi saya tak boleh menghangat apalagi bersemu.
Harus muka badak dan teori yang tepat serta cara yang jitu.

Sekarang anak-anak kita mungkin belum melakukannya kekeliruan itu karena bisa jadi mereka masih takut pada kita. Perlahan rasa takut itu akan memudar, lho, nah di saat itulah bahaya menerkam mereka. Mudah-mudahan ALlah membantu kita dalam menjaga mereka, bukankah kita berharap begitu?

Momen yang tepat itu kapan, ya?
Saya tidak mau terbelit polemik teori ini dan itu. Sebagai orang tua menurut saya kitalah yang lebih tahu momen yang tepat itu. Karena jika anak-anak sungguh dekat dengan kita, tentu kita akan bisa menangkap bahasa tubuhnya, menangkap kebutuhannya, menangkap sinyal-sinyalnya, sehingga kita bisa tahu saat yang tepat dan dosis yang tepat.

Saya mungkin telah teracuni oleh orang-orang yang berusaha mengedukasi dan membuka cakrawala berfikir saya tentang pendidikan berbasis fitrah dan bakat.
Sekarang saya sedikit menyesal melepaskan anak saya ke boardingschool terlebih lagi ternyata membuat kami terpisah jarak yang saangat jauh (seribuan kilo meter lebih) padahal usianya masih perlu pendampingan diskusi dalam banyak hal. Saya sedikit menyesal akan kondisi saat ini.
Saya bukan anti ke sekolah, tapi beberapa kali berurusan dengan sekolah anak, saya jadi tahu bahwa soal permasalahan sex education di sekolah-sekolah yang telah dimasuki anak-anak saya, belum bisa diharapkan pendampingan yang positif dari mereka. Beberapa kasus malah pernah salah kaprah.
 
Untuk sekolah berasrama, kegiatan menelpon dari rumah yang hanya 1x seminggu dan hanya 10 menit (boleh lebih-lebih dikit karena saya protes ke pengasuhnya) dan jadwal kunjungan sekali dua minggu, itu tidak memadai terlebih lagi karena setiap kunjungan dia tidak bertemu dengan orang tuanya. Kondisi saya dan anak gadis saya seperti itu.
Memang saya telah menyesal karena jarak yang membentang. Sekarang saya sedang berusaha untuk memperdekat jarak itu apapun resikonya.
Karena saya menyadari belum tuntasnya saya mengedukasinya tentang sex education.
Siapakah diantara walinya yang bisa menggantikan saya di sana? Apakah ada?
Memang do'a itu cukup ampuh. Tapi ALlah tidak hanya memerintahkan kita untuk berdo'a. Do'a harus dibarengi dengan usaha, usaha harus diikuti dengan do'a. Tak boleh ada yang terlepas, harus seiring sejalan untuk usaha yang maksimal.
Soalnya hasilnya serahkan itu kepada ALlah.

Momen valentine sekarang jauh lebih merusak di banding tahun lalu. Tahun ini ada berita bahwa sudah dijual coklat bermerek dengan bonus kondom. Terlepas itu hoax atau bukan, yang jelas info sudah menyebar di dunia maya. Dan mata-mata yang penasaran akan mencari tahu apa itu.
Tapi kondom itu memang sudah di jual bebas sekarang. Terus soal buku yang mengajak anak untuk berpacaran yang isinya menurut teman saya yang sudah membaca, huu...sebuah buku yang mengajak freesex; sex sebelum menikah; zina.

Soal kondom yang dijual bebas, dulu saya pernah menegur dengan keras kasir di suatu lapak mart. Waktu itu ketika saya sedang membayar di kasir, di sebuah gerai yang sudah meyampah, ketiga anak saya berdiskusi hangat tak jauh dari saya. Itu artinya dekat meja kasir. Saking hangatnya diskusi itu saya jadi tertarik dan ingin mencari tahu. Ternyata mereka bertiga sedang berdiskusi tentang apa itu dan apa kegunaannya. Anak-anak saya yang sudah besar dan bisa membaca (usia 9 tahun lebih dan 12 tahun) memberi tahu adiknya yang belum bisa membaca (usia 5 tahun) bahwa itu adalah kondom merek sutra dan fiesta. Tapi mereka bingung guna pastinya itu untuk apa.
Saya yang mendengar langsung kaget dan langsung ke TKP yang tak jauh dari saya. Ternyata benar, itu adalah deretan kondom berbagi jenis yang dipajang sejajar dengan pandangan mata anak kecil usia 5 tahun.
Ih, saya geram sekali. Maka saya usir secara halus anak-anak saya karena saya ingin menegur kasirnya.

Jawaban kasirnya itu membuat saya terbelalak. Katanya itu untuk mencerdaskan anak ketika saya bertanya, kenapa kondom-kondom itu dipajang di tempat yang mudah dijangkau?
Coba bayangkan, rokok yang juga senyata-nyata merusak, diletakkan di etalase kecil pada posisi yang tinggi dan di belakang kepala kasir. Etalase terkunci, hanya kasir yang bisa menjangkaunya. Sedangkan kondom yang bahayanya juga tak kecil diletakkan di sejangkauan anak kecil. Tanpa etalase yang terkunci. Terpajang begitu saja.

Propaganda penghancuran moral anak telah di mulai. Masihkah kita akan adem ayem saja dan hanya mempercayakan sekolah dalam hal ini? Masihkan kita berfikir bahwa alam akan mengajarkan anak kita tentang sex dengan cara yang benar?
Kita mungkin baik-baik saja diajarkan dengan pola yang seperti itu, tapi apakah teman-teman kita semuanya juga baik-baik saja? Tidak bukan?
Ayo, zaman sudah berubah, maka sesuaikanlah pola asuh pada anak sesuai dengan zamannya.
Zaman sudah berubah, itu adalah fakta.
Mensterilkan anak bukan pilihan yang bijak lagi. Sekarang itu anak harus dibuat imun (tangguh/ kuat/ tahan guncangan) dari serbuan hal-hal yang akan merusaknya.

Jika bukan kita yang memberikan info yang benar tentang sex yang sesuai akidah, benar dan sehat kepada anak, lalu siapakah yang bisa kita harapkan? TV, teman, majalah/ koran/ cerpen/ novel?
Sex itu seperti mawar berduri, harus pandai memetiknya jika tak ingin terluka. Itulah konsep dasarnya.

Selanjutnya, ini ada artikel pengantar dari Ayah Edy. Saya katakan pengantar karena tidak sepenuhnya menelan bulat-bulat tulisannya. Saya tidak sepakat soal berpacaran yang sehat ala Si Ayah. Saya setuju dengannya soal hubungan sex hanya boleh setelah menikah. Soal pacaran saya berpendapat pacaran adalah pintu zina (sex sebelum menikah) jadi saya tidak sepakat. Seberapapun imunnya anak, pacaran jelas bukan solusi. Pacaran setelah menikah. Jikapun ada usaha sebelum menikah itu tidak boleh berlama-lama, hanya sekedar ta'aruf saja. Ok, kita lihat saja nanti.

Ini link pengantarnya,
PESAN AYAH PADA ANAK-ANAKKU TERCINTA DI TANGGAL 14 FEBRUARI https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=795941933810243&id=141694892568287&substory_index=0

4 komentar:

  1. Melihat kondisi saat ini, memang pendidikan sex sudah seharusnya mulai di bicarakan lebih intensif dengan anak, tapi tetap disesuaikan dengan kenyamanan kita dan usia si anak. Pengalaman yang bahkan baru-baru ini saya alami terhadap anak sulung saya yang menginjak masa pra remaja dengan kejadian di sekolah mewarning saya untuk mulai lebih peduli tentang mengedukasi sedini mungkin tentang sex pada anak. Makasih mbak atas sharingnya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya Mbak Elisa, saya setuju, harus tetap disesuaikan dengan kenyamanan kita prosi yang pas untuk usia phycoseksual anak.
      eh, soal apa itu? share dong...biar kita2 juga bisa belajar.
      saya lebih bisa belajar dari kasus ketimbang teori lho, Mbak

      Hapus
  2. Boardingschool dimana uni ? anak semakin dilarang semakin penasaran ingin tahu. Penting banget pendidikan sex untuk anak sejak dini dari sumber yg dipercaya supaya gak dpt pemahaman dari sumber yg tdk bertanggung jawab. salam bwt keluarga uni........btw maaf ya aku blm dpt trik utk bikin stick kentangnya , klo gak salah sih itu jenis kentang yg dipakainya jg beda dg yg banyak dijual di pasar tradisional

    BalasHapus
    Balasan
    1. di Padang, Teh. itulah, jauhkan?
      tadinya aku dah mau pindah banget di awal tahun ajaran kemaren, eh bapaknya minta tangguh hingga akhir Desember.
      pas Desember, eh si beliau malah minta Juli lagi,...
      aduh anak gadisku jauuh, jadi nyesel deh, Teh

      oh ya, sudah tak coba trikmu untuk stik dengan kapur sirih, ternyata memang kurang kres, nanti tak coba deh pakai,
      kentang impor
      makasih ya

      Hapus