Laman

Sabtu, 01 November 2014

Jodohku, Maunyaku Pilihan-MU


“Bacalah”, guru ngajiku menyodorkan amplop berwarna putih. Jantungku langsung berdetak kencang. Sekilas di sudut amplop terbaca sebuah tulisan ‘Kel. Zainal Lain’. Hatiku langsung berkata, “inikah saatnya?”

“Pelajari dulu, kemudian bicarakan dengan orang tua. InsyaaLlah Sabtu di akhir minggu ini ikhwannya datang ke sini.” Guru ngajiku menjelaskan sambil senyum-senyum. Saya langsung melongo, akhir minggu? Yang benar saja, ini sudah hari Selasa, Sabtu di akhir minggu itu berarti tinggal beberapa hari lagi.

Perasaan saya sedikit gundah, teringat terakhir kali menyodorkan proposal jodoh ini dengan emak saya. Saat itu beliau marah besar, tanpa alasan yang jelas. Usut punya usut ternyata beliau khawatir saya menikah dengan laki-laki yang belum memiliki pekerjaan tetap, apalagi  jika hanya lulusan (maaf ya) IAIN (sekarang namanya STAIN). 

Meski sudah sejak jauh-jauh hari saya menginformasikan ke beliau bahwa saya memilih untuk tidak berpacaran sebelum menikah. Sudah saya jelaskan pula bahwa kelak saya akan menikah -entah dengan siapa- tanpa melalui proses pacaran. Bisa jadi orang tua yang mencarikan atau teman yang mencomblangi.  Tapi sepertinya gagal.
Untuk bapak, saya tidak terlalu khawatir, karena beliau  memang tidak mengizinkan anak-anaknya untuk pacaran. Meski konsep berpacaran yang antara saya dan beliau miliki berbeda, setidak-tidaknya beliau setuju untuk tidak berlama-lama dalam masa pertunangan.

Saya kemukakan kekhawatiran saya kepada guru ngaji, beliau senyum-senyum saja dan menyuruh saya pulang untuk membicarakannya dengan orang tua. “Jangan pakai lama ya, ikhwannya khusus datang dari Jakarta hanya untuk ta’aruf. Sekarang dia dalam perjalanan pulang,” begitu beliau mengunci kekhawatiran saya.

Benar saja, ba’da Isya, setelah menyimpan amplop itu sehari semalam lamanya, ketika saya memutuskan untuk meminta pendapat Mak, beliau langsung meradang tanpa sedikitpun ingin melihat biodata yang saya ajukan. Hm...pasti beliau masih ingat kejadian terakhir saya mengajukan proposal. 
Kala itu saya baru sebatas meminta pendapatnya bagaimana jika saya lebih dulu menikah ketimbang kakak perempuan yang lebih tua. “Siapa orangnya?” Mak langsung ke pokok persoalannya kala itu. Tentu saja saya belum bisa menunjukkannya, kan saya baru menjajaki, kira-kira kalau saya duluan menikah bagaimana? Saya tidak bilang bahwa sudah ada yang tertarik ingin meminang. Tapi beliau langsung meradang kala itu. "Kuliah saja yang benar, gak usah berpikir macam-macam." Beliau menambahkan. 
Kala itu saya masih kuliah dan MR pun hanya meminta saya untuk menjajaki kemungkinan. 
Sekarang saya sudah tamat. Namun emak ternyata masih saja meradang.

Mak terdiam memandang saya. Perlahan saya sodorkan amplop berisi biodata lelaki itu plus foto hitam putihnya ukuran 3x4. Mak membaca dalam diam. Wajahnya tegang. Melihat kondisi tidak kondusif itu saya buru-buru  menjelaskan.
“Pak Zainal Lain itu kepala sekolah Nie waktu SMA dulu, Beliau orang Koto Anau.” Ajaib, wajah beliau melunak perlahan. “Itu anak bungsu Beliau, dia lulusan STAN,”saya menambahkan.
Tiba-tiba wajah emak saya jadi bersahabat. “Di sini tertulis anak ini PNS di BPKP.” Beliau berkata sambil tersenyum, “BPKP itu apa?” tiba-tiba Mak bertanya.
Saya gelagapan. Sungguh saya tak tahu apa itu BPKP, yang saya tahu hanya kepanjangan BPK. “Hm mungkin sejenis BPK juga, entahlah Nie ndak pasti,” separoh cemas saya menjelaskan.
“Mungkin,” beliau berkata sambil beranjak meninggalkan kamar saya.

Tak lama kemudian ada ribut-ribut di ruang tamu. Ternyata Bapak jengkel dengan Mak yang begitu terburu-buru untuk mengiyakan hanya karena di biodata itu tertulis PNS.
“Saya tidak mau tahu. Saya  setuju Nie memilih untuk tidak pacaran, tapi tetap saja Nie harus kenal orangnya. Jangan cuma lewat kertas begini.” Bapak protes keras, suaranya menggelegar. “Entah bagaimana caranya saya tidak peduli, yang jelas suruh laki-laki itu datang ke sini. Saya ingin melihatnya, dia  punya hidung atau tidak, kepalanya berambut atau tidak.” Beliau mengurainya panjang lebar.
Saya mengerti maksudnya. Bagaimana mungkin beliau bisa meng-acc begitu saja hanya berdasarkan rekomendasi  guru ngaji anaknya, sementara beliau juga belum pernah kenal dengan si guru ngaji. 
Ya wajarlah, menikahkan bukan permainan yang jika bosan bisa ditinggalkan begitu saja dan diganti dengan yang baru. Menikah itu bukan main-main. Saya lega, setidak-tidaknya bapak tidak mengamuk ke saya seperti halnya emak mengamuk beberapa waktu yang lalu.

Tapi bapak masih marah ke emak yang terpikat dengan status PNSnya. 
“Coba lihat ini, Kak, anak ini berfoto dengan jas kampusnya," emak mencoba melunakkan hati bapak.
“Jangan bodoh, jas begituan bisa disewa di mana saja," bapak terlihat makin jengkel.
Saya tersenyum melihat adegan itu, mungkin mak sangat senang anak perempuannya dipinang oleh orang yang berpenghasilan tetap. Bukan olah tukang ceramah dari mesjid ke mesjid yang tidak jelas penghasilannya berapa.


Pikiran saya melayang ke tahun-tahun yang telah berlalu. Kala itu saya masih duduk di bangku kelas 1 SMA, akhir semester 2. Seantaro sekolah mulai berbisik-bisik bahwa kami akan kedatangan kepala sekolah baru. 
“Kepala SMA 2 Solok,” begitu informasi dari salah seorang teman, tetangga kelas. Saya tersenyum saja kala itu.
Saya kenal baik teman ini, kami berteman sejak SMP. Dia memang berbakat jadi wartawan infotainment. Pergaulannya luas. Sejak kami SMP saya sudah tahu kalau dia memiliki banyak teman, bukan hanya dari SMP 1 Solok tempat kami bersekolah, tetapi dia juga memiliki teman-teman dari SMP 2 dan SMP 3. Benar-benar anak yang memiliki pergaulan luas.
“Bapak itu disiplin lho, tidak seperti kepala sekolah kita sekarang,” tambahnya.
Kami mengobrol di depan pintu kelas yang berdekatan. Bagi kami yang terlibat obrolan itu, berita itu sedikit membawa bencana. Itu berarti hari-hari untuk pulang sesuka hati hampir berakhir.
“Anak-anak Bapak itu hebat lho, semuanya kuliah di PTN,” si wartawan infotainment menambahkan informasi. “Anak-anaknya ganteng-ganteng lagi,” tambahnya.
Ciee...kami bersorak menertawakan si wartawan infotainment.

Di awal tahun di kelas 2 SMA, si wartawan membawa kabar baru. “Sebentar lagi Kepala Sekolah baru datang, tahu tidak, anak bungsunya lulus di STAN.” Meski selalu menganggap berita si wartawan infotainment itu seperti angin lalu, tapi tidak bisa saya pungkiri, saya sedikit kagum pada kepala sekolah baru itu. Bayangkan, anaknya 9 dan semuanya kuliah di PTN.


Sekarang, sambil memandang biodata yang  diberikan guru ngaji hati saya berkata-kata, si bungsu itukah yang akan diproses dengan saya? Duhai Tuhan, subhanaLlah, ajaib sekali takdir-Mu ini.

Begitulah, esok harinya sesuai instruksi bapak, saya kembali ke rumah guru ngaji. “Maaf Ustadz, Bapak Nie menyaratkan harus bertemu dulu dengan laki-laki itu. Baru kemudian Beliau mempertimbangkan untuk menerimanya atau bukan.”
 “Nie sendiri bagaimana?” si Ustadz bertanya.
Saya tersenyum saja, tak tahu bagaimana harus menjelaskannya.
Masih ada 3 kakak yang belum menikah di atas saya, 1 perempuan dan 2 laki-laki. Untuk saudara laki-laki barangkali tidak terlalu masalah, namun untuk kakak perempuan ini sedikit mengganggu pikiran saya. Si Kakak perempuan  kelahiran tahun 70, dia 6 tahun lebih tua dari saya yang kala itu berusia 24 tahun. Saya pribadi bimbang, tak hendak melangkahinya.
Tapi saya juga tidak diizinkan untuk menolak. 
Saya bimbang, ingin menolak. Lalu saya ke ustadzah -MR saya sebelumnya-, saya ingin mengoper data laki-laki itu ke akhwat yang lain. Si ustadzah ini mentaushiahi saya berpanjang berlebar.
“Tidak ada itsar dalam menikah ukhti, kita boleh itsar dalam rezki ALlah yang lain tapi tidak dalam masalah jodoh. Karena jodoh itu selain dari pilihan ALlah juga mempertimbangkan pilihan  hati. Dan laki-laki itu memilihmu.”
Sementara orang tua saya juga tidak meributkan hal ini, selain karena usia saya sudah 24 tahun, toh 2 tahun sebelumnya adik bungsu saya, perempuan, juga sudah melangkahi kami semua kakak-kakaknya. Saya hanya sungkan melangkahi kakak perempuan, karena itu berarti dia akan dilangkahi untuk kali yang ke-2. Dan ini di ranah Minang Kabau euy.... 
Tapi ya sudahlah, dijalani saja, begitu saya berfikir kala itu.

Seumur-umur hingga saya 24 tahun belum sekalipun saja menjalin hubungan spesial dengan lawan jenis. Seperti apapun rasa suka yang saya miliki, saya memutuskan bahwa mereka hanya sebatas teman. 
Banyak kejadian buruk di sekeliling saya. Kejadian tentang orang-orang yang berpacaran, semuanya berakhir tragis, MbA; Married by Accident. Melihat fenomena yang mewabah kala itu, bapak saya jadi streng terhadap yang namanya pacaran. Tidak boleh pacaran, begitu tegasnya. Dansetelah melihat efek-efek negatif dari orang-orang yang berpacaran disekeliling saya, saya memutuskan untuk setuju dengan pendapat Bapak.

Keputusan ini makin mantap ketika di kelas 2 SMA saya mulai mengikuti pengajian rutin mingguan. Saya belajar banyak di situ, tentang yang namanya ghazwul fikri, bahwa salah satu penyebab hubungan sex pranikah, pergaulan bebas, melanggar batas muhrim non muhrim adalah pacaran.
Kemudian saya dikenalkan dengan sebuah sistem pencarian jodoh, yaitu dengan dicomblangin. Baik itu oleh orang tua, saudara, teman bahkan guru ngaji. Yang intinya tidak boleh berpacaran sebelum menikah. Jikapun ada proses pengenalan, sedapat mungkin jauh dari namanya berdua-duaan, jauh dari maksiat dan tidak berlama-lama dalam proses pengenalan itu. 
Karena konsep yang saya pahami bahwa laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik-baik dan begitu sebaliknya. Jadi saya sampai pada kesimpulan bahwa jika saya ingin bersuamikan laki-laki yang baik-baik maka saya harus berusaha untuk menjadi perempuan yang baik-baik. Jika saya meluruskan niat niscaya ALlah akan membukakan jalannya. Begitulah.

Jujur saja tatkala satu dua orang teman mulai mendahului saya dalam menjemput jodoh, ada sedikit perasaan menyentuh hati, akankah saya kebagian laki-laki sholeh itu? Mengingat jumlah laki-laki tidaklah sebanyak perempuan apalagi yang sholeh, makin sedikit jumlahnya.  Alhamdulillah perasaan itu tidak berlama-lama. Saya kembali fokus pada perbaikan diri.
Bahkan pernah juga perasaan saya terganggu oleh satu dua orang pemuda sholeh yang menunjukkan perhatian dan minatnya, bahkan ada yang terang-terangan ingin melamar. Aduhai...gulana sekali rasanya.
Namun emak sudah menggaris keras dengan tinta merah, tamatkan dulu kuliahnya! 
Pengembalian yang cepat ke Allah atas masalah jodoh ini tidaklah membuat saya berputus harap. Jika memang  ada untuk saya niscaya Allah akan bukakan pintunya. 
Betapa banyak orang-orang yang bertemu jodoh dengan cara yang tak terduga, dimana jodoh adalah takdir yang akan mengenali masanya. Karena saya meyakini takdir adalah sumbangan goresan saya sebagai hamba, maka saya harus menggoreskan yang baik-baik agar lelaki sholeh itu dengan takdirnya datang menghampiri saya, seizin Tuhannya, Tuhan kami berdua.

Dan keajaiban itu datang menjelang.
“Dua adik ana belajar Islam (ngaji) bersama Ukhti,” begitu lelaki itu memulai ta’aruf di Sabtu siang, di rumah Ustadz tempat saya biasa menimba ilmu agama, menjelang kedatangannya untuk bertemu dengan bapak saya.
Saya terperangah, begitu lelaki itu menyebut ke dua adik sepupunya. SubhanaLlah, Allahuakbar.
Benarkah? Ajaib sekali. Setahu saya kedua adik ini tidak terlibat di dalam proses ini. Bagaimana mungkin mereka akan mencomblangin MRnya sementara si MR tidak tahu?
Dulu bahkan sekali waktu saya pernah ke rumah orang tuanya, 2 tahun sebelum proses perjodohan ini di mulai untuk memenuhi undangan silaturrahim dari kakak perempuannya. Duduk berbincang-bincang dengan kakak perempuannya di ruang keluarga mereka, dan kemudian berlanjut mengobrol di meja makan bersama bapaknya yang pernah menajadi kepala SMA saya. Si kakak bahkan menunjukkan photo mereka masing-masing sembilan bersaudara dengan jubah sarjananya yang tergantung di dinding ruang makan itu jauh di atas kepala.

Ajaib, sungguh ajaib sekali. Itukah rahasia Tuhan sebagai buah dari ketidakgundahan saya dalam masalah jodoh? Inikah buah saya percaya penuh saya pada-Nya? Ada seseorang yang ALlah persiapkan untuk saya, saya yakin itu. 
“Maaf, Bapak ana ingin ketemu dengan antum. Tolong dimaklumi, ana belum pernah terlibat hubungan serius dengan laki-laki, jadi beliau masih sedikit khawatir tentang proses ta’aruf kita ini,” sedikit gugup saya menyampaikan maksud hati bapak saya yang sangat mengkhawatirkan anak gadisnya.

Jadilah sesore itu, lelaki itu bersama guru ngaji saya datang ke rumah. Saya benar-benar deg-degan memikirkan bagaimana reaksi Bapak.
“Bapak tidak peduli siapa dia, apa kerjanya, bahkan jika dia tukang becak sekalipun. Yang Bapak mau, jika dia berani meminta Nie pada Bapak. Terus terang katakan apa maunya, dan anak Bapak mau dikasih makan apa, kalau ia serius, Bapak akan mempertimbangkan,” wejangan Bapak 2 tahun sebelumnya ketika saya membantu adik bungsu mengajukan proposal tentang inginnya untuk menikah duluan.

Saya duduk di dapur menanak nasi, sembari menunggu reaksi Bapak. Tiba-tiba Bapak datang ke dapur dan menanyakan kesiapan saya. Terang saya gelapan, saya tidak punya persiapan. Bukankah persyaratan beliau begitu sebelumnya, bahwa beliau harus bertemu dulu dengan orangnya, baru  kemudian pembicaraan soal perjodohan ini bisa dilanjutkan?
“Terserah Bapak saja,” saya menjawab pasrah. Benar-benar saat itu terserah Beliau. 

Semua kriteria sesuai sunah Rasul saw dipenuhi lelaki itu. Agamanya baik, komitmen beragamananya terlihat jelas dari penampilan dan rekomendasi ustad saya. Berasal dari keturuanan keluarga baik-baik, bukan orang dengan asal usul yang tidak jelas. Punya penghasilan tetap, meski tidak kaya secara materi, tapi ada sumber penghasilan untuk menghidupi keluarga. 
Dan wajah, meski saya belum berani menatapnya kala itu, tapi menurut orang tua saya, wajahnya sungguh menyejukkan, poinnya 8 menurut beliau berdua. Wajah lelaki pemberani menurut bapak saya.
Lalu apalagi? Kakak-kakak saya setuju dilangkahi untuk kedua kalinya, bahkan kakak laki-laki saya sampai terharu melihat ada yang berniat meminang adik perempuannya yang dingin terhadap lelaki. 
Komplit sudah, tak ada lagi masalah.


Saya hanya percaya, jika seseorang ditakdirkan untuk saya, maka dengan jalan apapun dia pasti akan datang menemui saya seizin Tuhannya, Tuhan kami berdua.
Keajaiban jodoh memang tak bisa diprediksi, siapa sangka saya justru berjodoh dengan anak kepala sekolah semasa saya SMA. Seseorang yang belum pernah saya temui sebelumnya, belum pernah saya kenal. Yang hanya pernah kami gosipkan di pintu kelas pada tahun-tahun yang sudah berlalu. Tapi siapa sangka, saya malah berinteraksi dengan adik-adik sepupunya, bertandang ke rumah orang tuanya untuk memenuhi undangan silaturrahim kakak perempuannya.
Tak sedikitpun terbersit bahwa kelak saya akan datang lagi ke rumah orang tuanya sebagai menantu. SubhanaLlah, ajaib sungguh ajaib.
 
(dok.Pribadi)
Dan menikahlah kami pada 14 Oktober 2000 seizin orang tua, seizin keluarga dan seizin Tuhan kami berdua, dengan acara yang sederhana dalam masa perkenalan kurang lebih 3 bulan saja.
Sekarang setelah belasan tahun mengharungi bahtera hidup berumah tangga, meski terkadang bertemu riak dan gelombang, bertemu badai yang menghadang namun sejauh ini semua baik-baik saja. Apapun masalahnya, semua terpulang kepada ALlah, Tuhan kami berdua.

***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar