Laman

Jumat, 12 Juli 2013

Sorban Putih Bapakku



Alhamdulillah, di usia 9 tahun saya dulu, saya sudah memantapkan pikiran untuk tidak berpacaran dan berfikir bahwa pacaran sebelum menikah itu adalah perbuatan sia-sia.
(Alm) Bapak saya memakai metode dialog dan analisa studi kasus untuk saya, dan itu efektif. Tapi sayang tidak efektif untuk saudara-saudara saya yang lainnya.
Ini bisa dimaklumi, karena ternyata memang beda anak, akan berbeda tipikal dan karakternya dan sudah tentu akan berbeda pula pola pendekatannya. Inilah cerita itu, cerita yang takkan mungkin ku lupa seumur hidupku...

***
"Kalian tau apa ini?" Bapak bertanya sambil memegang sorban putih di tangannya.
Kami semua, berenam bersaudara menjawab bahwa itu adalah sorban.
"Kalian tau apa yang akan terjadi jika sorban ini kalian lumurkan dengan lumpur?"
"Tentu saja sorban itu akan kotor," saya menjawab dengan lantang. Pandangan mata beliau beralih ke saya. Entahlah saya tak tahu kenapa, apa karena saya satu-satunya anak yang berani menatap mata beliau ketika berbicara ataukah karena saya adalah anak yang tanpa rasa takut ketika berbicara dengan beliau?
Bapak saya keras, itu saya akui. Kehidupan masa kecilnya yang sulit berpengaruh terhadap gaya pendidikannya. Tapi sesungguhnya saya tau, Bapak itu sebenarnya lembut, hatinya penuh kasih sayang, hanya terkadang caranya kurang bisa dipahami. Namun jujur saja, saya tidak pernah takut kepada Beliau. Bapak suka berkomentar riang ketika mendapati saya yang tidak mengalihkan pandangan ketika diajak bicara, bahkan ketika Beliau melotot tak jarang saya balas melotot.

"Kenapa kotor?" Bapak mengejar saya dengan pertanyaan.
"Tentu saja kotor, kan lumpur itu kotor." Yang saya bayangkan adalah saya mengambil sorban putih itu dan kemudian menginjak-injaknya di kubangan kerbau milik tetangga.
"Benar, lumpur itu kotor. Tapi kemudian setelah melumurinya dengan lumpur, Nie tersadar dan kemudian membersihkan sorban Bapak ini. Apa bisa sorban ini kembali putih seperti sedia kala?" Sekarang pertanyaan itu terfokus ke saya. Dan saya memperhatikan Beliau dengan penuh perhatian.

Akal kanak-kanak saya berfikir, bagaimana mungkin bisa kembali putih setelah dilumuri lumpur? Sedangkan baju putih ke sekolah tiap hari saja berubah menjadi kusam padahal selalu dicuci dan tak pernah dilumuri lumpur. "Tidak mungkin akan kembali putih." Itulah jawaban saya.

"Begitulah, Nie, ingatlah ini dengan baik untuk seterusnya ya, hingga Nie dewasa." Bapak memulai maksudnya. Terkesan dialog itu hanya antara kami berdua, meski sebenarnya dihadiri oleh 7 orang.

"Sekarang ini kalian adalah sorban putih Bapak ini. Cemerlang dan tidak ternoda. Tapi ketika kelak terpengaruh oleh pergaulan, berpacar-pacaran, pegang-pegangan hingga berzina, maka di saat itu kalian tak ubahnya sorban putih yang sudah dilumuri lumpur. Walaupun kalian sadar, ingin kembali memperbaiki diri, tapi cacat yang ada takkan bisa diperbaiki. Kenyataan bahwa kalian sudah ternoda, itu takkan bisa diubah. Maka berfikirlah sebelum mengambil tindakan. Pacaran itu perbuatan dosa yang dilarang ALlah, pacaran akan mengantarkan kalian ke pintu zina, hamil di luar nikah dan terpaksa berhenti sekolah. Dan membuat malu orang tua, dihadapan masyarakat dan juga dihadapan ALlah. Dan mempermalukan diri kalian sendiri."
Itulah wejangan (alm) Bapak ketika saya 9 tahun. Beliau mengumpulkan kami, memberi wejangan. Saya ingat di saat itu beberapa anak perempuan di kampung saya terpaksa DO dari bangku sekolah karena hamil, bahkan ada yang kawin lari.

Semenjak itulah saya mulai berfikir bahwa berpacaran itu adalah melanggar larangan ALlah, tidak disukai oleh Bapak, dan bisa berakibat hamil di luar nikah.

Eits jangan heran, di usia segitu saya sudah tahu kalau hubungan kelamin laki-laki dan perempuan bisa berakibat kehamilan. Engkau penasaran saya ini tahu dari mana?
Bukankah saya pernah bilang bahwa saya ini anak alam? Maka alamlah guru pendidikan sex pertama saya. Saya suka mengamati kucing, anjing, ayam (ini adalah binatangbinatang yang berkeliaran bebas di lingkungan rumah saya kala itu).
Dan saya tahu kalau sudah 'begituan' maka si betina akan mengandung.
***

Zaman kita dan zaman anak-anak kita jelas berbeda. Dulu arus informasi tidak segencar sekarang, orang-orang  masih malu-malu bicara sex. Meski sebenarnya secara kelakuan tidak jauh berbeda. Apa-apa  yang dilakukan orang-orang sekarang, juga telah diperbuat oleh orang-orang di zaman dulu. Bedanya, dulu orang malu-malu dan sembunyi-sembunyi, sekarang?

Dulu sumber informasi tentang banyak hal itu adalah orang tua dan guru, sekarang apapun sudah berubah jadi arus informasi, bahkan teman sebaya sekarang telah berubah jadi rujukan info terkini.
Anak-anak kecil dulu meski sudah juga merasakan 'sense' terhadap lawan jenis, tapi rasa itu diendapkan. Sekarang, bahkan anak TK saja sudah tidak malu-malu kalau dia menaksir seseorang dan penuh percaya diri mengatakan bahwa dia itu adalah pacarku.

Dulu saya mengerti kenapa orang hamil (saya pikir engkau juga begitu), tapi cukup tau saja. Sekarang, Hamzah dan teman-temannya -anak saya di kelas satunya dulu- menjadikan guru-guru perempuan di sekolahnya sebagai objek penelitiannya tentang ukuran perut perempuan hamil. Bukan membelanya ya, tapi para guru itu juga sih, mereka tidak malu-malu mempertontonkan perutnya dengan memakai baju/gamis yang sangat ketat.
Jika dulu adalah tabu membicarakan sex, membicarakannya secara sembunyi-sembunyi, sekarang segala macam tontonan bahkan iklan memperkenalkan ke anak bahwa ada hubungan yang terjalin di luar hubungan persaudaraan, di luar hubungan pertemanan. Dan ini membuat kitapun malu jika menanyakan ini ke orang tua. Kita cukup paham secara alamiah saja, tahu dengan sendirinya, bermentorkan ke alam. 

Sekarang,  anak kecil  sudah kenal dengan kata jatuh cinta, meski saya sendiri masih kurang yakin mereka akan mengerti maksudnya. Sedari dini mereka sudah tahu apa itu menikah, apa itu bercerai, bahkan apa itu selingkuh, meski secara makna mereka belum paham. Tontonan homo, lesbi, bergaul bebas menghantam mereka dengan sangat dahsyat.
Jika kita masih mempertahankan pola-pola lama, masih menabukannya, tidak mau membuka diri ke anak-anak, maka sudah bisa dipastikan anak-anak akan mencari jawabannya sendiri. Mereka saling diskusi dengan teman sebaya, bercerita sesuai dengan nalarnya, yang bisa jadi informasi ini alih-alih akan memberi pencerahan, yang ada juga anak-anak kita makin tersesat oleh informasi yang menyesatkan. dsb, dst, dsl...

***  
Zaman berubah, masa berganti, pola pendekatanpun tidak bisa lagi sama. Artinya metode dan pola pendekatan harus menyesuaikan. Hanya satu yang saya pribadi masih pertahankan, yaitu konsep pengajarannya.
Waktu boleh saja berlalu, masa boleh saja berganti. Namun yang haq tetaplah haq, yang bathil tetaplah bathil. Ganti metode dan pola tak ubahnya ganti baju bagi saya, orangnya masih sama.

Inilah konsep yang dipegang bapak saya, yang bahkan sejak zaman dulu bapak saya sudah terbilang aneh oleh orang-orang pendukung pacaran (sebelum menikah) kala itu. Tak boleh pacaran ( bapole-pole bahasa Minangnya) kata Bapak saya dengan tegas.

“Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sesungguhnya perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS.17:32)

Maaf, bukankah aktivitas pacaran itu memang melibatkan semua lini. Mata, hati, telinga, tangan, lidah, mulut, bibir,  kaki, kulit bahkan kelamin?
Izinkan saya bangga dengan bapak saya. Beliau tidak sempat menamatkan bangku sekolah karena harus berjuang mempertahankan hidup, tapi Beliau berpikiran maju, tidak ingin anak-anaknya celaka. 

Do'a untuk bapakku. 
Semoga ALlah mengampunimu, memaafkan salah khilafmu, menerima semua amal baikmu, melapangkan alam kuburmu dan memberimu tempat di sisi-Nya. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar