repost dari sebuah postingan yang terhapus tanpa sengaja.
Jum’at
sore itu anak perempuan saya pulang tidak di waktu biasanya. Sore itu ia pulang
pukul 4 sore kurang beberapa menit. Saya dan Abinya sudah cemas menunggu di
teras rumah. Biasanya ia pulang ke rumah paling lambat pukul 3.15 sore. Kami
masih menunggu dan memberi jeda beberapa menit lagi sebelum memutuskan untuk
menelpon driver sekolahnya.
Anak-anak
kala itu memang saya ikutkan antar jemput sekolah. Karena sebagai orang baru di
kota SMG, saya belum begitu mengenal medan. Di tambah lagi Abinya anak-anak ada
kelas magister di setiap malamnya. Anak saya 2 orang yang sudah SD, dan
dua-duanya sebenarnya tidak begitu suka naik antar jemput. Seringkali mereka
berdua mengajukan proposal agar Abinyalah yang mengantar ke sekolah dan
saya yang menjemput sepulangnya.
Tapi
tidak ada pilihan lain karena posisi Abinya anak-anak tugas belajar disini,
siangnya masuk kantor dan malamnya kuliah. Sehingga antar jemput sekolah adalah
pilihan pertama dan utama.
Antar
jemput jum’at tidak sama dengan antar jemput hari lainnya. Karena di hari Jum’at
anak laki-laki saya yang masih kelas 1 pulang pukul 10 pagi. Dan anak perempuan
saya yang sudah kelas 4 pulang pukul 2 siang.
Tinggal
beberapa menit sebelum pukul 4, waktu yang saya putuskan untuk menelpon
drivernya, tiba-tiba antar jemput sekolah berhenti di depan rumah. Anak
perempuan saya turun dengan tentengan di tangan dan drivernya langsung ngacir.
Jujur saja sebenarnya saya jengkel. Menurut hemat saya harusnya driver itu
menjelaskan kenapa terlambat dari jadwal biasanya. Saya juga melihat suami saya
jengkel. Beliau sampai terlambat kembali ke kantor setelah pulang sebentar ke
rumah karena ada keperluan. “Apa sering terlambat pulang seperti ini
Mi?”,begitu Abinya anak-anak minta penjelasan saya.
Namun
rasa jengkel harus saya tahan, karena saya harus fokus menanyai anak saya dan
itu harus dalam kondisi emosional yang tenang. Saya tidak boleh membuatnya
takut. Saya memang harus menanyainya karena anak perempuan saya turun dari
antar jemput sekolah dengan sebungkus mie bakso. “Di belikan driver”, begitu
jawabnya ketika saya menanyakan asal mie bakso itu. Jantung saya berdetak lebih
cepat ketika mendengar jawaban itu. Pikiran saya berputar ke belakang mengingat
beberapa informasi dari anak perempuan saya.
Beberapakali
anak saya bercerita tentang perlakuan drivernya. Mulai dari spidol snowman
hitam yang diberikan si driver untuknya, pulpen, gantungan kunci, disuruh
membacakan sms dari istrinya di mobil antar jemput hingga komentar si driver tentang
fisik anak perempuan saya.
Sebenarnya
ketika pertama kali anak saya dapat hadiah, saya sudah menanyakannya. Apakah
hanya dia yang dikasih hadiah? Pertanyaan yang sama juga ketika anak saya dapat
pulpen serta gantungan kunci. Selama ini walaupun sedikit khawatir, saya tidak
pernah memperlihatkan ke anak. Saya hanya memberi tahunya tentang pelecehan
sexual sesederhana mungkin, sesuai dengan nalarnya. Tapi memang semenjak hadiah
pertama itu saya seringkali menanyai anak saya tentang kegiatannya di antar
jemput.
Sejauh ini saya hanya melihat sebatas baik-baik saja, karena saya tahu drivernya juga belum dikaruniai anak. Ditambah lagi sikap sopan drivernya selama ini ketika mengambil dan mengantar anak kembali ke rumah. Ketika anak saya menginformasikan bahwa drivernya bilang dia kurus, saya juga menanyainya. Dan tidak ada yang mengkhawatirkan.
Sempat saya berfikir bahwa saya ini mulai paranoid, terkenang akan kisah keponakan yang mengalami pelecehan sexsual di umur 7 tahunnya.
Sejauh ini saya hanya melihat sebatas baik-baik saja, karena saya tahu drivernya juga belum dikaruniai anak. Ditambah lagi sikap sopan drivernya selama ini ketika mengambil dan mengantar anak kembali ke rumah. Ketika anak saya menginformasikan bahwa drivernya bilang dia kurus, saya juga menanyainya. Dan tidak ada yang mengkhawatirkan.
Sempat saya berfikir bahwa saya ini mulai paranoid, terkenang akan kisah keponakan yang mengalami pelecehan sexsual di umur 7 tahunnya.
Tapi
tatkala anak perempuan saya pulang dengan sebungkus bakso, saya tidak bisa
berbaik sangka lagi. Saya fikir, saya harus bergerak cepat jika tidak ingin
gigit jari. “Pak J tidak langsung pulang Mi, setiap sekolah usai”, anak perempuan
saya menginformasikan. “Kamilah yang selalu pulang paling terakhir di sekolah”.
Anak laki-laki saya membenarkan informasi itu. Ow begitu rupanya, pantas saja
jadwal sampai di rumah sepulang sekolah anak-anak selalu mundur dari kebiasaan. Saya harus ke sekolah
nih melaporkan, begitu pikiran saya kala itu.
“Hari ini kenapa Uni pulang terlambat?” saya menanyai anak perempuan saya. “Pak J nya nggak langsung pulang, lama dulu di sekolah. Terus tadi ketika hanya Uni dan Musthafa yang belum diantar, Pak J bilang dia lapar, terus mengajak kami makan bakso dulu.”
Saya benar-benar heran. Padahal tempat bakso itu kan hanya berjarak satu gang dengan tempat tinggal kami. Kenapa tidak mengantar anak kami duluan. Maka mulailah saya menginterogasi anak secara marathon, tentu saja tanpa disadari si anak. Dan terkumpullah informasi itu.
“Hari ini kenapa Uni pulang terlambat?” saya menanyai anak perempuan saya. “Pak J nya nggak langsung pulang, lama dulu di sekolah. Terus tadi ketika hanya Uni dan Musthafa yang belum diantar, Pak J bilang dia lapar, terus mengajak kami makan bakso dulu.”
Saya benar-benar heran. Padahal tempat bakso itu kan hanya berjarak satu gang dengan tempat tinggal kami. Kenapa tidak mengantar anak kami duluan. Maka mulailah saya menginterogasi anak secara marathon, tentu saja tanpa disadari si anak. Dan terkumpullah informasi itu.
Menurut
anak perempuan saya, drivernya berkali-kali menyentuhnya. Masya ALlah!! Saya
benar-benar kaget, berani sekali driver itu. Memegang-megang tangannya sambil
bilang betap kecilnya tangan anak saya. Mengelus pipinya hingga meraba
keningnya untuk memeriksa apakah anak saya demam atau bukan. Saya benar-benar
kaget, tapi kekagetan itu harus saya tahan. Saya tidak ingin anak saya takut.
Kemudian
saya mengajaknya mandi bersama, untuk mengambil moment menunjukkan
tempat-tempat yang tidak boleh disentuh orang lain. “Tidak Mi, tidak ada yang
pegang-pegang ini dan ini.” Anak perempuan saya menjelaskan. Perasaan saya
sedikit lega. “Tapi kenapa Uni tidak lapor ketika Pak J pegang-pegang tangan,
pipi dan kening Uni?”saya menanyanya penuh penasaran. “Nanti Pak J-nya Ummi
marahi, Uni takut, nanti siapa sama siapa kami pulang pergi ke sekolah?” Masya
ALlah, saya benar-benar kalut mendengar jawabannya.
Kejengkelan
saya makin bertambah ke driver itu, karena hingga malam Seninnya tak jua ia
menelpon meminta maaf dan kenapa terlambat mengantarkan anak pulang. Hingga
Seninnya saya putuskan ke sekolah dan untuk sementara antar jemput saya
hentikan.
Ke
pihak yayasan, sebagai pengelola antar jemput sekolah saya jelaskan keberatan
saya dan berdasarkan kondisi yang dialami anak, saya meminta rolling untuk
driver ke daerah tempat tinggal saya. Jawaban pertama pihak yayasannya cukup
mengejutkan. “Selama ini tidak pernah ada laporan begitu, Buk”, komentarnya.
Saya tersentak mendengarnya, benar-benar jawaban tanpa empati. Saya diminta menunggu keputusan rolling karena kala itu yayasan beralasan repot mengurus rolling karena di penghujung tahun. Baiklah saya harus bersabar dan menunggu.
Untuk sementara antar jemput anak saya non aktifkan.
Saya tersentak mendengarnya, benar-benar jawaban tanpa empati. Saya diminta menunggu keputusan rolling karena kala itu yayasan beralasan repot mengurus rolling karena di penghujung tahun. Baiklah saya harus bersabar dan menunggu.
Untuk sementara antar jemput anak saya non aktifkan.
Jujur
saja saya memang berharap drivernya di rolling. Saya pikir itu perlu sebagai sentrum
atas pelanggaran etika pada pengelolaan
antar jemput untuk sekolah sekelas SDIT di lingkungan JSIT.
Tapi ketika penghujung tahun berlalu saya harus menelan kekecewaan, ternyata rolling untuk driver tidak ada. Saya tegaskan ke Abinya anak-anak, bahwa saya tidak bisa mempercayakan anak-anak lagi ke antar jemput sekolah. Biarlah saya harus bolak-balik kelelahan demi keamanan anak-anak saya.
Tapi ketika penghujung tahun berlalu saya harus menelan kekecewaan, ternyata rolling untuk driver tidak ada. Saya tegaskan ke Abinya anak-anak, bahwa saya tidak bisa mempercayakan anak-anak lagi ke antar jemput sekolah. Biarlah saya harus bolak-balik kelelahan demi keamanan anak-anak saya.
Sebagai
bagian dari warga sekolah, saya melaporkan keadaan kepada Majelis Sekolah
setelah pihak yayasan tidak mau merolling drivernya. Dan hasilnya mengecewakan
saya. Bukan karena mereka tidak memihak saya, tapi lebih ke cara penyelesaian
masalahnya yang membuat saya kecewa. Saya jadi berfikir bahwa Majelis Sekolah
hanya harimau tanpa gigi yang membela kepentingan yayasan.
Bagaimana
tidak. Pertemuan yang sedianya mendengarkan pengaduan saya ternyata juga
dihadiri si Driver. Meski juga dihadiri oleh kepala sekolah dan para wakilnya
yang belakangan saya tahu sebagai orang-orang dari yayasan, tapi kehadiran
driver yang tidak diharapkan tidak bisa mereka jelaskan ke saya. Tentang siapa yang menyuruhnya hadir ke pertemuan
yang saya gagas. Padahal itu kan haknya saya, karena sudah membayar 5 ribu
rupiah setiap bulan untuk Majelis Sekolah.
Baik majelis sekolah maupun pihak yayasan yang diwakili oleh guru-gurunya tidak bisa ‘mengusir’ driver. Perlu saya tegaskan, itu adalah pertemuan audiensi pihak majelis sekolah dengan saya terkait laporan tindakan tidak menyenangkan dari driver pada anak perempuan saya, bukan audiensi dengan driver.
Baik majelis sekolah maupun pihak yayasan yang diwakili oleh guru-gurunya tidak bisa ‘mengusir’ driver. Perlu saya tegaskan, itu adalah pertemuan audiensi pihak majelis sekolah dengan saya terkait laporan tindakan tidak menyenangkan dari driver pada anak perempuan saya, bukan audiensi dengan driver.
“Kami
lebih mengutamakan cara kekeluargaan dalam menyelesaikan masalah”, begitu
Kepala Sekolahnya menerangkan ke saya. “Menurut yayasan, rolling tidak bisa
dilakukan karena itu akan berefek ke driver yang lain, padahal driver yang
lainkan tidak bersalah.” Nah lho, saya benar-benar takjub mendengarnya.
Begitukah alasan kenapa driver tidak dirolling? SubhanaLlah, saya benar-benar tertegun.
“Sebenarnya ada yang lebih parah dari ini, menyangkut masalah akidah. Ada driver yang mengajarkan ke anak-anak untuk selalu minta izin ke ‘penunggu’ wilayah ketika melewati daerah tertentu. Itu lebih parah lho, Buk, dibandingkan masalah ini.” Ya ALlah ya Rabbi, saya benar-benar menelan ludah mendengar penuturan Kepala Sekolah yang mewakili pihak yayasan. Jadi yang dialami anak saya belum parah begitu? Apa menunggu kucing garong itu mencaplok anak saya baru itu bisa dikatakan parah?
Begitukah alasan kenapa driver tidak dirolling? SubhanaLlah, saya benar-benar tertegun.
“Sebenarnya ada yang lebih parah dari ini, menyangkut masalah akidah. Ada driver yang mengajarkan ke anak-anak untuk selalu minta izin ke ‘penunggu’ wilayah ketika melewati daerah tertentu. Itu lebih parah lho, Buk, dibandingkan masalah ini.” Ya ALlah ya Rabbi, saya benar-benar menelan ludah mendengar penuturan Kepala Sekolah yang mewakili pihak yayasan. Jadi yang dialami anak saya belum parah begitu? Apa menunggu kucing garong itu mencaplok anak saya baru itu bisa dikatakan parah?
Sedihnya,
pihak Majelis Sekolah manut-manut mendengar uraian Kepala Sekolah. “Harus
dipahami, Buk, bahwa cara pandang terhadap suatu masalah pada tiap orang itu
berbeda, ini masalah persepsi”, urai bendahara majelis sekolahnya. Oh
begitukah? Jadi driver itu memegang-megang anak saya, mengelus-ngelus pipinya,
meraba-raba jidatnya bukanlah sebuah masalah bagi pihak yayasan dan majelis sekolah?
“Begini, Buk, sekarang posisi kami sebagai majelis sekolah hanya audiensi dulu, nanti kami bicarakan dengan anggota yang lainnya dan pihak yayasan. Kopian keputusannya akan kami sampaikan ke Ibuk sesegera mungkin.” Begitu janji ketua majelis sekolahnya.
“Begini, Buk, sekarang posisi kami sebagai majelis sekolah hanya audiensi dulu, nanti kami bicarakan dengan anggota yang lainnya dan pihak yayasan. Kopian keputusannya akan kami sampaikan ke Ibuk sesegera mungkin.” Begitu janji ketua majelis sekolahnya.
Sekarang,
setelah satu setengah tahun berlalu saya sebagai pihak pelapor belum juga
mendapatkan hasil kopian keputusan dari majelis sekolah. Sementara majelis
sekolah tanpa rasa bersalah tetap mengutip iuran 5 ribu rupiah dari saya setiap
bulannya. Hak saya diabaikan, sementara kewajiban saya tetap dituntut.
Begitulah,
mau bagaimana lagi. Mereka lebih percaya ke pengakuan driver yang mengakui
menyayangi anak perempuan saya ketimbang laporan saya yang berdasarkan bukti
yang kuat dan hasil investigasi ke anak. Barangkali keberadaan driver di sekolah
jauh lebih penting bagi yayasan
ketimbang rasa aman untuk anak-anak.
Saya
tak mungkin memindahkan anak ke SDIT lain walau masih dilingkungan JSIT. Selain
karena biaya masuk yang tinggi juga karena kondisi suami saya yang tugas
belajar. Artinya jika tugas belajarnya selesai maka kami harus bersiap-siap
pindah kota lagi. Dan alangkah kasihannya anak-anak jika harus pindah-pindah
sekolah dalam waktu yang dekat. Saya benar-benar merasa dilematis.
Yang bisa saya lakukan
sekarang adalah tidak lagi mempercayai pengelolaan antar jemput anak saya ke yayasan.
Kami memutuskan untuk tidak memakai jasa mereka lagi. Itu artinya kami harus
siap untuk antar jemput sendiri. Saya tidak menyesal mengambil keputusan ini, karena mereka itu adalah anak-anak saya bukan
anak-anak yayasan. Dan saya tidak mau kecolongan karena terlambat mengambil
keputusan sehingga anak perempuan saya jadi umpan kucing garong.
Na’udzubillahi min dzalik.
Saya
mengerti bahwa setiap kita memiliki defenisi yang tidak seragam mengenai sex
education pada anak, serta indikator pelecehan
sexsual yang tidak sama. Ada orang yang menganggap biasa apa yang sudah terjadi
pada anak perempuan saya. Tapi kami sebagai orang tuanya secara pribadi
berfikiran berbeda.
Menurut
kami mengajarkan sex education itu harus sedari dini, karena pelecehan sexual
itu tidak memandang umur. Sehingga lebih baik mempersiapkan anak lebih dini
untuk mengenali indikator-indikatornya. Tentang siapa saja yang boleh
berakrab-akrab dengannya dan siapa saja yang tidak boleh. Daerah mana saja yang
berada di batas toleransi untuk tersentuh orang lain dan daerah mana yang tidak
boleh disentuh sama sekali.
Sebagai
ibunya, saya keberatan atas tindak tanduk si driver itu. Saya tidak ingin anak
perempuan saya berfikir bahwa jika kita telah akrab dengan seseorang maka orang
tersebut boleh menyentuh-nyentuh kita seenaknya, sekalipun atas dasar kasih
sayang. Bukankah telinga kita sudah cukup diserbu oleh informasi-informasi
pelecehan sexual yang terjadi pada anak lebih banyak dilakukan oleh orang-orang
terdekat? Bahkan saking banyaknya informasi itu telinga kita nyaris pekak?
Saya
tidak peduli jika ada yang berfikir saya ini paranoid, takut berlebihan atas
sesuatu yang belum terjadi. Menurut saya sebagai orang tua kita perlu melakukan
tindakan preventif atas anak-anak kita baik itu laki-laki atau perempuan.
Apalagi jika bahaya itu sudah mengintai dengan menunjukkan tanda-tandanya. Maka
saya berfikir bahwa preventif itu penting jika kita tidak ingin kecewa.
Tindakan preventif itu harus diambil sekalipun sebagai orang tua kita harus
berkorban waktu dan tenaga.
Pun
begitu dengan apa yang sudah terjadi pada anak perempuan saya. Sekalipun pihak
yayasan, pihak sekolah dan majelis sekolah menganggap bahwa kejadian itu
tidaklah penting sehingga mereka berfikir tidak perlu mengambil tindakan
preventif untuk melindungi anak-anak dalam tanggung jawabnya, sebagai orang tua
saya tetap harus mengambil tindakan preventif. Yaitu dengan tidak lagi
menyerahkan anak perempuan saya pada pengelolaan antar jemput sekolah.
Tidak
mengapa jika itu semua memang tidak penting bagi mereka, karena ini memang masalah yang menimpa anak saya. Anak ini adalah anak saya, bukan anak yayasan. Jadi sayalah yang harus bertindak tegas. Yang jelas, saya tidak
ingin kecewa karena kelalaian saya dalam menjaga.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar