Laman

Jumat, 05 Juli 2013

Itu Belum Seberapa, Masih Ada yang Lebih Parah



repost dari sebuah postingan yang terhapus tanpa sengaja.
          Jum’at sore itu anak perempuan saya pulang tidak di waktu biasanya. Sore itu ia pulang pukul 4 sore kurang beberapa menit. Saya dan Abinya sudah cemas menunggu di teras rumah. Biasanya ia pulang ke rumah paling lambat pukul 3.15 sore. Kami masih menunggu dan memberi jeda beberapa menit lagi sebelum memutuskan untuk menelpon driver sekolahnya.
Anak-anak kala itu memang saya ikutkan antar jemput sekolah. Karena sebagai orang baru di kota SMG, saya belum begitu mengenal medan. Di tambah lagi Abinya anak-anak ada kelas magister di setiap malamnya. Anak saya 2 orang yang sudah SD, dan dua-duanya sebenarnya tidak begitu suka naik antar jemput. Seringkali mereka berdua mengajukan proposal agar Abinyalah yang mengantar ke sekolah dan saya  yang menjemput sepulangnya.

Tapi tidak ada pilihan lain karena posisi Abinya anak-anak tugas belajar disini, siangnya masuk kantor dan malamnya kuliah. Sehingga antar jemput sekolah adalah pilihan pertama dan utama. 

Antar jemput jum’at tidak sama dengan antar jemput hari lainnya. Karena di hari Jum’at anak laki-laki saya yang masih kelas 1 pulang pukul 10 pagi. Dan anak perempuan saya yang sudah kelas 4 pulang pukul 2 siang. 
Tinggal beberapa menit sebelum pukul 4, waktu yang saya putuskan untuk menelpon drivernya, tiba-tiba antar jemput sekolah berhenti di depan rumah. Anak perempuan saya turun dengan tentengan di tangan dan drivernya langsung ngacir. Jujur saja sebenarnya saya jengkel. Menurut hemat saya harusnya driver itu menjelaskan kenapa terlambat dari jadwal biasanya. Saya juga melihat suami saya jengkel. Beliau sampai terlambat kembali ke kantor setelah pulang sebentar ke rumah karena ada keperluan. “Apa sering terlambat pulang seperti ini Mi?”,begitu Abinya anak-anak minta penjelasan saya.

          Namun rasa jengkel harus saya tahan, karena saya harus fokus menanyai anak saya dan itu harus dalam kondisi emosional yang tenang. Saya tidak boleh membuatnya takut. Saya memang harus menanyainya karena anak perempuan saya turun dari antar jemput sekolah dengan sebungkus mie bakso. “Di belikan driver”, begitu jawabnya ketika saya menanyakan asal mie bakso itu. Jantung saya berdetak lebih cepat ketika mendengar jawaban itu. Pikiran saya berputar ke belakang mengingat beberapa informasi dari anak perempuan saya.
Beberapakali anak saya bercerita tentang perlakuan drivernya. Mulai dari spidol snowman hitam yang diberikan si driver untuknya, pulpen, gantungan kunci, disuruh membacakan sms dari istrinya di mobil antar jemput hingga komentar si driver tentang fisik anak perempuan saya.
Sebenarnya ketika pertama kali anak saya dapat hadiah, saya sudah menanyakannya. Apakah hanya dia yang dikasih hadiah? Pertanyaan yang sama juga ketika anak saya dapat pulpen serta gantungan kunci. Selama ini walaupun sedikit khawatir, saya tidak pernah memperlihatkan ke anak. Saya hanya memberi tahunya tentang pelecehan sexual sesederhana mungkin, sesuai dengan nalarnya. Tapi memang semenjak hadiah pertama itu saya seringkali menanyai anak saya tentang kegiatannya di antar jemput. 

Sejauh ini saya hanya melihat sebatas baik-baik saja, karena saya tahu drivernya juga belum dikaruniai anak. Ditambah lagi sikap sopan drivernya selama ini ketika mengambil dan mengantar anak kembali ke rumah. Ketika anak saya menginformasikan bahwa drivernya bilang dia kurus, saya juga menanyainya. Dan tidak ada yang mengkhawatirkan. 

Sempat saya berfikir bahwa saya ini mulai paranoid, terkenang akan kisah keponakan yang mengalami pelecehan sexsual di umur 7 tahunnya.


          Tapi tatkala anak perempuan saya pulang dengan sebungkus bakso, saya tidak bisa berbaik sangka lagi. Saya fikir, saya harus bergerak cepat jika tidak ingin gigit jari. “Pak J tidak langsung pulang Mi, setiap sekolah usai”, anak perempuan saya menginformasikan. “Kamilah yang selalu pulang paling terakhir di sekolah”. Anak laki-laki saya membenarkan informasi itu. Ow begitu rupanya, pantas saja jadwal sampai di rumah sepulang sekolah anak-anak selalu  mundur dari kebiasaan. Saya harus ke sekolah nih melaporkan, begitu pikiran saya kala itu. 

“Hari ini kenapa Uni pulang terlambat?” saya menanyai anak perempuan saya. “Pak J nya nggak langsung pulang, lama dulu di sekolah. Terus tadi ketika hanya Uni dan Musthafa yang belum diantar, Pak J bilang dia lapar, terus mengajak kami makan bakso dulu.” 

Saya benar-benar heran. Padahal tempat bakso itu kan hanya berjarak satu gang dengan tempat tinggal kami. Kenapa tidak mengantar anak kami duluan. Maka mulailah saya menginterogasi anak secara marathon, tentu saja tanpa disadari si anak. Dan terkumpullah informasi itu.


          Menurut anak perempuan saya, drivernya berkali-kali menyentuhnya. Masya ALlah!! Saya benar-benar kaget, berani sekali driver itu. Memegang-megang tangannya sambil bilang betap kecilnya tangan anak saya. Mengelus pipinya hingga meraba keningnya untuk memeriksa apakah anak saya demam atau bukan. Saya benar-benar kaget, tapi kekagetan itu harus saya tahan. Saya tidak ingin anak saya takut. 
Kemudian saya mengajaknya mandi bersama, untuk mengambil moment menunjukkan tempat-tempat yang tidak boleh disentuh orang lain. “Tidak Mi, tidak ada yang pegang-pegang ini dan ini.” Anak perempuan saya menjelaskan. Perasaan saya sedikit lega. “Tapi kenapa Uni tidak lapor ketika Pak J pegang-pegang tangan, pipi dan kening Uni?”saya menanyanya penuh penasaran. “Nanti Pak J-nya Ummi marahi, Uni takut, nanti siapa sama siapa kami pulang pergi ke sekolah?” Masya ALlah, saya benar-benar kalut mendengar jawabannya.
Kejengkelan saya makin bertambah ke driver itu, karena hingga malam Seninnya tak jua ia menelpon meminta maaf dan kenapa terlambat mengantarkan anak pulang. Hingga Seninnya saya putuskan ke sekolah dan untuk sementara antar jemput saya hentikan.

          Ke pihak yayasan, sebagai pengelola antar jemput sekolah saya jelaskan keberatan saya dan berdasarkan kondisi yang dialami anak, saya meminta rolling untuk driver ke daerah tempat tinggal saya. Jawaban pertama pihak yayasannya cukup mengejutkan. “Selama ini tidak pernah ada laporan begitu, Buk”, komentarnya. 
Saya tersentak mendengarnya, benar-benar jawaban tanpa empati. Saya diminta menunggu keputusan rolling karena kala itu yayasan beralasan repot mengurus rolling karena di penghujung tahun. Baiklah saya harus bersabar dan menunggu. 
Untuk sementara antar jemput anak saya non aktifkan.
Jujur saja saya memang berharap drivernya di rolling. Saya pikir itu perlu sebagai sentrum atas  pelanggaran etika pada pengelolaan antar jemput untuk sekolah sekelas SDIT di lingkungan JSIT. 
Tapi ketika penghujung tahun berlalu saya harus menelan kekecewaan, ternyata rolling untuk driver tidak ada. Saya tegaskan ke Abinya anak-anak, bahwa saya tidak bisa mempercayakan anak-anak lagi ke antar jemput sekolah. Biarlah saya harus bolak-balik kelelahan demi keamanan anak-anak saya. 

          Sebagai bagian dari warga sekolah, saya melaporkan keadaan kepada Majelis Sekolah setelah pihak yayasan tidak mau merolling drivernya. Dan hasilnya mengecewakan saya. Bukan karena mereka tidak memihak saya, tapi lebih ke cara penyelesaian masalahnya yang membuat saya kecewa. Saya jadi berfikir bahwa Majelis Sekolah hanya harimau tanpa gigi yang membela kepentingan yayasan.
Bagaimana tidak. Pertemuan yang sedianya mendengarkan pengaduan saya ternyata juga dihadiri si Driver. Meski juga dihadiri oleh kepala sekolah dan para wakilnya yang belakangan saya tahu sebagai orang-orang dari yayasan, tapi kehadiran driver yang tidak diharapkan tidak bisa mereka jelaskan ke saya. Tentang  siapa yang menyuruhnya hadir ke pertemuan yang saya gagas. Padahal itu kan haknya saya, karena sudah membayar 5 ribu rupiah setiap bulan untuk Majelis Sekolah. 

Baik majelis sekolah maupun pihak yayasan yang diwakili oleh guru-gurunya tidak bisa ‘mengusir’ driver. Perlu saya tegaskan, itu adalah pertemuan audiensi pihak majelis sekolah dengan saya terkait laporan tindakan tidak menyenangkan dari driver pada anak perempuan saya, bukan audiensi dengan driver.


          “Kami lebih mengutamakan cara kekeluargaan dalam menyelesaikan masalah”, begitu Kepala Sekolahnya menerangkan ke saya. “Menurut yayasan, rolling tidak bisa dilakukan karena itu akan berefek ke driver yang lain, padahal driver yang lainkan tidak bersalah.” Nah lho, saya benar-benar takjub mendengarnya. 
Begitukah alasan kenapa driver tidak dirolling? SubhanaLlah, saya benar-benar tertegun. 

“Sebenarnya ada yang lebih parah dari ini, menyangkut masalah akidah. Ada driver yang mengajarkan ke anak-anak untuk selalu minta izin ke ‘penunggu’ wilayah ketika melewati daerah tertentu. Itu lebih parah lho, Buk, dibandingkan masalah ini.” Ya ALlah ya Rabbi, saya benar-benar menelan ludah mendengar penuturan Kepala Sekolah yang mewakili pihak yayasan. Jadi yang dialami anak saya belum parah begitu? Apa menunggu kucing garong itu mencaplok anak saya baru itu bisa dikatakan parah? 
Sedihnya, pihak Majelis Sekolah manut-manut mendengar uraian Kepala Sekolah. “Harus dipahami, Buk, bahwa cara pandang terhadap suatu masalah pada tiap orang itu berbeda, ini masalah persepsi”, urai bendahara majelis sekolahnya. Oh begitukah? Jadi driver itu memegang-megang anak saya, mengelus-ngelus pipinya, meraba-raba jidatnya bukanlah sebuah masalah bagi pihak yayasan dan majelis sekolah?

 “Begini, Buk, sekarang posisi kami sebagai majelis sekolah hanya audiensi dulu, nanti kami bicarakan dengan anggota yang lainnya dan pihak yayasan. Kopian keputusannya akan kami sampaikan ke Ibuk sesegera mungkin.” Begitu janji ketua majelis sekolahnya.


          Sekarang, setelah satu setengah tahun berlalu saya sebagai pihak pelapor belum juga mendapatkan hasil kopian keputusan dari majelis sekolah. Sementara majelis sekolah tanpa rasa bersalah tetap mengutip iuran 5 ribu rupiah dari saya setiap bulannya. Hak saya diabaikan, sementara kewajiban saya tetap dituntut.
Begitulah, mau bagaimana lagi. Mereka lebih percaya ke pengakuan driver yang mengakui menyayangi anak perempuan saya ketimbang laporan saya yang berdasarkan bukti yang kuat dan hasil investigasi ke anak. Barangkali keberadaan driver di sekolah jauh lebih penting bagi yayasan  ketimbang rasa aman untuk anak-anak. 
Saya tak mungkin memindahkan anak ke SDIT lain walau masih dilingkungan JSIT. Selain karena biaya masuk yang tinggi juga karena kondisi suami saya yang tugas belajar. Artinya jika tugas belajarnya selesai maka kami harus bersiap-siap pindah kota lagi. Dan alangkah kasihannya anak-anak jika harus pindah-pindah sekolah dalam waktu yang dekat. Saya benar-benar merasa dilematis.


          Yang bisa saya lakukan sekarang adalah tidak lagi mempercayai pengelolaan antar jemput anak saya ke yayasan. Kami memutuskan untuk tidak memakai jasa mereka lagi. Itu artinya kami harus siap untuk antar jemput sendiri. Saya tidak menyesal mengambil keputusan ini,  karena mereka itu adalah anak-anak saya bukan anak-anak yayasan. Dan saya tidak mau kecolongan karena terlambat mengambil keputusan sehingga anak perempuan saya jadi umpan kucing garong. Na’udzubillahi min dzalik.


          Saya mengerti bahwa setiap kita memiliki defenisi yang tidak seragam mengenai sex education pada anak, serta  indikator pelecehan sexsual yang tidak sama. Ada orang yang menganggap biasa apa yang sudah terjadi pada anak perempuan saya. Tapi kami sebagai orang tuanya secara pribadi berfikiran berbeda.
Menurut kami mengajarkan sex education itu harus sedari dini, karena pelecehan sexual itu tidak memandang umur. Sehingga lebih baik mempersiapkan anak lebih dini untuk mengenali indikator-indikatornya. Tentang siapa saja yang boleh berakrab-akrab dengannya dan siapa saja yang tidak boleh. Daerah mana saja yang berada di batas toleransi untuk tersentuh orang lain dan daerah mana yang tidak boleh disentuh sama sekali.


          Sebagai ibunya, saya keberatan atas tindak tanduk si driver itu. Saya tidak ingin anak perempuan saya berfikir bahwa jika kita telah akrab dengan seseorang maka orang tersebut boleh menyentuh-nyentuh kita seenaknya, sekalipun atas dasar kasih sayang. Bukankah telinga kita sudah cukup diserbu oleh informasi-informasi pelecehan sexual yang terjadi pada anak lebih banyak dilakukan oleh orang-orang terdekat? Bahkan saking banyaknya informasi itu telinga kita nyaris pekak?
Saya tidak peduli jika ada yang berfikir saya ini paranoid, takut berlebihan atas sesuatu yang belum terjadi. Menurut saya sebagai orang tua kita perlu melakukan tindakan preventif atas anak-anak kita baik itu laki-laki atau perempuan. Apalagi jika bahaya itu sudah mengintai dengan menunjukkan tanda-tandanya. Maka saya berfikir bahwa preventif itu penting jika kita tidak ingin kecewa. Tindakan preventif itu harus diambil sekalipun sebagai orang tua kita harus berkorban waktu dan tenaga.
Pun begitu dengan apa yang sudah terjadi pada anak perempuan saya. Sekalipun pihak yayasan, pihak sekolah dan majelis sekolah menganggap bahwa kejadian itu tidaklah penting sehingga mereka berfikir tidak perlu mengambil tindakan preventif untuk melindungi anak-anak dalam tanggung jawabnya, sebagai orang tua saya tetap harus mengambil tindakan preventif. Yaitu dengan tidak lagi menyerahkan anak perempuan saya pada pengelolaan antar jemput sekolah.
Tidak mengapa jika itu semua memang tidak penting bagi mereka, karena ini memang masalah yang menimpa anak saya. Anak ini adalah anak saya, bukan anak yayasan. Jadi sayalah yang harus bertindak tegas. Yang jelas, saya tidak ingin kecewa karena kelalaian saya dalam menjaga.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar