Laman

Jumat, 05 Juli 2013

Nelangsakah Emak-ku?

Coba renungkan, pernahkah ibu kita memiliki pikiran dan perasaan seperti ini?
 
          Dalam perjalanan saya yang baru 37 tahun lebih, saya pernah bertemu seorang ibu. Terus terang ibu itu sering curhat ke saya tentang anak-anaknya. Entah kenapa, mungkin karena saya bisa jadi teman ngobrolnya ataukah karena penampilan luar saya persis sama seperti anaknya yang jauh di rantau sana. 
Setiap ibu itu curhat sebenarnya saya bisa langsung tahu arah pembicaraannya. Sudah bisa dipastikan, takkan jauh-jauh dari masalahnya dengan anak-anaknya. Sekalipun di awal-awal kami akan bercerita yang lain, tapi ujung-ujungnya si ibu akan menyempatkan curhat.

         
          Suatu ketika saya datang dan menemukan mesin jahitnya 'lesap'. Bertanyalah saya dengan lugunya. "Bu, mesin jahitnya mana?" Saya bertanya bukan karena kepingin tahu urusan orang lain, tapi sebenarnya saya mau minjam berhubung mesin jahit saya sering macet. Mengingat mesin itu nganggur, jadi kalau ibu itu mau mesisnnya saya sewa, kenapa enggak, gitu lho.

"Sudah tak kasih orang," jawab si ibu sambil senyum malu-malu. "Halah saya ini Mbak, dilihat orang saya ini senang, berkecukupan, anak-anak pada berhasil semua, pada banyak duit. Tapi saya benar-benar gak ada duit. Uang saya dijatah." (Maksudnya uang bulanan si ibu yang ditanggung seorang anaknya yang lain, diberikan secara mencicil oleh anaknya yang lain lagi, mengingat si penanggung jarang berada di darat). 
"Kalau saya minta jatah saya dia bilang, 'untuk apa toh buk, uangnya, ngasih lanang orang.' Aduh Mbak, aku sakit hati. Aku ini ibunya, yang melahirkan dia. Apa pantas dia ngomong begitu. Benar-benar anak durhaka."  Si ibu menjelaskan ke saya secara berpanjang-panjang dan berlebar-lebar.

Sayanya terpaksa diam, nggak tahu harus bagaimana. Paling-paling saya minta si ibu untuk bersabar dan tak putus-putus untuk mendo'akan anak-anaknya.

"Di kasih bagaimana, Bu", saya mengembalikan topik pembicaraan. Saya benar-benar tidak mengerti, karena pengertian saya kalau dikasihkan itu ya berarti barang berganti pemilik seperti dihibahkan begitu. "Kenapa tidak kasih ke saya to, Bu. Tadinya saya mau lho. Mau pinjam bentar, sewa juga boleh."
Saya jelas tak berani bilang 'beli' ya, mengingat anak-anak ibu ini memang terhitung orang berduit.

"Ya saya jual Mbak, hehehe, saya lagi gak punya uang. Harus bayar listrik, daripada listriknya diputus, iya tho."

          Saya jelas terkejut mendengarnya. Itulah kali pertama saya tahu kalau ternyata si ibu sering mengalami kekurangan uang. Dari situlah cerita bermula mengalir ke saya. Bahwa pada kenyataannya si ibu sering mengutang pada rentenir, maksud saya Beliau meminjam uang dengan bunga. Meski sebenarnya beliau meminjam ke tetangga saja sebenarnya.

"Kalau Ibu butuh uang, kenapa tidak bilang ke saya. Kan bisa saya minjemin dulu, nanti dibayar pas 'kiriman' anak ibu datang." Jujur saja saya benar-benar terkejut mendengarnya.

"Ah enggak enak tho, Mbak. Si Mbak kan tidak bekerja. Saya malu sama Mas A." 

Begitulah, cerita-cerita seperti itu sering saya dapati dari si ibu. Saya mau bagaimana? Pernah si ibu meminta saya untuk menasehati anaknya, mengingat si anaknya berpakaian dengan style yang sama dengan saya. Tentu saja saya menolaknya. Selain karena kami tidak saling kenal, saya tentu tidak ingin ikut campur urusan dalam negeri orang lain. Gak mau ah, ntar saya dibilang rese.
***

           Kemaren sore ibu itu curhat lagi. "Halah Mbak, podho wae." Begitu katanya. Saya bingung, sing podho wae ntu sopo. Kemudian karena bahasa Jawanya rumit akhirnya saya mengalihkan pembicaraan. Saya tanya, "Ibu gak jadi ke Br***?"
Dan terungkaplah kisah 'pilu' itu.

Si Ibu batal ke Br***, karena hatinya sedih, merasa jadi orang yang menumpang sama anak sendiri. Karena si anak, sebutlah ia A, dengan temannya, sebutlah ia B, berhitung sepahit-pahitnya sebelum pergi.

Mereka, A dan B ngerental mobil (dengan sopirnya) ke Br***. Mereka menghitung berapa kilometer jarak dari tempat berangkat ke Br***, guna menghitung rupiah untuk ngerental mobil dan bensin yang akan terpakai. Kemudian nilai rupiah itu dibagi 3. 2/3 untuk si A karna A membawa anak remaja, dan 1/3nya ditanggung B.
Terang-terangan di depan si ibu, A dan B bersitegang urat leher hingga memutuskan bahwa ibu tidak dibebankan ongkos. Tegasnya ibu nebeng sama B karena si B juga nebeng tempat tinggal liburnya selama di kota S. (hehehe...pusing ya memahaminya)

"Saya sedih Mbak, kok rasanya saya malah ngerepotin mereka. Untuk ongkos saja mereka sampai seperti itu, apalagi untuk makan saya di jalan ntar. Saya kan nggak ada uang," si ibu curhat dengan nelangsanya. Saya tahu si ibu kepengen pergi karena bisa ngirit ongkos hingga menyeberang ke B***, sekalian mau ngejemput cucunya di sana.
O ya, si cucu yang akan dijemput beda agama ya, dan si Ibu berniat meng-Islamkannya seperti cucunya yang lain yang sudah bersamanya.
Bahkan saya ketahui sebelumnya, si ibu nyaris saja menggadaikan motor kreditnya ke rentenir demi ongkos menjemput cucunya. Syukurlah ibu itu mendengarkan saya, ketika saya bilang itu riba.

"Tadi saya pikir si B itu bakal seperti Mbak (maksud ibu itu: saya). Enggak pelit, enggak itung-itungan (yee saya jadi mesem). Halah mbak, podho wae, kayak anak saya. Anak saya itu memang anak durhaka, pelit, itung-itungan, padahal kan saya yang melahirkan dan membesarkan dia. Menurut anak saya, buat apa saya ke B***, buang-buang duit. Padahal saya kan mau meng-Islamkan keponakannya?"

Oalah, ternyata si ibuk kecewa juga sama si B, teman anaknya, yang telah menginap beberapa hari di rumahnya.
"Kemaren mereka sudah pergi. Mereka (A dan B) ninggalin duit sebagai ganti ongkos selama tinggal di sini. Ya saya terima to Mbak. Lumayan, saya beliin minyak tanah buat saya jual lagi."

Saya tak tahu harus apa. Yang saya tahu, si ibuk harus berjuang hidup karena sangu dari anaknya lain tidak mencukupi untuk hidupnya dan cucunya yang berada dalam asuhannya (tadinya si cucu ini juga beda agama).
Dan yang saya tahu, si A, anak si ibuk, berpenghasilan lebih gede dari suami saya. Tapi ibunya (janda) sudah terbiasa 'puas' dengan baju-baju second yang dibelinya di pasar. Beliau memakai baju-baju itu bukan karena ingin hidup sederhana ya, karena memang tidak punya. Dan baju-baju second itu jelas terjangkau harganya untuk Beliau.
 ***
          Saya sedih melihatnya. Seketika langsung membuat saya teringat akan ibu saya, Mak yang jauh di seberang sana. 
Apa Mak saya juga berperasaan seperti ini ya? 
Apa Mak saya juga sering curhat ke anak orang lain ya? Mengingat antara saya dan si ibu ini tak ada hubungan apa-apa.
Apa kebutuhan Mak saya terpenuhi?
Apa Mak saya memakai pakaian yang pantas? 
Apa Mak saya terpaksa mengutang-ngutang, tiap bulannya tutup lubang gali lubang?
Apa Mak saya juga sering nelangsa karena kami anak-anaknya mengabaikan kebutuhannya?
Entahlah..., saya benar-benar jadi teringat Mak saya. Selama ini, alhamdulillah, kami berlomba-lomba dalam memenuhi kebetuhan Beliau, padahal Beliau gak butuh-butuh amat, Beliau pensiunan kok. Meski baju, bedak, tas, sepatu, sandal bahkan underware, kamilah yang menanggungnya. Tetapi...apakah Mak masih nelangsa dalam menutupi kebutuhan harian dan bulanannya?
Entahlah... 
Aku jadi ingin pulang dan memastikan bahwa semua baik-baik saja.
*rindu*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar