Laman

Sabtu, 20 Desember 2014

Totto-chan Gadis Kecil di Jendela # Tiga

Oleh sebab apakah gadis kecil ini dikeluarkan dari sekolah tepat di tahun pertama sekolah dasarnya? Ya, dia dianggap telah mengganggu suasana.

Ini pendapat mantan guru kelas di kelas sebelah kelasnya dari sekolah yang pernah mengeluarkannya.
"Kelasmu di sebelah kelasku." 
"Kalau harus pergi ke ruang guru waktu jam pelajaran sedang berlangsung, biasanya aku menemukanmu berdiri di koridor, sedang dihukum karena melakukan sesuatu yang aneh. Waktu aku lewat, kau selalu menghentikanku dan bertanya mengapa kau disuruh berdiri di sana, dan apa kesalahanmu. 'Bu Guru tidak suka pemusik jalanan, ya?' kau pernah bertanya padaku.
Aku tidak pernah tahu bagaimana menghadapimu, jadi akhirnya, kalau harus pergi ke ruang guru aku akan mengintip dulu. Kalau kau ada di koridor, aku tak jadi pergi. Guru kelasmu sering membicarakan dirimu di ruang guru. 'Aku heran kenapa dia bisa begitu,' katanya. Itu sebabnya, ketika kau mulai muncul di televisi, aku segera mengenali namamu. Kejadian itu sudah lama sekali, tapi aku sangat ingat bagaimana kau ketika di kelas satu." (Totto-chan Gadis Cilik di Jendela, Tetsuko Kuroyanagi: 253)

Bisakah anda membayangkan seperti apa hebohnya suasana di kala itu, ketika si gadis kecil harus berdiri di koridor dan si guru kelas sebelah harus mengintip-ngintip dulu agar si kecil ini tidak mencegatnya. Aduhai...(*tepok jidat)
Dan inilah dosa-dosa yang dipaparkan si guru kelas, seorang ibu guru muda yang manis dengan rambutnya yang dipotong pendek model laki-laki. Ini dapat ditemukan pada judul kecil Gadis Cilik di Jendela pada buku ini.

"Putri Anda mengacaukan kelas saya. Saya terpaksa meminta Anda untuk memindahkannya ke sekolah lain....Kesabaran saya benar-benar sudah habis."
Jika anda adalah ibunya Totto-chan, bagaimana reaksi anda jika putra/ putri anda dianggap telah menjadi trouble maker di kelasnya?

"Yah, misalnya, dia membuka dan menutup mejanya ratusan kali. Saya sudah menjelaskan bahwa murid-murid tak boleh membuka atau menutup mejanya kecuali untuk mengambil atau memasukkan sesuatu. Eh, putri anda malah jadi terus-terusan mengeluarkan dan memasukkan sesuatu -mengeluarkan atau memasukkan buku catatan, kotak pensil, buku pelajaran, atau apa saja yang ada di mejanya."
"Misalnya, pada waktu pelajaran menulis abjad, putri Anda membuka meja, mengeluarkan buku catatan, lalu menutup meja dengan membantingnya. Kemudian dia membuka meja lagi, memasukkan kepalanya, mengeluarkan pensil, cepat-cepat membanting tutupnya, lalu menulis 'A'. Kalau tulisannya jelek atau salah, dia akan membuka meja lagi, mengeluarkan penghapus, menutup meja lagi, menghapus huruf itu, kemudian membuka dan menutup meja lagi untuk menyimpan penghapus --semua itu dilakukannya dengan cepat sekali."
"...Kemudian, ketika dia sampai ke huruf berikutnya, dia mengulang semuanya -- ....Itu membuat saya pusing. Tapi saya tak bisa memarahinya karena dia selalu membuka dan menutup mejanya dengan alasan yang benar."

Bisakah anda membayangkan itu? Secara pribadi saya sungguh berempati dengan gurunya. Anak muridnya bukan hanya Totto-chan, tapi si Totto-chan sungguh-sungguh telah menyita perhatiannya. Perhatikanlah kalimat terakhir itu, si guru tidak punya alasan untuk memarahinya  karena si gadis kecil melakukannya dengan alasan yang benar. 
Lalu apa yang keliru? 
Anda akan menemukan kekeliruannya jika anda benar-benar memahami sistem dan metode yang dipakai di sekolah yang berpagar hidup dan kelas gerbong kereta api di Tomoe Gakuen milik Mr. Kobayashi.

Masih di judul kecil ini, dituliskan bahwa si Mama jadi mengerti kenapa Totto-chan sangat bersemangat waktu ia pulang sekolah di hari pertamanya. Si gadis kecil mengatakan bahwa mejanya benar-benar keren.
Bisakah anda melihatnya bahwa itu juga keren? Cobalah lihat dari sudut pandang anak-anak. Jika anda seorang anak-anak, tidakkah anda tertarik dengan permainan yang menyenangkan itu, membuka dan menutup meja? Tapi tentu akan sulit sekali bagi guru untuk memahaminya secara ia telah dibebani oleh target ini dan itu. Bersekolah di sekolah dengan sistem konvensional selalu tidak ada ruang untuk anak-anak yang unik seperti ini. Akhirnya anak-anak seperti ini jika dipaksakan pada sistem yang tidak ramah pada anak-anak yang akan berakibat perusakan pada jiwa murni mereka, alih-alih akan membangun malah mencelakai. Kondisi ini akan lebih diperparah lagi jika orang tua juga menghukumi anak sebagai anak yang sulit diatur alias nakal. 
Bukankah kita sudah belajar dari hidup ini bahwa selalu tidak ada tempat di sekolah dan di masyarakat bagi anak-anak yang yang terhukumi nakal? Di buku ini pada judul-judul kecil lainnya anda akan belajar bagaimana Mr. Kobayashi mengarahkan anak-anak ini. 
Menurut saya kita tak perlu menjiplaknya persis seperti yang dilakukan si kepala sekolah, kita hanya perlu mendapat gambaran dan inspirasi kemudian kita berimprovisasi, sesuaikanlah ia dengan situasi dan kondisi yang kita punya.

Anak-anak memiliki fitrahnya, kita orang dewasa yang berada di sekelilingnya hanya perlu membantu menumbuhkan fitrah itu dan mengarahkannya ke arah yang benar yaitu untuk mengenali Tuhannya agar kelak ketika mereka dewasa mereka akan menjadi pribadi-pribadi yang memiliki karakter, berkepribadian khas.
  
Kembali ke dosa-dosa Totto-chan, emosi ibu guru terpancing ketika Mama berkata bahwa ia akan menasehati si gadis kecil tentang kelakuannya membuka meja dan menutupnya dengan membanting hingga ratusan kali.
Nada suara guru itu meninggi...,"Saya tidak akan hilang kesabaran kalau hanya itu masalahnya."
..."Kalau ia tidak membuat kegaduhan dengan mejanya, dia berdiri. Selama jam pelajaran!"
"Berdiri? Dimana?" tanya Mama kaget.
"Di depan jendela," jawab guru itu ketus.
"Kenapa ia berdiri di depan jendela?" tanya Mama heran.
"Agar ia bisa memanggil pemusik jalanan!" guru itu nyaris menjerit.
...
"Apa lagi yang dilakukannya?" tanya Mama dengan perasaan makin tak enak.
"Apa lagi?" seru guru itu. "Kalau saja saya bisa menghitung apa saja yang dilakukannya, saya tidak akan meminta Anda untuk memindahkannya ke sekolah lain." 
Kemudian si ibu guru menambahkan daftar dosa-dosa tak terampuni dari Totto-chan. Gadis kecil itu telah berbicara dengan sesuatu atau seseorang yang berada entah dimana. Karena terus-terusan si gadis kecil berteriak, 'Kau sedang apa?' tiada jawabannya, akhirnya si guru mendekat untuk mencari tahu. Ternyata gadis kecil itu sedang berbicara pada sepasang burung walet.
Seru, bukan? Wah saya yakin nih, para ibu/ bapak guru yang memperoleh murid seperti ini akan merasakan perut yang mules-mules. Di satu sisi ingin mengerti namun di sisi lain..., hanya Tuhanlah yang Mahatahu.

Kemudian ibu guru malang itu menambahkan bagaimana serunya kejadian ketika anak-anak disuruh menggambar bendera Jepang. Si gadis kecil malah menggambar berdera angkatan laut yang bergambar matahari dengan garis sinar-sinar. Kemudian si kecil berimproviasi, ia menambahkan rumbai-rumbai kuning sampai ke pinggir kertas dan terus menggoreskannya di atas mejanya.  Sehingga ketika kertasnya diangkat mejanya penuh dengan coretan kuning yang tak bisa dihapus pada tiga sisinya. Sementara pada sisi yang lain dari meja tersisa tiang bendera yang sebagian besar juga dilukis di luar kertas.
Bisakah anda membayangkan seperti apa coretan di meja itu?

Ya, gadis kecil ini memerlukan sekolah yang bisa memahami cara berfikirnya. Memang tidak semua anak bisa dikendalikan dengan mudah, tapi jika dilakukan dengan pendekatan yang tepat, sistem yang ramah pada jiwa hangat mereka, tentu ini bisa dikendalikan.
Tomoe Gakuen sudah membuktikannya.

Mereka di Tomoe pada jam pelajaran musik yang diberikan 2x seminggu, telah membiarkan anak-anak mencoreti lantai aula dengan kapur untuk menggambarkan not balok. Tapi kemudian setelah pelajaran usai anak-anak itu harus membersihkan lantai itu kembali. Mereka harus menghapus lantai dengan penghapus papan tulis, menyapu dan mengepel, semua dilakukan bersama-sama, bahu membahu oleh setiap anak yang terlibat dalam pelajaran. Tentu itu akan melelahkan, tapi anak-anak itu jadi belajar bahwa menghapus coretan-coretan itu adalah pekerjaan yang berat, jadi mereka perlahan akan berfikir ulang jika ingin mencoret-coret. Cerita ini akan anda temukan pada judul kecil Kapur Tulis, pada halaman 220.

Saya pernah mengatakan bahwa buku ini mengajari saya banyak hal, terutama bagaimana memahami anak dari sudut pandang anak-anak. Ketika saya belum punya anak, saya pernah mengalami dinding rumah saya yang baru dicat dicoreti oleh anak teman dengan spidol hitam. Ia membuat garis yang saaangat panjang di sepanjang dinding, kemudian ia melanjutkannya di meja. Saya malu pada pemiliknya karena itu rumah kontrakan. Uff...
Kemudian setelah saya memiliki anak, saya sengaja membuat papan tulis. Saya pilih whiteboard karena saya takut anak-anak akan menelan kapur. Kami buat MoU dan kami sepakati sangsinya jika melanggar. 
Saya juga tidak membuang buku-buku tulis bekas pelajaran sekolah setelah anak-anak saya bersekolah. Karena ketika mereka bosan dengan whiteboard, kertas HVS saya yang masih baguslah yang menjadi sasaran. Maka buku-buku tulis bekas itu bisa dijadikan lahan baru.
Sekarang saya hanya sedang sedikit dipusingkan oleh si adek kecil yang masih TK. Dia ogah memakai buku bekas, maka ia mulai menarik-narik HVS saya, atau jika ia menemukan sebuah buku tulis baru maka ia akan meminta dan menuliskan namanya di sana sebagai pemilik. Maka ia akan menjadikan buku itu jurnal barunya hingga semua halamannya penuh dengan goresan imajinya.
Ketika saya keberatan ia memakai HVS baru, Abinya yang baik hati bersedia mengganti uang belanja yang sudah saya keluarkan untuk HVS karena si kecil berkilah, "Yang baru itu lebih cantik loh, Babah. Amah yang suka yang cantik."
Ya ampuun, sedap nian!

Bacalah buku ringan penuh gizi ini, di sela waktu luang anda mengurus rumah tangga.

Sahabat, jika kalian belum sempat membelinya, saya masih ingin berbagi beberapa hal poin inti dari buku ini. Semoga saya bisa dengan izin-Nya.
Next ya.

2 komentar: