Tak pernah terpikirkan
bahwa akan ada masanya saya benar-benar merindukan ‘hutan’ (tumbuh-tumbuhan
yang sangat banyak), mengingat saya ini adalah orang kampung, orang yang
terbiasa meniti pematang sawah, berlarian di bebatuan sungai, bermain ayunan di
pohon kelapa tumbang yang melintang di tengah sungai, dan setiap hari merasakan
sejuknya hehijauan.
Kenapa?
Ternyata, menikah,
hijrah dan berpisah dari orang tua, berarti meninggalkan semua suasana ini. Dan
itu kini telah terangkai menjadi rindu.
Maharatu, Marpoyan Damai, Pekanbaru, Riau
“Abi mau kemana?” Hamzahku menangis
ketika taxi berhenti di depan rumah. Saya tersenyum geli, padahal tadi sudah
dijelaskan bahwa Abinya akan ke Jogja beberapa hari, ada test untuk masuk
sekolah lagi. Lelaki kecilku, 5,1 tahun kala itu, berlari sambil menangis ke
pelukan Abinya.
Sebenarnya suamiku
sudah biasa pergi meninggalkan kami, dinas ke luar kota. Paling jauh biasanya
ke Pulau Natuna dan ke Bandung. Dan anak-anak memahami, kepergian itu untuk
kembali lagi. Tapi sekali ini anak-anak memahami dengan cara yang berbeda.
“Kenapa Hamzah tidak dibawa, Bi. Apa tidak ada kamar untuk Hamzah di situ?”
Lain Hamzah, lain pula
dengan Aisyahku yang sudah 7,5 tahun kala itu. Ia berdiri di pintu samping
rumah, memandang Abinya dan taxi dalam diam, dengan air mata tergenang.
Saya segera ambil alih
kendali agar suami bisa pergi dengan tenang. “Abi ada tes untuk sekolah lagi,
sayang. Nanti, insyaaLlah Abi akan kembali lagi. Kalau Abi lulus tesnya, nanti
kita bicarakan apakah kita akan ikut Abi atau tidak. Sekarang ayo bantu Ummi
beres-beres rumput yang habis
dipotong ini, agar nanti sore kita bisa membakarnya.”
Begitulah, kesedihan
ditinggal Abi bisa lerai dengan menyibukkan mereka dalam urusan beres-beres di
halaman pekarangan rumah.
Pekarangan ini memang sesuatu banget
bagi kami. Bagaimana tidak, pekarangan ini berbeda dengan pekarangan
tetangga-tetangga pada umumnya di komplek perumahan yang kami tinggali.
Banyak pohon tumbuh di sini. Ada pohon mangga, rambutan, jeruk nipis, jeruk purut, sawo, batang pisang, klengkeng, matoa, klutuk merah dan kelapa. Itu baru tanaman keras.
Belum lagi tanaman muda seperti beberapa batang cabe, dan bermacam bunga-bungaan baik yang ditanam di pot ataupun yang langsung di
tanam di tanah, seperti lidah buaya, lidah mertua, mawar, melati, bermacam jenis keladi-keladian,
kembang sepatu putih,daun tulang-tulang,
dan rosella.
Serta rumput gajah yang tumbuh rapi menutupi
pekarangannya.
Belum lagi kunyit, jahe, lengkuas, ruku-ruku (sejenis
bumbu dapur yang hanya cocok di tumbuh di sumatera) serta daun pandan wangi dan pandan suji. Ini semua dilengkapi dengan tanaman pagar hidup sejenis yang hingga detik ini saya lupa
namanya.
Hohoho...jangan
menyerngit begitu. Tentu engkau penasaran bukan, seberapa luas sih tanah
pekarangan kami?
Tanah tempat rumah kami berdiri
tidaklah terbilang luas, hanya 217 meter persegi. Di atasnya telah dibangun
rumah dengan lantai seluas kurang lebih 80 meter persegi. Posisinya di hook,
menyerong ke arah Barat. Posisi hook inilah yang sangat menguntungkan saya.
Saya memanfaatkannya untuk menanami bermacam tanaman, baik di pekarangan maupun di pinggir jalanannya di kedua
sisinya.
Tanaman menaman tumbuhan saya anggap sebagai salah satu terapi
yang ampuh untuk mengobati kejenuhan dan kelelahan saya setelah seharian
mengurus keluarga dan rumah tangga.
Dan itu benar-benar
terbukti ampuh. Saya menikmati bermain di pekarangan sendiri. Semua tumbuhan yang bisa tumbuh akan saya coba
menanamnya.
Selain untuk terapi pengobat
kejenuhan, pekarangan juga berfungsi sebagai arena bermain di alam bagi
anak-anak. Sebari mengenal bermacam jenis tanaman,
mereka saya libatkan langsung dalam proses penanaman dan pemeliharaannya. Meski
saya tak cukup yakin sekarang mereka akan mengingat pembuatan kompos sederhana
yang pernah saya contohkan, tapi mudah-mudahan karena pernah melibatkan mereka
dalam prosesnya, mereka akan familiar dengan lingkungan hijau, itu target saya
yang lainnnya. Serta membawa mereka menikmati saat-saat membakar sampah/rumput dan dedauan kering.
Saya pikir itu semua
tentu mengasyikkan bagi mereka. Setidak-tidaknya saya ingin berbagi pengalaman
menyenangkan karena anak-anak saya bukanlah saya yang berkesempatan tinggal di
desa yang asri.
Pertama pindah ke rumah ini, Hamzah
kala itu berusia 6 bulan, saya mendapati kondisi pekarangan yang menyedihkan.
Dimana-mana di bagian sudut tanah ini dipenuhi ilalang
yang sudah tinggi-tinggi.
Bisa dimaklumi karena
rumah ini telah menjadi hak milik kami sebelum Hamzah lahir, yaitu selang 3
bulan setelah peristiwa tsunami dahsyat di Aceh. Namun tak segera kami tempati
karena saya ingin turun mesin dulu alias melahirkan.
Saya bingung bagaimana
cara jitu untuk memberantas ilalang
ini, karena akar ilalang sangat kuat,
hingga ketika kita mencabutnya masih tersisa sedikit saja akarnya maka sudah
bisa dipastikan akan tumbuh ilalang
baru di sana. Apalagi jika hujan sempat turun, seakan-akan ilalang turut serta berpesta pora.
Saya sangat ingin menanami tanah
ini sesegera mungkin dengan tanaman keras
dan tanaman muda. Saya boleh
dikatakan sangat bernafsu untuk itu. Itu terlihat jelas dengan beragam jenis
yang saya coba tanam. Saya tanami saja apa yang saya bisa, berharap kemudian
alam akan menyeleksinya.
Karena semua yang
ditanam belum tentu akan tumbuh subur, bukan?
Saya tanami tanaman
kecilnya, lalu ketika ia mulai tumbuh besar, tanaman yang meranggas akibat tanah tempat tumbuh yang kurang subur
atau karena jenis bibitnya yang kurang baik akan saya cabut agar yang tumbuhan yang tumbuh subur berpeluang
untuk menjadi tanaman besar.
Saya lakukan ini semua
mengingat Pekanbaru sebagai salah satu daerah penghasil minyak, adalah daerah
yang sangat-sangat panas, melebihi panasnya kota Semarang ini.
Belum lagi masalah
kabut asap yang tiap tahun mengunjungi Pekanbaru.
Saya jadi rindu sangat
akan udara yang bersih, sehingga saya sangat ingin menjadikan lahan sempit kami
sebagai paru-paru komplek perumahan.
Apalagi ditambah
dengan minimnya fasilitas belajar alam dalam hal ini tumbuh-tumbuhan bagi anak-anak. Itulah sebabnya hingga saya memilih
konsep bangunan tumbuh ke atas bukan tumbuh ke samping agar saya bisa memiliki
cukup oksigen di pekarangan kami.
Disinilah saya belajar bagaimana
membasmi ilalang secara alami. Engkau
tahu bukan, ilalang adalah sejenis tanaman yang sulit dibasmi. Tingkat
kesulitannya berada di atas membasmi anak-anak pohon pisang.
Sedekit malu saya
mengabarkannya, bahwa di sinilah saya benar-benar mengenal tumbuhan ilalang. Padahal saya lahir dan tumbuh di desa, bukan?
Iya benar, sekalipun
begitu, saya belum pernah bertemu, hanya mendengar namanya saja. Dulu Bapak
saya sering bercerita bahwa di ladang kami yang berada di kaki gunung Talang
sangat banyak ilalang di sana. Ladang
itu beliau tanami dengan cengkeh. Dan
cerita betapa sulitnya membasmi ilalang
itu sudah terekam di benak kanak-kanak saya.
Bermacam cara sudah saya tempuh
untuk membasminya, namun tiada berhasil sempurna. Filosofi ilalang sebagai tumbuhan
yang sulit di basmi ternyata juga mengandung makna bahwa kitapun harus gigih
untuk membasminya, jika kita ingin tumbuhan
ini enyah dari pandangan mata kita.
Bermacam cara, mulai
dari tiada henti mencabutnya terutama setelah turun hujan karena saat itu
akar-akarnya akan melunak disebabkan tanah yang basah, membakar ilalang yang tumbuh kering, mencangkul
dan membalikkan akar-akarnya setelah dibakar hingga menyemprotkan racun pembasmi
ilalang. Tiada berhasil, patah tumbuh
hilang berganti, gugur satu tumbuh seribu, itulah yang terjadi.
Saya lelah, secara
saya melakukan ini semua di sela-sela mengasuh 2 batita kala itu.
Iseng saja, sambil
menunggu ilalang musnah, saya
menanami pinggiran lahan pekarangan dengan ketela
pohon, untuk saya petik daunnya sebagai sayuran.
Lalu saya tanam pisang kepok super,
berharap kerindangan daunnya untuk tempat berteduh di bawah teriknya mentari,
dan tentu saja memanfaatkan daunnya
untuk urusan dapur.
Ternyata 2 tanaman awal ini bukan hanya saya
nikmati sendiri, namun bisa juga dinikmati oleh tetangga sekitar, sesuatu
banget bukan, alhamdulillah. Nah dalam merawat 2 tanaman inilah rasa lelah membasmi ilalang mulai berkurang.
Ketika ilalang terlihat mulai berkurang, mulailah saya menanami pekarangan
belakang dengan bermacam jenis pisang.
Kenapa pisang? Karena pisang gampang tumbuh. Mulai dari pisang raja serai, pisang manis, pisang tanduk hingga pisang ambon, tentu saja tetap ada pisang kepok.
Bertahap kemudian saya
tanami pekarangan samping dengan pepaya
yang berderet rapi. Inilah kali pertama tetangga-tetangga saya menyebut rumah
saya sebagai cikal bakal hutan riau.
Huu...terlalu ya, tapi saya enjoy saja mendengarnya.
Dua tanaman ini sempat panen besar, meski
tak sempat saya antarkan ke pasar namun sempat saya nikmati bersama-sama dengan
tetangga.
Kelelahan ini sempat saya
curahkan ke salah seorang paman, dari Beliau saya tahu bahwa cara paling alami
membasmi ilalang adalah menanami
lahan dengan ketela rambat.
Oalah...terlambat sudah informasinya, pekarangan saya sudah bebas dari ilalang. Tapi tak apa, info ini saya
rekam dengan baik hingga kelak jika saya berkesempatan memiliki lahan perumahan
yang baru akan saya terapkan teorinya.
Krapyak, Semarang
Barat, Semarang, Jawa Tengah
4 bulan kemudian, setelah Hamzah
menangis sesegukan dipelukan Abinya, kami sudah menempati rumah baru di
Semarang, sebuah rumah kontrakan. Kami boyongan pindah demi kemaslahatan
bersama.
“Bagaimana rumahnya,
sayang, asyik tidak?” saya menanyai anak-anak. Sementara suami menunggu dengan
cemas karena kondisi rumah sungguh jauh berbanding terbalik dengan rumah kami
yang di Pekanbaru. “Wah asyik, Mi, kan kita sama-sama.” Saya dan suami
berpandangan, berharap anak-anak benar-benar betah.
Tidak lebih luas
sebenarnya, hanya rumah ini bentuknya memanjang. Rumah tanpa pekarangan, begitu
turun dari rumah langsung ketemu teras selebar 2 meteran kemudian ke jalanan
komplek. Rumah yang dibangun sehabis-habis tanah, benar-benar maksimal, penuh
bangunan.
Belum sampai 2 bulan kami di sini,
cuaca berubah drastis. Sedang terik-teriknya tiba-tiba hujan turun dengan
derasnya. Seperti siang menjelang Ashar hari itu, Aisyah yang baru pulang
sekolah dengan kedua adiknya, Hamzah dan Fathimah, sedang asyik bermain di
kamar tidur saya.
Tiba-tiba byuurr...air
tumpah dengan derasnya dari talang air, jatuh persis di tengah rumah. Saya
kaget, benar-benar kaget. Ini kali pertama saya tinggal di rumah yang bocor,
seumur hidup saya.
Ternyata anak-anak
lebih kaget lagi. Mereka menjerit-jerit ketakutan melihat air yang tumpah
dengan derasnya. “Airnya jatuh...airnya jatuh”, anak-anak berlari mendekati
TKP. Saya tergopoh-gopoh memeriksa lokasi.
Saya makin lemes
karena tiba-tiba air meluap dari lantai di lobang pembuangan air kamar mandi.
Meluap kencang. Saya lari ke WC yang terpisah dari kamar mandi, dan saya menemukan
hal yang sama. Kemudian ke tempat mencuci piring yang letaknya sejajar dengan
lantai kamar mandi dan WC, nasibnya sama.
Saya benar-benar
panik, tak tahu apa yang harus dikerjakan duluan. Reflek saya lari ke teras
depan dan menemukan sebuah kenyataan, selokan depan rumahnyapun telah melimpah,
air menggapai-gapai hingga nyaris ke bibir lantai rumah.
Ya Tuhan, aduhai...apa
ini?
Saya jelas tak bisa duduk diam, harus
ambil aksi. Reflek saya angkat anak-anak ke meja, mendudukkan ketiganya di
sana. Syukur ada si Mbak, asisten tukang setrika saya. Sebari bekerja menaikkan
barang-barang ke tempat yang tinggi saya pun memberinya instruksi.
Kemudian saya menutup
lobang-lobang air di lantai kamar mandi, WC dan lantai tempat nyuci piring
dengan apa saya yang membongkah dan membungkusnya dengan plastik
berlapis-lapis.
Bersyukur sekali
rasanya saya punya kebiasaan melipat kantong-kantong plastik sisa belanja di
swalayan atau minimarket. Kalau tidak entahlah, kemana hendak dicari plastik
pembungkus bongkahan agar air tidak makin meluap dari lobang?
“Buk, di sini bocor jugaa...”, si
Mbak menjerit dari kamar yang tak terpakai. Saya berlari ke TKP dan menemukan
air mengalir dengan cepat di dinding kamar. Dada saya sesak, sedih banget
rasanya.
Seumur-umur inilah
kondisi yang paling sulit yang saya rasakan. Handuk-handuk, alas kasur dan apa
saja yang lebar dan menyerap air jadi korban hari itu, saya comot begitu saja
untuk mengurangi efek lantai basah berair.
Saya sedih dan
menangis, anak-anak juga. Tiba-tiba hp saya bernyanyi, panggilan dari suami,
menanyakan kabar kami. Tanpa sadar saya bercerita kalau hujan deras di lokasi
tempat tinggal rumah kami, dan tak lupa saya kabari kondisi rumah.
“Sabar ya Mi, Ummi
yang tenang, Abi segera pulang”, suami menutup pembicaraan. Saya lega
mendengarnya, setidak-tidaknya saya punya tempat untuk berkeluh kesah. Nggak
mungkin mengeluh sama si Mbak, bukan?
Dan tumpahlah semua keluhan itu
ketika suami sampai di rumah, sesuatu yang selama ini telah dicoba untuk
menahannya.
“Tidak asyik tinggal
di sini Bi, airnya tumpah-tumpah”, Hamzah menyambut Abinya yang berhenti di
teras yang masih tergenang air luapan selokan.
“Iya, Bi, kita pulang
lagi ke Pekanbaru, ke rumah kita, disana lebih asyik”, Aisyah menambahkan.
Fathimah yang kami
boyong ke Semarang di usia 1,4 tahunnya hanya diam, memelukku erat, melerai
emosinya dalam nikmatnya ASI.
Inilah yang saya takutkan pertama
kali menginjakkan kaki di kontrakan ini, rumah kontrakan yang susah payah
diusahakan oleh suami sebelum kami datang.
Rumah yang bukan di
pusat kota tapi harga kontrakannya mahal. Rumah tanpa halaman, hanya teras
langsung pagar dan jalan komplek. Rumahnya yang jauh dari kata sehat, karena
kurang mendapat cahaya matahari, kurang sirkulasi udara. Rumah yang hanya
memiliki 1 kamar mandi, dan 1 WC, dengan tempat pencuci piring yang harus di lantai. Rumah yang dindingnya retak-retak
dan pecah-pecah. Rumah dengan 3 kamar, tapi 2 diantaranya benar-benar tidak
sehat, tanpa cahaya dan minim sirkulasi udara.
Yang terpenting dari
itu semua, rumah tanpa pekarangan.
Dan sekarang, rumah
yang bocor.
Berbeda jauh dengan kondisi rumah
kami di Pekanbaru. Meski tidak luas, tapi rumah kami sehat. 2 kamarnya yang
berukuran memadai memiliki jendela yang besar. Ada 4 pintu akses ke luar yang ke
empat-empatnya dipasangi pintu besi dan kawat untuk sirkulasi udara yang lebih,
dan jendela rumah yang lumayan besar untuk cahaya dan udara.
Rumah kecil dengan 2
kamar mandi yang masing-masing dilengkapi WCnya. Dapur mungil namun bersih dan
sehat dengan tempat mencuci piringnya. Tak ada dinding yang retak-retak. Posisi
rumah yang lebih tinggi dari jalanan komplek sehingga jauh dari luapan air
selokan.
Dan inilah yang
terpenting, rumah di posisi hook, memiliki pekarangan, yang memungkinkan saya
menyalurkan hobi lebih ke tumbuhan.
Tumpahlah semua rasa yang dipendam,
anak-anak berkeluh pada Abinya. Suamiku diam terpaku.
“Di sini gak asyik Bi,
gak bisa main kejar-kejaran di halaman”, kata Hamzah yang hobi eksplorasi
halaman. “Dan Hamzah gak pernah bantu-bantu Ummi bakar sampah lagi.”
Lha...di sini mau
bakar sampah dimana, apa yang mau dibakar, saya ngedumel dalam hati.
Halaman rumah kami di
Pekanbaru saya tanami dengan rumput gajah
yang rutin dipotong setiap sebulan sekali. Itu artinya ada acara bakar rumput setiap bulannya.
Saya sengaja membikin
asap-asap untuk mengusir nyamuk secara alami mengingat halaman kami penuh
ditumbuhi tanaman.
“Dulu di Pekanbaru, di rumah kita,
Ummi sering menyemprot-nyemprot kami pakai air selang waktu menyiram tanaman. Di sini kami jarang main air,
gak boleh sering-sering, kata Ummi airnya dibayar”, Aisyahku menambahkan.
Saya tersenyum kecut.
Bukannya pelit, tetapi terasa mahal benar air di sini, karena di sini air
dihitung permeterkubik.
Di Pekanbaru saya
memanfaatkan air tanah, karena air PAMnya keruh. Maklumlah air sungai Siak yang
dioleh dengan peralatan seadanya, benar-benar keruh.
Saya memakai sumur bor
untuk rumah kami di Pekanbaru, hanya kedalaman 12 meter tapi airnya benar-benar
bersih dan berlimpah-limpah. Saya hanya terbebani dengan biaya listriknya, tapi
tidak dengan biaya airnya.
Sehingga anak-anak
bisa bermain sepuas-puasnya.
Dan acara menyiram
tanaman 2x sehari di musim panas dan di hari libur adalah hal yang sangat
ditunggu anak-anak. Karena saat itu saya akan pura-pura lupa sehingga selang
air menyemprot mereka, alih-alih menyemprot tanaman.
Suami memandangku, “Ummi yang sabar
ya, InsyaaLlah Abi usahakan tamat secepatnya agar kita bisa kembali ke
Pekanbaru segera,” suami mencoba menghibur. Tentu saja dengan harapan aku
pun bisa menghibur dan menguatkan anak-anak. Ini hanya sebentar, insyaaLlah,
begitu janjinya.
“Ayo Mi, pindah lagi
ke rumah kita”, Hamzahku memberi ide ketika rumah kami bocor lagi di saat hujan
turun.
“Tidak bisa sayang,
Abi bagaimana? Katanya mau bersama Abi, katanya bersama-sama lebih
asyik...bagaimana ini?”
“Kita bawa aja Abinya
lagi.”
Duh...lugunya
anak-anak, berpikir secara sederhana. Tahukah mereka bahwa kalau Abinya kabur
dari sekolahnya, itu berarti membayar denda pada negara?
Sekarang, setelah nyaris 3 tahun
berlalu, suamiku, Abinya anak-anak ternyata belum juga menyelesaikan studinya.
Perasaan malas karena sangat tipis harapan kembali ke Pekanbaru menderanya
sangat kuat. Ibukota sepertinya terminal kami berikutnya, dan suami emoh
melihat kemacetannya, lemes.
Mengurai waktu, kami
memutuskan untuk pindah kontrakan lagi demi rasa nyaman anak-anak. Tak beda
jauh dari yang dulu, hanya tidak bocor saja, selebihnya kurang lebih sama.
“Ummi kapan kita kembali
lagi ke Pekanbaru?” Pertanyaan rutin.
“Kami rindu, ingin
bermain kejar-kejaran lagi di halaman. Ingin bakar-bakar rumput kering lagi, , ingin bantu-bantu merawat tanaman, ingin main air dari selang.”
Aduhai sayangku, biji
mataku, tak tahukah kalian kalau Ummi juga sangat rindu? Di sini, bahkan daun jerukpun di beli.
Saya pernah mencoba
menanam jeruk purut di pot, ternyata
tikus got juga menyukai tanaman ini
sehingga tanaman saya mati, yang
tumbuh hanya kunyit, daun pandan, daun salam, jahe, daun
tulang-tulang, lidah buaya dan cabe
rawit setan.
“Kangen rumah kita ya,
Mi...”, suamiku mengungkapkan perasaannya pada suatu hari. “Kangen tanaman kita.”
Hm...daku hanya
tersenyum kecut, aku bisa apa? Hanya berdo’a dalam hati agar ALlah menempatkan
kami di bagian terbaik bumi-Nya, terserah dimana saja, asal ALlah ridho. Mau ke
ibukota, boleh, pulang kampung ke Padang atau kembali ke Pekanbaru juga tak
apa. Hanya kalau boleh meminta lebih, berharap ingin tinggal di rumah yang
sehat yang memiliki pekarangan yang belum ditutupi semen, pengen menanam tumbuh-tumbuhan sebanyak-banyaknya lagi.
Hihihi...kalau bisa di rumah sendiri, bukan rumah kontrakan.
Semoga ya, aamiin.
hihihi.. cari rumah kontrakannya jangan yang di perumahan uni,,, di desa2 belakang perumahan gitu biasanya tanahnya luas... kaya Ifa kemarin waktu saya titipkan ke mbak tukang sayur yang biasa ke rumah dan dibawa ke rumahnya.. seneng banget karena pekarangannya luas dan bisa main ma ayam.. beda banget kalo di rumah wira wiri dari depan ke belakang.. sempit.. kalo keluar rumah ketemu selokan yang tinggi.. aih, perumahan sekarang tidak menghitung2 segi kesehatan memang, coba sekali waktu maen ke rumah saya uni.. lebih memprihatinkan kondisinya :(
BalasHapushm..dek Ifa pake dititip sekarang, apa sudah mulai beraktifitas di luar lagi, Marita?
Hapusiya ya, pastilah si Ifa seneng, apalagi kalau ada ayam berkotek2, lari2an di tanah,
duh...kapan ya bisa ke rumahmu?