Laman

Kamis, 01 Agustus 2013

Rindu Ini, Rindu Hutan


 
Tak pernah terpikirkan bahwa akan ada masanya saya benar-benar merindukan ‘hutan’ (tumbuh-tumbuhan yang sangat banyak), mengingat saya ini adalah orang kampung, orang yang terbiasa meniti pematang sawah, berlarian di bebatuan sungai, bermain ayunan di pohon kelapa tumbang yang melintang di tengah sungai, dan setiap hari merasakan sejuknya hehijauan.
Kenapa?
Ternyata, menikah, hijrah dan berpisah dari orang tua, berarti meninggalkan semua suasana ini. Dan itu kini telah terangkai menjadi rindu.

Maharatu, Marpoyan Damai, Pekanbaru, Riau
          “Abi mau kemana?” Hamzahku menangis ketika taxi berhenti di depan rumah. Saya tersenyum geli, padahal tadi sudah dijelaskan bahwa Abinya akan ke Jogja beberapa hari, ada test untuk masuk sekolah lagi. Lelaki kecilku, 5,1 tahun kala itu, berlari sambil menangis ke pelukan Abinya. 

Sebenarnya suamiku sudah biasa pergi meninggalkan kami, dinas ke luar kota. Paling jauh biasanya ke Pulau Natuna dan ke Bandung. Dan anak-anak memahami, kepergian itu untuk kembali lagi. Tapi sekali ini anak-anak memahami dengan cara yang berbeda. “Kenapa Hamzah tidak dibawa, Bi. Apa tidak ada kamar untuk Hamzah di situ?”

Lain Hamzah, lain pula dengan Aisyahku yang sudah 7,5 tahun kala itu. Ia berdiri di pintu samping rumah, memandang Abinya dan taxi dalam diam, dengan air mata tergenang.
Saya segera ambil alih kendali agar suami bisa pergi dengan tenang. “Abi ada tes untuk sekolah lagi, sayang. Nanti, insyaaLlah Abi akan kembali lagi. Kalau Abi lulus tesnya, nanti kita bicarakan apakah kita akan ikut Abi atau tidak. Sekarang ayo bantu Ummi beres-beres rumput yang habis dipotong ini, agar nanti sore kita bisa membakarnya.”

Begitulah, kesedihan ditinggal Abi bisa lerai dengan menyibukkan mereka dalam urusan beres-beres di halaman pekarangan rumah.


           Pekarangan ini memang sesuatu banget bagi kami. Bagaimana tidak, pekarangan ini berbeda dengan pekarangan tetangga-tetangga pada umumnya di komplek perumahan yang kami tinggali. 

Banyak pohon tumbuh di sini. Ada pohon mangga, rambutan, jeruk nipis, jeruk purut, sawo, batang pisang, klengkeng, matoa, klutuk merah dan kelapa. Itu baru tanaman keras

Belum lagi tanaman muda seperti beberapa batang cabe, dan bermacam bunga-bungaan baik yang ditanam di pot ataupun yang langsung di tanam di tanah, seperti lidah buaya, lidah mertua, mawar, melati, bermacam jenis keladi-keladian, kembang sepatu putih,daun tulang-tulang,  dan rosella.
Serta rumput gajah yang tumbuh rapi menutupi pekarangannya. 
 
Belum lagi kunyit, jahe, lengkuas, ruku-ruku (sejenis bumbu dapur yang hanya cocok di tumbuh di sumatera) serta daun pandan wangi dan pandan suji. Ini semua dilengkapi dengan tanaman pagar hidup sejenis yang hingga detik ini saya lupa namanya.
Hohoho...jangan menyerngit begitu. Tentu engkau penasaran bukan, seberapa luas sih tanah pekarangan kami?
 
Sudut hutanku yang tak lagi terawat, setelah 2 tahun ditinggalkan

            Tanah tempat rumah kami berdiri tidaklah terbilang luas, hanya 217 meter persegi. Di atasnya telah dibangun rumah dengan lantai seluas kurang lebih 80 meter persegi. Posisinya di hook, menyerong ke arah Barat. Posisi hook inilah yang sangat menguntungkan saya. Saya memanfaatkannya untuk menanami bermacam tanaman, baik di pekarangan maupun di pinggir jalanannya di kedua sisinya.

Tanaman menaman tumbuhan saya anggap sebagai salah satu terapi yang ampuh untuk mengobati kejenuhan dan kelelahan saya setelah seharian mengurus keluarga dan rumah tangga.

Dan itu benar-benar terbukti ampuh. Saya menikmati bermain di pekarangan sendiri. Semua tumbuhan yang bisa tumbuh akan saya coba menanamnya.


            Selain untuk terapi pengobat kejenuhan, pekarangan juga berfungsi sebagai arena bermain di alam bagi anak-anak. Sebari mengenal bermacam jenis tanaman, mereka saya libatkan langsung dalam proses penanaman dan pemeliharaannya. Meski saya tak cukup yakin sekarang mereka akan mengingat pembuatan kompos sederhana yang pernah saya contohkan, tapi mudah-mudahan karena pernah melibatkan mereka dalam prosesnya, mereka akan familiar dengan lingkungan hijau, itu target saya yang lainnnya. Serta membawa mereka menikmati saat-saat membakar sampah/rumput dan dedauan kering. 

Saya pikir itu semua tentu mengasyikkan bagi mereka. Setidak-tidaknya saya ingin berbagi pengalaman menyenangkan karena anak-anak saya bukanlah saya yang berkesempatan tinggal di desa yang asri.


           Pertama pindah ke rumah ini, Hamzah kala itu berusia 6 bulan, saya mendapati kondisi pekarangan yang menyedihkan. Dimana-mana di bagian sudut tanah ini dipenuhi  ilalang yang sudah tinggi-tinggi. 

Bisa dimaklumi karena rumah ini telah menjadi hak milik kami sebelum Hamzah lahir, yaitu selang 3 bulan setelah peristiwa tsunami dahsyat di Aceh. Namun tak segera kami tempati karena saya ingin turun mesin dulu alias melahirkan.

Saya bingung bagaimana cara jitu untuk memberantas ilalang ini, karena akar ilalang sangat kuat, hingga ketika kita mencabutnya masih tersisa sedikit saja akarnya maka sudah bisa dipastikan akan tumbuh ilalang baru di sana. Apalagi jika hujan sempat turun, seakan-akan ilalang turut serta berpesta pora.


            Saya sangat ingin menanami tanah ini sesegera mungkin dengan tanaman keras dan tanaman muda. Saya boleh dikatakan sangat bernafsu untuk itu. Itu terlihat jelas dengan beragam jenis yang saya coba tanam. Saya tanami saja apa yang saya bisa, berharap kemudian alam akan menyeleksinya. 
 
Karena semua yang ditanam belum tentu akan tumbuh subur, bukan?
Saya tanami tanaman kecilnya, lalu ketika ia mulai tumbuh besar, tanaman yang meranggas akibat tanah tempat tumbuh yang kurang subur atau karena jenis bibitnya yang kurang baik akan saya cabut agar yang tumbuhan yang tumbuh subur berpeluang untuk menjadi tanaman besar. 

Saya lakukan ini semua mengingat Pekanbaru sebagai salah satu daerah penghasil minyak, adalah daerah yang sangat-sangat panas, melebihi panasnya kota Semarang ini.
Belum lagi masalah kabut asap yang tiap tahun mengunjungi Pekanbaru.
Saya jadi rindu sangat akan udara yang bersih, sehingga saya sangat ingin menjadikan lahan sempit kami sebagai paru-paru komplek perumahan. 

Apalagi ditambah dengan minimnya fasilitas belajar alam dalam hal ini tumbuh-tumbuhan bagi anak-anak. Itulah sebabnya hingga saya memilih konsep bangunan tumbuh ke atas bukan tumbuh ke samping agar saya bisa memiliki cukup oksigen di pekarangan kami.


            Disinilah saya belajar bagaimana membasmi ilalang secara alami. Engkau tahu bukan, ilalang adalah sejenis tanaman yang sulit dibasmi. Tingkat kesulitannya berada di atas membasmi anak-anak pohon pisang

Sedekit malu saya mengabarkannya, bahwa di sinilah saya benar-benar mengenal tumbuhan ilalang. Padahal saya lahir dan tumbuh di desa, bukan? 

Iya benar, sekalipun begitu, saya belum pernah bertemu, hanya mendengar namanya saja. Dulu Bapak saya sering bercerita bahwa di ladang kami yang berada di kaki gunung Talang sangat banyak ilalang di sana. Ladang itu beliau tanami dengan cengkeh. Dan cerita betapa sulitnya membasmi ilalang itu sudah terekam di benak kanak-kanak saya.


            Bermacam cara sudah saya tempuh untuk membasminya, namun tiada berhasil sempurna. Filosofi ilalang sebagai tumbuhan yang sulit di basmi ternyata juga mengandung makna bahwa kitapun harus gigih untuk membasminya, jika kita ingin tumbuhan ini enyah dari pandangan mata kita.

Bermacam cara, mulai dari tiada henti mencabutnya terutama setelah turun hujan karena saat itu akar-akarnya akan melunak disebabkan tanah yang basah, membakar ilalang yang tumbuh kering, mencangkul dan membalikkan akar-akarnya setelah dibakar hingga menyemprotkan racun pembasmi ilalang. Tiada berhasil, patah tumbuh hilang berganti, gugur satu tumbuh seribu, itulah yang terjadi. 

Saya lelah, secara saya melakukan ini semua di sela-sela mengasuh 2 batita kala itu.
Iseng saja, sambil menunggu ilalang musnah, saya menanami pinggiran lahan pekarangan dengan ketela pohon, untuk saya petik daunnya sebagai sayuran. Lalu saya tanam pisang kepok super, berharap kerindangan daunnya untuk tempat berteduh di bawah teriknya mentari, dan tentu saja memanfaatkan daunnya untuk urusan dapur. 

Ternyata 2 tanaman awal ini bukan hanya saya nikmati sendiri, namun bisa juga dinikmati oleh tetangga sekitar, sesuatu banget bukan, alhamdulillah. Nah dalam merawat 2 tanaman inilah rasa lelah membasmi ilalang mulai berkurang. 


            Ketika ilalang terlihat mulai berkurang, mulailah saya menanami pekarangan belakang dengan bermacam jenis pisang. Kenapa pisang? Karena pisang gampang tumbuh. Mulai dari pisang raja serai, pisang manis, pisang tanduk hingga pisang ambon, tentu saja tetap ada pisang kepok

Bertahap kemudian saya tanami pekarangan samping dengan pepaya yang berderet rapi. Inilah kali pertama tetangga-tetangga saya menyebut rumah saya sebagai cikal bakal hutan riau. Huu...terlalu ya, tapi saya enjoy saja mendengarnya. 

Dua tanaman ini sempat panen besar, meski tak sempat saya antarkan ke pasar namun sempat saya nikmati bersama-sama dengan tetangga.

Kelelahan ini sempat saya curahkan ke salah seorang paman, dari Beliau saya tahu bahwa cara paling alami membasmi ilalang adalah menanami lahan dengan ketela rambat. Oalah...terlambat sudah informasinya, pekarangan saya sudah bebas dari ilalang. Tapi tak apa, info ini saya rekam dengan baik hingga kelak jika saya berkesempatan memiliki lahan perumahan yang baru akan saya terapkan teorinya.


Krapyak, Semarang Barat, Semarang, Jawa Tengah
          4 bulan kemudian, setelah Hamzah menangis sesegukan dipelukan Abinya, kami sudah menempati rumah baru di Semarang, sebuah rumah kontrakan. Kami boyongan pindah demi kemaslahatan bersama. 

“Bagaimana rumahnya, sayang, asyik tidak?” saya menanyai anak-anak. Sementara suami menunggu dengan cemas karena kondisi rumah sungguh jauh berbanding terbalik dengan rumah kami yang di Pekanbaru. “Wah asyik, Mi, kan kita sama-sama.” Saya dan suami berpandangan, berharap anak-anak benar-benar betah. 

Tidak lebih luas sebenarnya, hanya rumah ini bentuknya memanjang. Rumah tanpa pekarangan, begitu turun dari rumah langsung ketemu teras selebar 2 meteran kemudian ke jalanan komplek. Rumah yang dibangun sehabis-habis tanah, benar-benar maksimal, penuh bangunan.


            Belum sampai 2 bulan kami di sini, cuaca berubah drastis. Sedang terik-teriknya tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Seperti siang menjelang Ashar hari itu, Aisyah yang baru pulang sekolah dengan kedua adiknya, Hamzah dan Fathimah, sedang asyik bermain di kamar tidur saya. 

Tiba-tiba byuurr...air tumpah dengan derasnya dari talang air, jatuh persis di tengah rumah. Saya kaget, benar-benar kaget. Ini kali pertama saya tinggal di rumah yang bocor, seumur hidup saya. 

Ternyata anak-anak lebih kaget lagi. Mereka menjerit-jerit ketakutan melihat air yang tumpah dengan derasnya. “Airnya jatuh...airnya jatuh”, anak-anak berlari mendekati TKP. Saya tergopoh-gopoh memeriksa lokasi. 

Saya makin lemes karena tiba-tiba air meluap dari lantai di lobang pembuangan air kamar mandi. Meluap kencang. Saya lari ke WC yang terpisah dari kamar mandi, dan saya menemukan hal yang sama. Kemudian ke tempat mencuci piring yang letaknya sejajar dengan lantai kamar mandi dan WC, nasibnya sama.

Saya benar-benar panik, tak tahu apa yang harus dikerjakan duluan. Reflek saya lari ke teras depan dan menemukan sebuah kenyataan, selokan depan rumahnyapun telah melimpah, air menggapai-gapai hingga nyaris ke bibir lantai rumah.
Ya Tuhan, aduhai...apa ini?


          Saya jelas tak bisa duduk diam, harus ambil aksi. Reflek saya angkat anak-anak ke meja, mendudukkan ketiganya di sana. Syukur ada si Mbak, asisten tukang setrika saya. Sebari bekerja menaikkan barang-barang ke tempat yang tinggi saya pun memberinya instruksi. 

Kemudian saya menutup lobang-lobang air di lantai kamar mandi, WC dan lantai tempat nyuci piring dengan apa saya yang membongkah dan membungkusnya dengan plastik berlapis-lapis. 

Bersyukur sekali rasanya saya punya kebiasaan melipat kantong-kantong plastik sisa belanja di swalayan atau minimarket. Kalau tidak entahlah, kemana hendak dicari plastik pembungkus bongkahan agar air tidak makin meluap dari lobang?


            “Buk, di sini bocor jugaa...”, si Mbak menjerit dari kamar yang tak terpakai. Saya berlari ke TKP dan menemukan air mengalir dengan cepat di dinding kamar. Dada saya sesak, sedih banget rasanya. 

Seumur-umur inilah kondisi yang paling sulit yang saya rasakan. Handuk-handuk, alas kasur dan apa saja yang lebar dan menyerap air jadi korban hari itu, saya comot begitu saja untuk mengurangi efek lantai basah berair.

Saya sedih dan menangis, anak-anak juga. Tiba-tiba hp saya bernyanyi, panggilan dari suami, menanyakan kabar kami. Tanpa sadar saya bercerita kalau hujan deras di lokasi tempat tinggal rumah kami, dan tak lupa saya kabari kondisi rumah. 

“Sabar ya Mi, Ummi yang tenang, Abi segera pulang”, suami menutup pembicaraan. Saya lega mendengarnya, setidak-tidaknya saya punya tempat untuk berkeluh kesah. Nggak mungkin mengeluh sama si Mbak, bukan?


            Dan tumpahlah semua keluhan itu ketika suami sampai di rumah, sesuatu yang selama ini telah dicoba untuk menahannya.
“Tidak asyik tinggal di sini Bi, airnya tumpah-tumpah”, Hamzah menyambut Abinya yang berhenti di teras yang masih tergenang air luapan selokan.
“Iya, Bi, kita pulang lagi ke Pekanbaru, ke rumah kita, disana lebih asyik”, Aisyah menambahkan.

Fathimah yang kami boyong ke Semarang di usia 1,4 tahunnya hanya diam, memelukku erat, melerai emosinya dalam nikmatnya ASI.


            Inilah yang saya takutkan pertama kali menginjakkan kaki di kontrakan ini, rumah kontrakan yang susah payah diusahakan oleh suami sebelum kami datang. 

Rumah yang bukan di pusat kota tapi harga kontrakannya mahal. Rumah tanpa halaman, hanya teras langsung pagar dan jalan komplek. Rumahnya yang jauh dari kata sehat, karena kurang mendapat cahaya matahari, kurang sirkulasi udara. Rumah yang hanya memiliki 1 kamar mandi, dan 1 WC, dengan tempat pencuci piring yang  harus di lantai. Rumah yang dindingnya retak-retak dan pecah-pecah. Rumah dengan 3 kamar, tapi 2 diantaranya benar-benar tidak sehat, tanpa cahaya dan minim sirkulasi udara.
Yang terpenting dari itu semua, rumah tanpa pekarangan.
Dan sekarang, rumah yang bocor.


             Berbeda jauh dengan kondisi rumah kami di Pekanbaru. Meski tidak luas, tapi rumah kami sehat. 2 kamarnya yang berukuran memadai memiliki jendela yang besar. Ada 4 pintu akses ke luar yang ke empat-empatnya dipasangi pintu besi dan kawat untuk sirkulasi udara yang lebih, dan jendela rumah yang lumayan besar untuk cahaya dan udara.
Rumah kecil dengan 2 kamar mandi yang masing-masing dilengkapi WCnya. Dapur mungil namun bersih dan sehat dengan tempat mencuci piringnya. Tak ada dinding yang retak-retak. Posisi rumah yang lebih tinggi dari jalanan komplek sehingga jauh dari luapan air selokan. 

Dan inilah yang terpenting, rumah di posisi hook, memiliki pekarangan, yang memungkinkan saya menyalurkan hobi lebih ke tumbuhan.


          Tumpahlah semua rasa yang dipendam, anak-anak berkeluh pada Abinya. Suamiku diam terpaku.
“Di sini gak asyik Bi, gak bisa main kejar-kejaran di halaman”, kata Hamzah yang hobi eksplorasi halaman. “Dan Hamzah gak pernah bantu-bantu Ummi bakar sampah lagi.”
Lha...di sini mau bakar sampah dimana, apa yang mau dibakar, saya ngedumel dalam hati.
Halaman rumah kami di Pekanbaru saya tanami dengan rumput gajah yang rutin dipotong setiap sebulan sekali. Itu artinya ada acara bakar rumput setiap bulannya.
Saya sengaja membikin asap-asap untuk mengusir nyamuk secara alami mengingat halaman kami penuh ditumbuhi tanaman.


          “Dulu di Pekanbaru, di rumah kita, Ummi sering menyemprot-nyemprot kami pakai air selang waktu menyiram tanaman. Di sini kami jarang main air, gak boleh sering-sering, kata Ummi airnya dibayar”, Aisyahku menambahkan. 
Saya tersenyum kecut. Bukannya pelit, tetapi terasa mahal benar air di sini, karena di sini air dihitung permeterkubik. 
 
Di Pekanbaru saya memanfaatkan air tanah, karena air PAMnya keruh. Maklumlah air sungai Siak yang dioleh dengan peralatan seadanya, benar-benar keruh.
Saya memakai sumur bor untuk rumah kami di Pekanbaru, hanya kedalaman 12 meter tapi airnya benar-benar bersih dan berlimpah-limpah. Saya hanya terbebani dengan biaya listriknya, tapi tidak dengan biaya airnya.
Sehingga anak-anak bisa bermain sepuas-puasnya.
Dan acara menyiram tanaman 2x sehari di musim panas dan di hari libur adalah hal yang sangat ditunggu anak-anak. Karena saat itu saya akan pura-pura lupa sehingga selang air menyemprot mereka, alih-alih menyemprot tanaman.


          Suami memandangku, “Ummi yang sabar ya, InsyaaLlah Abi usahakan tamat secepatnya agar kita bisa kembali ke Pekanbaru segera,” suami mencoba menghibur. Tentu saja dengan harapan aku pun bisa menghibur dan menguatkan anak-anak. Ini hanya sebentar, insyaaLlah, begitu janjinya.

“Ayo Mi, pindah lagi ke rumah kita”, Hamzahku memberi ide ketika rumah kami bocor lagi di saat hujan turun.
“Tidak bisa sayang, Abi bagaimana? Katanya mau bersama Abi, katanya bersama-sama lebih asyik...bagaimana ini?”
“Kita bawa aja Abinya lagi.”
Duh...lugunya anak-anak, berpikir secara sederhana. Tahukah mereka bahwa kalau Abinya kabur dari sekolahnya, itu berarti membayar denda pada negara?


          Sekarang, setelah nyaris 3 tahun berlalu, suamiku, Abinya anak-anak ternyata belum juga menyelesaikan studinya. Perasaan malas karena sangat tipis harapan kembali ke Pekanbaru menderanya sangat kuat. Ibukota sepertinya terminal kami berikutnya, dan suami emoh melihat kemacetannya, lemes. 

Mengurai waktu, kami memutuskan untuk pindah kontrakan lagi demi rasa nyaman anak-anak. Tak beda jauh dari yang dulu, hanya tidak bocor saja, selebihnya kurang lebih sama.

“Ummi kapan kita kembali lagi ke Pekanbaru?” Pertanyaan rutin.
“Kami rindu, ingin bermain kejar-kejaran lagi di halaman. Ingin bakar-bakar  rumput  kering lagi, , ingin bantu-bantu merawat tanaman, ingin main air dari selang.”
Aduhai sayangku, biji mataku, tak tahukah kalian kalau Ummi juga sangat rindu? Di sini, bahkan daun jerukpun di beli.
Saya pernah mencoba menanam jeruk purut di pot, ternyata tikus got juga menyukai tanaman ini sehingga tanaman saya mati, yang tumbuh hanya kunyit, daun pandan, daun salam, jahe, daun tulang-tulang, lidah buaya dan cabe rawit setan.


“Kangen rumah kita ya, Mi...”, suamiku mengungkapkan perasaannya pada suatu hari. “Kangen tanaman kita.”
Hm...daku hanya tersenyum kecut, aku bisa apa? Hanya berdo’a dalam hati agar ALlah menempatkan kami di bagian terbaik bumi-Nya, terserah dimana saja, asal ALlah ridho. Mau ke ibukota, boleh, pulang kampung ke Padang atau kembali ke Pekanbaru juga tak apa. Hanya kalau boleh meminta lebih, berharap ingin tinggal di rumah yang sehat yang memiliki pekarangan yang belum ditutupi semen, pengen menanam tumbuh-tumbuhan sebanyak-banyaknya lagi. Hihihi...kalau bisa di rumah sendiri, bukan rumah kontrakan.
Semoga ya, aamiin.



2 komentar:

  1. hihihi.. cari rumah kontrakannya jangan yang di perumahan uni,,, di desa2 belakang perumahan gitu biasanya tanahnya luas... kaya Ifa kemarin waktu saya titipkan ke mbak tukang sayur yang biasa ke rumah dan dibawa ke rumahnya.. seneng banget karena pekarangannya luas dan bisa main ma ayam.. beda banget kalo di rumah wira wiri dari depan ke belakang.. sempit.. kalo keluar rumah ketemu selokan yang tinggi.. aih, perumahan sekarang tidak menghitung2 segi kesehatan memang, coba sekali waktu maen ke rumah saya uni.. lebih memprihatinkan kondisinya :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. hm..dek Ifa pake dititip sekarang, apa sudah mulai beraktifitas di luar lagi, Marita?
      iya ya, pastilah si Ifa seneng, apalagi kalau ada ayam berkotek2, lari2an di tanah,
      duh...kapan ya bisa ke rumahmu?

      Hapus