Laman

Minggu, 02 Juni 2013

Perempuan Selalu Menarik, Bahkan Yang Berjilbab Besar



          Sebuah kejutan di akhir Maret lalu datang dari orang nomor 1 di Jawa Tengah, Gubernur Bibit Waluyo. Himbauannya tentang pelarangan berjilbab besar di lingkungan rumah sakit. Barangkali banyak dari kita yang ternganga mendengarnya, tapi juga ada kemungkinan banyak kita yang malah tidak tahu sama sekali. Kebijakan ini membuat kita berfikir betapa perempuan makin memiliki nilai jual tinggi di setiap sudutnya. Bahkan perempuan berjilbab besar yang seringkali dipandang sebelah mata pun memiliki nilai tersendiri. Ada sesuatu di diri mereka para perempuan yang seringkali bisa menyibukkan para pengambil kebijakan, yang pada umumnya kaum lelaki untuk membuat sebuah himbauan atau peraturan bahkan pelarangan. Faktanya, betapa perempuan masih sangat menarik untuk dibahas, terlepas dari itu popular atau tidak. 


Kasus pelarangan menggunakan jilbab oleh pejabat publik ini bukanlah yang pertama. Februari 2012 yang lalu, DPRD Surabaya menerima laporan dari beberapa karyawan dan karyawati di Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Teknik Komputer (Stikom) yang mengadu atas larangan mengenakan busana muslim (jilbab) di sekitar kampus. Selain itu, pada tahun yang sama, di Cirebon, sekolah Geeta International School juga melarang siswinya menggunakan jilbab (muslimdaily/dakwatuna). 


          Sebenarnya himbauan ini –yang ada kemungkinan akan digiring menjadi produk hukum- tidak beda jauh dengan himbauan rekan-rekannya di daerah lainnya, himbauan yang dinilai kurang popular. Seperti halnya himbauan Walikota Lhok Seumawe, Aceh, Suaidi Yahya tentang dhuek phang atau yang lebih kita kenal dengan pelarangan duduk mengangkang di sepeda motor bagi perempuan yang dibonceng. Atau himbaun Bupati Aceh Barat, tentang celana jeans vs rok. Sedikit mundur lebih jauh, tentang himbauan pelarangan perempuan keluar di atas pukul 8 malam tanpa muhrim di Sumatera Barat, tepatnya di kota Padang. Walau untuk 3 himbauan terakhir ini lebih di dasarkan pada perbaikan moral dan perlindungan harkat dan martabat perempuan, tetapi tetap saja himbauan-himbauan itu secara implisit menggilas hak-hak perempuan. 

          Pertanyaan yang paling mendasar, adakah perempuan-perempuan yang menjadi objek himbauan diajak urun rembuk, duduk satu meja untuk menyelesaikan permasalahan terkait mereka? Yang dikhawatirkan adalah para pengambil kebijakan hanya memanfaatkan perempuan sebagai objek pemacu kendaraan politik semata, atau sentimen beragama.

Mari kita kembali ke persoalan jilbab besar di lingkungan rumah sakit. Satu-satunya alasan yang bisa diterima dalam hal pelarangan ini adalah nilai kinerja dan dedikasi para pemakai jilbab besar ini akan terganggu gara-gara ukuran jilbabnya. Hanya itu, tidak ada alasan yang lain yang bisa diterima akal sehat. Karena UUD 1945 dalam tata kenegaraan kita menjamin setiap manusia bisa menjalankan ibadahnya sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Jika negara dan segenap aparaturnya mengakui bahwa berjilbab sesuai dengan tuntunan Al Qur-an dan sunnah Rasulullah SAW adalah bagian dari ibadah, maka menggunakan jilbab adalah kewajiban yang tak terelakkan dari setiap muslimah. Jika pemerintah dalam hal ini Gubernur Jawa Tengah melakukan pelarangan atas kewajiban yang dilindungi UUD 1945, berarti pemerintah daerah melanggar hak dasar seseorang dalam beribadah sesuai dengan keyakin penganutnya. Andai pemerintah daerah tetap memaksakan kehendak, artinya pemerintah bisa ditekan untuk membuktikan dengan data-data yang akurat dan valid, agar himbauannya ini tidak terkesan sebatas air liur semata, atau ada kepentingan politik yang memboncenginya.


          Sebenarnya polemik masalah jilbab besar ini bukanlah dagelan baru di dunia kerja, khususnya rumah sakit. Terlalu sering kita mendengar para praktisi kesehatan dan hal-hal yang terkait dengan dinas kesehatan mengeluhkan tentang jilbab besar ini. Entah apa masalahnya. Seakan-akan jilbab besar akan mengganggu kinerja para praktisi tersebut. Informasi dari teman-teman dan saudara saya yang bersekolah di dinas kesehatan atau bekerja di lingkungan dinas kesehatan mengeluhkan ketidaknyamanan mereka ketika harus bertahan dengan jilbab besarnya. Pertanyaan yang perlu kita dengar jawabannya adalah, benarkah perempuan para pemakai jilbab besar itu tidak profesional dalam bekerja? Kita harus mendapatkan jawaban ini dari pengambil kebijakan agar kita tahu bagaimana cara menyikapinya. 

Padahal, sebatas bahwa jilbab besar itu tidak berlebih-lebihan, maka keberadaannya tidaklah mengganggu aktifitas penggunanya. Berdasarkan pengalaman saya secara pribadi dan beberapa teman pengguna gaya busana ini, jika pinggiran jilbab masih berada sebatas  antara pergelangan tangan hingga siku, itu artinya telah menutupi dada (sesuai syari'at) maka ia tidak akan mengganggu  penggunanya dalam bekerja. Bahkan ketika dalam kondisi kepepet, jilbab bisa dengan mudah diikatkan ke belakang leher

Beberapa bentuk jilbab dalam yang bisa dipakai dalam aktifitas (dok.pribadi)
          Perempuan adalah bagian nyata dari hidup berkesejahteraan dalam kebersamaan, mereka adalah mitra kerja yang tak bisa dipandang sebelah mata. Mereka para perempuan bukan hanya berfungsi sebagai pelengkap hidup. Mereka punya hak atas diri mereka sendiri, selayaknya laki-laki. Maka alangkah naifnya jika perempuan hanya dijadikan sebatas objek. Tidak seorangpun bisa memaksakan kehendaknya apalagi mengintervensi hak-hak perempuan, kecuali hanya Penciptanya. 
Menurut Tabrani Yunis, tubuh seorang perempuan adalah tubuh perempuan, bukan sekedar tempat beranak dan membesarkan (Potret, 2013). Begitupun muslimah yang nota bene adalah bagian dari perempuan secara umum. Hak mereka apalagi dalam beribadah kepada Tuhan-nya tidak bisa diintervensi siapapun, apapun alasannya. Banyak dari himbauan-himbauan yang terkait perempuan sebenarnya merampas hak kedaulatan perempuan atas diri mereka. Dengan berbagai dalil dan tinjauan, kedaulatan perempuan dirampas begitu saja. Berlindung di balik norma, agama, nilai-nilai sosial dan profesionalitas kerja. Seakan-akan perempuan tak punya kewenangan atas diri mereka sendiri, mereka adalah objek, bukan subjek atau mitra sejajar dalam kehidupan menuju kesejahteraan bersama. 


          Jika kita mau membuka mata dan telinga lebar-lebar, kita akan mendapatkan informasi yang konkrit, betapa sebenarnya kehadiran perempuan-perempuan berjilbab lebar di wilayah layanan publik, telah memberikan suasana nyaman tersendiri bagi para pekerja laki-laki di wilayah layanan publik itu. Kehadiran mereka membawa suasana religius tersendiri, yang tak akan didapatkan jika wilayah kerja hanya dipenuhi oleh perempuan-perempuan yang mengumbar aurat sesuka hatinya. Bahkan juga takkan kita dapatkan jika wilayah kerja hanya diisi oleh perempuan-perempuan yang memakai jilbab  karena modis dan ingin tampil lebih agamais saja. Karena, maaf ya, jilbab mini dan imut-imut tidaklah melindungi tubuh perempuan yang memang dicipatakan Allah SWT dengan penuh nilai keindahan, tidak akan terlindungi sempurna. Masih akan kita temui nilai-nilai sensualitas yang nyata pada pemakai jilbab imut ini. Itu berarti mata para lelaki di dunia kerja, masih akan terganggu pemandangannya. Dan itu menggiring kita kepemahaman yang lain, betapa sebenarnya kehadiran perempuan-perempuan berjilbab besar ini akan turut andil menekan angka pelecehan seksual di dunia kerja.


          Bukan lagi isu basi bahwa angka pelecehan seksual di dunia kerja selalu meningkat di setiap tahunnya. Sekarang perempuan makin berani mengadukan permasalahannya ke hadapan publik. Walau untuk Indonesia angka ini tidak bisa dikatakan akurat karena masih banyak yang tidak ingin mempublikasikan pelecehan yang mereka terima, tetapi harus kita akui bahwa pelecehan itu ada dan nilainya meningkat. Hasil dari penelitian oleh Reuters dan Ipsos Global Advisory di 22 negara menunjukkan bahwa satu dari sepuluh pekerja perempuan mengalami pelecehan seksual di dunia kerja, bahkan pelecehan itu datang dari atasannya. Dan pada penelitian lain di negara-negara Asia Pasifik ditemukan angka 30-40% bahwa masalah pelecehan itu berasal dari dunia ketenagakerjaan.


          Sebenarnya bagi para perempuan-perempuan muslimah berjilbab besar itu juga tidak mudah untuk beradaptasi dengan dunia kerja. Betapa godaan agar tetap konsisten dalam berbusana sangat besar, belum lagi tekanan untuk tetap profesional bekerja dengan busana yang tidak bisa dikatakan simpel. Di sini pemahaman mereka yang utuh terhadap makna ibadah dalam berbusana benar-benar menemui ujiannya. Seperti halnya di rumah sakit. Banyak aktivitas yang memaksa mereka harus menyingsingkan lengan bajunya, mengikat jilbabnya, melipat roknya ke atas bahkan menggulung kaki celananya, demi menunjukkan dedikasi dan profesionalitas kerja. Tetapi demi kaffah dalam beribadah mereka tetap berusaha mempertahankan busana dengan jilbab besarnya. Menurunkan kembali gulungan lengan bajunya, membuka lipatan roknya, melepaskan ikatan jilbabnya, menurunkan gulungan kaki celananya begitu aktivitas pelayanannya selesai. Maka cukuplah tekanan itu bagi mereka, jangan dihadapkan lagi dengan peraturan yang memaksa mereka mengganti jilbab besarnya dengan jilbab minimalis. Maksudnya selagi profesionalitas dan dedikasi mereka tidak terganggu, siapapun tidak punya hak untuk mengintervensi keputusan mereka dalam pilihan berbusana.


          Ketika intervensi penguasa telah masuk ke ranah hak azazi, sebatas tidak melanggar al Qur-an dan sunnah Rasul saw, maka di saat itulah kita para perempuan harus berani bersuara. Meski mereka mengambil keputusan tanpa bertanya, tetap kita punya hak untuk menyatakan keberatan kita. Itu adalah hak dasar yang dilindungi UUD dalam tata kenegaraan. 

          Jika kita ingin dianggap ada, maka bersuaralah. Jangan serahkan masalah kita hanya kepada MUI saja, kita harus turun tangan untuk menyelesaikannya.
Untuk para perempuan di dunia kerja, polemik ini adalah ujian loncatan keteguhan untuk menunjukkan eksistensi. Kesempatan untuk menunjukkan bahwa sebagai perempuan kita tidak bisa dipandang sebelah mata. Kita bukan objek. Kita adalah subjek nyata dalam perubahan menuju kesejahteraan. Kita adalah mitra sejajar para lelaki. Allah SWT mengakui hak-hak kita, lalu kenapa kita tidak percaya diri untuk membela hak-hak itu?

Dan inilah saatnya bagi perempuan-perempuan yang berada di luar wilayah ‘bermasalah’ ini untuk menunjukkan simpati dan empati, betapa sebenarnya kita peduli dengan permasalahan saudara kita sesama perempuan. Sikap masa bodoh yang kita tunjukkan malah akan merangsang para pengambil keputusan untuk mengintervensi kita para perempuan lebih jauh lagi. Akan semakin banyak hal-halnya yang sebenarnya tidak urgen -dalam peta perpolitikan- yang diintervensi, sehingga barangkali akan berakibat dikebirinya hak-hak kita lebih jauh lagi. Inilah saatnya yang tepat untuk saling bergandengan tangan menuju kemashlatan hidup yang lebih baik. Bergandengan dalam kebersamaan.


          Akhirnya sampailah kita pada sebuah kesimpulan betapa ternyata sebagai perempuan kita belum memiliki hak atas diri kita sendiri. Kita masih memiliki nilai jual atas segala kondisi di percaturan kehidupan. Terlepas dari apapun jenis pilihan berbusana yang kita pilih, sebatas masih berada dalam norma-norma. Maka, wahai para perempuan, bersuaralah jika engkau tidak suka, berteriaklah yang lantang. Mari tunjukkan ke dunia bahwa kita ada, kita  nyata dalam kehidupan ini. Kita bukan bayang-bayang para lelaki. 

Katakanlah pada dunia, Allah SWT mencipatakanku dari tulang rusukmu wahai para lelaki, bukan untuk kau jadikan objek, bukan pula sebagai sarana untuk mencapai tujuanmu, bukan pula sekedar pemuas birahimu. Bukan tanpa maksud aku tercipta dari tulang rusukmu, tetapi tak lain tak bukan agar kita dapat beriringan bersama, bermitra, tanpa ada yang diremehkan apalagi dilecehkan.
Demi tujuan bersama mencapai kemashlahatan hidup yang lebih sejahtera. Bersuaralah terus wahai para perempuan, hingga para penguasa itu (lelaki) membuka mata dan telinganya.

4 komentar:

  1. alasan pelarangan itu apa Uni ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. entahlah Teh, sejak ribut2 pelarangan jilbab besar dari zaman dulu hingga sekarang, alasannya yang konkrit tidak bisa dikemukakan oleh yang berkeberatan, hanya secara tak langsung mereka bilang ini ada hubungannya dengan profesionalitas kerja. lha memangnya yang jilbab besar kerjanya enggak profesional? ya enggak toh?
      waLlahu'alam, Teh Tini

      Hapus
  2. Bukan hanya dlm lingkungan pekerjaan mbak...dilingkungan bertetangga sj jilbab besar selalu menjdi pemandangan yg dianggap aneh...sy merasakannya sdri...jd memakai jilbab besar spt yg sy pakai ini butuh perjuangan keras...selain meyakinkan kluarga jg masyarakat, bahwa kt bkn sesuatu yg negatif & menakutkan...

    BalasHapus
    Balasan
    1. ketika jilbab sudah mulai membudaya memang masih sangat lucu terlihat ketika para penyuka jilbab besar ini masih mengalami kendala, ya...
      kenapa ya?
      mungkin karena yang berjilbab besar itu kebanyakan mereka konsekwen dengan pilihan busananya, mereka paham bukan ikut2an, itulah yang mungkin yang membuat banyak pihak ketakutan

      Hapus