Sebuah
kejutan di akhir Maret lalu datang dari orang nomor 1 di Jawa Tengah, Gubernur
Bibit Waluyo. Himbauannya tentang pelarangan berjilbab besar di lingkungan
rumah sakit. Barangkali banyak dari kita yang ternganga mendengarnya, tapi juga
ada kemungkinan banyak kita yang malah tidak tahu sama sekali. Kebijakan ini
membuat kita berfikir betapa perempuan makin memiliki nilai jual tinggi di
setiap sudutnya. Bahkan perempuan berjilbab besar yang seringkali dipandang
sebelah mata pun memiliki nilai tersendiri. Ada sesuatu di diri mereka para
perempuan yang seringkali bisa menyibukkan para pengambil kebijakan, yang pada
umumnya kaum lelaki untuk membuat sebuah himbauan atau peraturan bahkan
pelarangan. Faktanya, betapa perempuan masih sangat menarik untuk dibahas,
terlepas dari itu popular atau tidak.
Kasus
pelarangan menggunakan jilbab oleh pejabat publik ini bukanlah yang pertama. Februari
2012 yang lalu, DPRD Surabaya menerima laporan dari beberapa karyawan dan
karyawati di Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Teknik Komputer (Stikom)
yang mengadu atas larangan mengenakan busana muslim (jilbab) di sekitar kampus.
Selain itu, pada tahun yang sama, di Cirebon, sekolah Geeta International
School juga melarang siswinya menggunakan jilbab (muslimdaily/dakwatuna).
Sebenarnya
himbauan ini –yang ada kemungkinan akan digiring menjadi produk hukum- tidak
beda jauh dengan himbauan rekan-rekannya di daerah lainnya, himbauan yang dinilai
kurang popular. Seperti halnya himbauan Walikota Lhok Seumawe, Aceh, Suaidi Yahya
tentang dhuek phang atau yang lebih kita kenal dengan pelarangan duduk
mengangkang di sepeda motor bagi perempuan yang dibonceng. Atau himbaun Bupati
Aceh Barat, tentang celana jeans vs rok. Sedikit mundur lebih jauh, tentang
himbauan pelarangan perempuan keluar di atas pukul 8 malam tanpa muhrim di
Sumatera Barat, tepatnya di kota Padang. Walau untuk 3 himbauan terakhir ini
lebih di dasarkan pada perbaikan moral dan perlindungan harkat dan martabat
perempuan, tetapi tetap saja himbauan-himbauan itu secara implisit menggilas
hak-hak perempuan.
Pertanyaan yang paling
mendasar, adakah perempuan-perempuan yang menjadi objek himbauan diajak urun
rembuk, duduk satu meja untuk menyelesaikan permasalahan terkait mereka? Yang
dikhawatirkan adalah para pengambil kebijakan hanya memanfaatkan perempuan
sebagai objek pemacu kendaraan politik semata, atau sentimen beragama.
Mari kita kembali ke
persoalan jilbab besar di lingkungan rumah sakit. Satu-satunya alasan yang bisa
diterima dalam hal pelarangan ini adalah nilai kinerja dan dedikasi para
pemakai jilbab besar ini akan terganggu gara-gara ukuran jilbabnya. Hanya itu,
tidak ada alasan yang lain yang bisa diterima akal sehat. Karena UUD 1945 dalam
tata kenegaraan kita menjamin setiap manusia bisa menjalankan ibadahnya sesuai
dengan keyakinannya masing-masing. Jika negara dan segenap aparaturnya mengakui
bahwa berjilbab sesuai dengan tuntunan Al Qur-an dan sunnah Rasulullah SAW adalah
bagian dari ibadah, maka menggunakan jilbab adalah kewajiban yang tak
terelakkan dari setiap muslimah. Jika pemerintah dalam hal ini Gubernur Jawa
Tengah melakukan pelarangan atas kewajiban yang dilindungi UUD 1945, berarti
pemerintah daerah melanggar hak dasar seseorang dalam beribadah sesuai dengan
keyakin penganutnya. Andai pemerintah daerah tetap memaksakan kehendak, artinya
pemerintah bisa ditekan untuk membuktikan dengan data-data yang akurat dan
valid, agar himbauannya ini tidak terkesan sebatas air liur semata, atau ada
kepentingan politik yang memboncenginya.
Sebenarnya polemik
masalah jilbab besar ini bukanlah dagelan baru di dunia kerja, khususnya rumah
sakit. Terlalu sering kita mendengar para praktisi kesehatan dan hal-hal yang
terkait dengan dinas kesehatan mengeluhkan tentang jilbab besar ini. Entah apa
masalahnya. Seakan-akan jilbab besar akan mengganggu kinerja para praktisi
tersebut. Informasi dari teman-teman dan saudara saya yang bersekolah di dinas
kesehatan atau bekerja di lingkungan dinas kesehatan mengeluhkan
ketidaknyamanan mereka ketika harus bertahan dengan jilbab besarnya. Pertanyaan
yang perlu kita dengar jawabannya adalah, benarkah perempuan para pemakai
jilbab besar itu tidak profesional dalam bekerja? Kita harus mendapatkan
jawaban ini dari pengambil kebijakan agar kita tahu bagaimana cara
menyikapinya.
Padahal, sebatas bahwa jilbab besar itu tidak berlebih-lebihan, maka keberadaannya tidaklah mengganggu aktifitas penggunanya. Berdasarkan pengalaman saya secara pribadi dan beberapa teman pengguna gaya busana ini, jika pinggiran jilbab masih berada sebatas antara pergelangan tangan hingga siku, itu artinya telah menutupi dada (sesuai syari'at) maka ia tidak akan mengganggu penggunanya dalam bekerja. Bahkan ketika dalam kondisi kepepet, jilbab bisa dengan mudah diikatkan ke belakang leher
Perempuan adalah bagian
nyata dari hidup berkesejahteraan dalam kebersamaan, mereka adalah mitra kerja
yang tak bisa dipandang sebelah mata. Mereka para perempuan bukan hanya
berfungsi sebagai pelengkap hidup. Mereka punya hak atas diri mereka sendiri,
selayaknya laki-laki. Maka alangkah naifnya jika perempuan hanya dijadikan
sebatas objek. Tidak seorangpun bisa memaksakan kehendaknya apalagi
mengintervensi hak-hak perempuan, kecuali hanya Penciptanya.
Menurut Tabrani
Yunis, tubuh seorang perempuan adalah tubuh perempuan, bukan sekedar tempat
beranak dan membesarkan (Potret, 2013). Begitupun muslimah yang nota bene
adalah bagian dari perempuan secara umum. Hak mereka apalagi dalam beribadah
kepada Tuhan-nya tidak bisa diintervensi siapapun, apapun alasannya. Banyak
dari himbauan-himbauan yang terkait perempuan sebenarnya merampas hak
kedaulatan perempuan atas diri mereka. Dengan berbagai dalil dan tinjauan,
kedaulatan perempuan dirampas begitu saja. Berlindung di balik norma, agama,
nilai-nilai sosial dan profesionalitas kerja. Seakan-akan perempuan tak punya
kewenangan atas diri mereka sendiri, mereka adalah objek, bukan subjek atau
mitra sejajar dalam kehidupan menuju kesejahteraan bersama.
Jika kita mau membuka
mata dan telinga lebar-lebar, kita akan mendapatkan informasi yang konkrit, betapa
sebenarnya kehadiran perempuan-perempuan berjilbab lebar di wilayah layanan
publik, telah memberikan suasana nyaman tersendiri bagi para pekerja laki-laki
di wilayah layanan publik itu. Kehadiran mereka membawa suasana religius
tersendiri, yang tak akan didapatkan jika wilayah kerja hanya dipenuhi oleh
perempuan-perempuan yang mengumbar aurat sesuka hatinya. Bahkan juga takkan kita
dapatkan jika wilayah kerja hanya diisi oleh perempuan-perempuan yang memakai
jilbab karena modis dan ingin tampil
lebih agamais saja. Karena, maaf ya, jilbab mini dan imut-imut tidaklah melindungi tubuh
perempuan yang memang dicipatakan Allah SWT dengan penuh nilai keindahan, tidak
akan terlindungi sempurna. Masih akan kita temui nilai-nilai sensualitas yang
nyata pada pemakai jilbab imut ini. Itu berarti mata para lelaki di dunia kerja,
masih akan terganggu pemandangannya. Dan itu menggiring kita kepemahaman yang
lain, betapa sebenarnya kehadiran perempuan-perempuan berjilbab besar ini akan
turut andil menekan angka pelecehan seksual di dunia kerja.
Bukan lagi isu basi bahwa angka pelecehan seksual di
dunia kerja selalu meningkat di setiap tahunnya. Sekarang perempuan makin
berani mengadukan permasalahannya ke hadapan publik. Walau untuk Indonesia
angka ini tidak bisa dikatakan akurat karena masih banyak yang tidak ingin
mempublikasikan pelecehan yang mereka terima, tetapi harus kita akui bahwa
pelecehan itu ada dan nilainya meningkat. Hasil dari penelitian
oleh Reuters dan Ipsos Global Advisory di 22 negara menunjukkan bahwa satu dari
sepuluh pekerja perempuan mengalami pelecehan seksual di dunia kerja, bahkan
pelecehan itu datang dari atasannya. Dan pada penelitian lain di negara-negara
Asia Pasifik ditemukan angka 30-40% bahwa masalah pelecehan itu berasal dari
dunia ketenagakerjaan.
Sebenarnya bagi para perempuan-perempuan muslimah
berjilbab besar itu juga tidak mudah untuk beradaptasi dengan dunia kerja.
Betapa godaan agar tetap konsisten dalam berbusana sangat besar, belum lagi
tekanan untuk tetap profesional bekerja dengan busana yang tidak bisa dikatakan
simpel. Di sini pemahaman mereka yang utuh terhadap makna ibadah dalam
berbusana benar-benar menemui ujiannya. Seperti halnya di rumah sakit. Banyak
aktivitas yang memaksa mereka harus menyingsingkan lengan bajunya, mengikat
jilbabnya, melipat roknya ke atas bahkan menggulung kaki celananya, demi
menunjukkan dedikasi dan profesionalitas kerja. Tetapi demi kaffah dalam
beribadah mereka tetap berusaha mempertahankan busana dengan jilbab besarnya.
Menurunkan kembali gulungan lengan bajunya, membuka lipatan roknya, melepaskan
ikatan jilbabnya, menurunkan gulungan kaki celananya begitu aktivitas
pelayanannya selesai. Maka cukuplah tekanan itu bagi mereka, jangan dihadapkan
lagi dengan peraturan yang memaksa mereka mengganti jilbab besarnya dengan
jilbab minimalis. Maksudnya selagi profesionalitas dan dedikasi mereka tidak
terganggu, siapapun tidak punya hak untuk mengintervensi keputusan mereka dalam
pilihan berbusana.
Ketika
intervensi penguasa telah masuk ke ranah hak azazi, sebatas tidak melanggar al
Qur-an dan sunnah Rasul saw, maka di saat itulah kita para perempuan harus
berani bersuara. Meski mereka mengambil keputusan tanpa bertanya, tetap kita
punya hak untuk menyatakan keberatan kita. Itu adalah hak dasar yang dilindungi
UUD dalam tata kenegaraan.
Jika
kita ingin dianggap ada, maka bersuaralah. Jangan serahkan masalah kita hanya
kepada MUI saja, kita harus turun tangan untuk menyelesaikannya.
Untuk
para perempuan di dunia kerja, polemik ini adalah ujian loncatan keteguhan
untuk menunjukkan eksistensi. Kesempatan untuk menunjukkan bahwa sebagai
perempuan kita tidak bisa dipandang sebelah mata. Kita bukan objek. Kita adalah
subjek nyata dalam perubahan menuju kesejahteraan. Kita adalah mitra sejajar
para lelaki. Allah SWT mengakui hak-hak kita, lalu kenapa kita tidak percaya
diri untuk membela hak-hak itu?
Dan inilah saatnya bagi perempuan-perempuan yang
berada di luar wilayah ‘bermasalah’ ini untuk menunjukkan simpati dan empati,
betapa sebenarnya kita peduli dengan permasalahan saudara kita sesama
perempuan. Sikap masa bodoh yang kita tunjukkan malah akan merangsang para
pengambil keputusan untuk mengintervensi kita para perempuan lebih jauh lagi. Akan
semakin banyak hal-halnya yang sebenarnya tidak urgen -dalam peta perpolitikan-
yang diintervensi, sehingga barangkali akan berakibat dikebirinya hak-hak kita
lebih jauh lagi. Inilah saatnya yang tepat untuk saling bergandengan tangan
menuju kemashlatan hidup yang lebih baik. Bergandengan dalam kebersamaan.
Akhirnya
sampailah kita pada sebuah kesimpulan betapa ternyata sebagai perempuan kita
belum memiliki hak atas diri kita sendiri. Kita masih memiliki nilai jual atas
segala kondisi di percaturan kehidupan. Terlepas dari apapun jenis pilihan
berbusana yang kita pilih, sebatas masih berada dalam norma-norma. Maka, wahai para perempuan, bersuaralah jika engkau
tidak suka, berteriaklah yang lantang. Mari tunjukkan ke dunia bahwa kita ada,
kita nyata dalam kehidupan ini. Kita
bukan bayang-bayang para lelaki.
Katakanlah
pada dunia, Allah SWT mencipatakanku dari tulang rusukmu wahai para lelaki, bukan
untuk kau jadikan objek, bukan pula sebagai sarana untuk mencapai tujuanmu,
bukan pula sekedar pemuas birahimu. Bukan tanpa maksud aku tercipta dari tulang
rusukmu, tetapi tak lain tak bukan agar kita dapat beriringan bersama,
bermitra, tanpa ada yang diremehkan apalagi dilecehkan.
Demi
tujuan bersama mencapai kemashlahatan hidup yang lebih sejahtera. Bersuaralah
terus wahai para perempuan, hingga para penguasa itu (lelaki) membuka mata dan
telinganya.
alasan pelarangan itu apa Uni ?
BalasHapusentahlah Teh, sejak ribut2 pelarangan jilbab besar dari zaman dulu hingga sekarang, alasannya yang konkrit tidak bisa dikemukakan oleh yang berkeberatan, hanya secara tak langsung mereka bilang ini ada hubungannya dengan profesionalitas kerja. lha memangnya yang jilbab besar kerjanya enggak profesional? ya enggak toh?
HapuswaLlahu'alam, Teh Tini
Bukan hanya dlm lingkungan pekerjaan mbak...dilingkungan bertetangga sj jilbab besar selalu menjdi pemandangan yg dianggap aneh...sy merasakannya sdri...jd memakai jilbab besar spt yg sy pakai ini butuh perjuangan keras...selain meyakinkan kluarga jg masyarakat, bahwa kt bkn sesuatu yg negatif & menakutkan...
BalasHapusketika jilbab sudah mulai membudaya memang masih sangat lucu terlihat ketika para penyuka jilbab besar ini masih mengalami kendala, ya...
Hapuskenapa ya?
mungkin karena yang berjilbab besar itu kebanyakan mereka konsekwen dengan pilihan busananya, mereka paham bukan ikut2an, itulah yang mungkin yang membuat banyak pihak ketakutan