Laman

Rabu, 18 September 2013

Syukurilah Apa yang Ada



Saya dulu pernah merasa hampa dengan pernikahan ini. Sehingga saya sering tersenyum geli ketika mendengar betapa orang-orang berharap untuk segera menikah. Lucu sekali, betapa mereka berharap terikat, semantara saya sendiri berharap bisa terbang bebas, begitu dulu pola pikir saya.


Saya menikah karena orang tua ingin saya segera menikah. Kalau boleh jujur, saya belum ingin menikah kala itu. Saya terpesona ketika Bapak sumringah kala lelaki sholeh itu datang. Betapa beliau tidak akan berbahagia, saya belum pernah sekalipun berpacaran. Meski berkali-kali saya menjelaskan, bahwa saya tidak akan pernah berpacaran, tapi beliau berdua tak mengerti juga. 
Menurut orang tua, saya ini ‘mengerikan’ di mata lelaki, buktinya sampai saya 24 tahun,
belum pernah saya sekalipun mengenalkan seorang lelaki sebagai teman spesial. Akhirnya saya menikah demi orang tua saya, dan memang tak ada alasan yang bisa diterima akal sehat untuk menolak lelaki itu. Singkat kata, saya menikah karena tidak ingin Bapak saya kecewa.


Tahun-tahun pertama saya tak menyenangkan, saya sering  gelisah. Saya ingin mengaktualisasikan diri saya ke luar rumah. Sayang sekali ternyata lelaki sholeh itu lebih menyukai istri yang berkhidmat di rumah tangga. Saya kecewa, karena dia melanggar perjanjian. 
Tadinya dalam proses ta’aruf yang dimediasi seorang ustad, lelaki sholeh itu mengatakan bahwa akan ada pembicaraan soal aktifitas di luar rumah. Tapi pada kenyataannya tak pernah ada pembicaraan, yang ada malah rekayasa keadaan. Saya merasa terkurung, terjebak dan terisolasi. 

Barangkali engkau akan berfikir bahwa saya adalah manusia yang tidak pandai bersyukur. Bisa menikah sebelum usia 25 tahun, punya suami yang berpenghasilan tetap, dikaruniai anak-anak yang menyenangkan jiwa, bisa berdiam diri di rumah tanpa harus sibuk mencari nafkah dan keberuntungan-keberuntungan lainnya.
Tapi tahukah engkau, saya dulu bahkan tidak mengharapkan pernikahan ini. Bahkan saya sempat berfikir untuk menikmati hidup sendiri. Saya akui, memang pada titik-titik tertentu pikiran saya cukup sekuler bahkan saya merasa terkadang cukup feminisme. Bagi saya, perempuan harus bisa mandiri, tak harus menggantungkan hidupnya pada lelaki.
Saya cukup tidak bersyukur bukan? Ketika saya tanpa susah-susah mendapatkan pendamping hidup, tanpa harus menuggu lama. Coba lihat, banyak orang harus antri untuk sekadar dikabulkan do’anya oleh Tuhan. Tidak untuk saya, tak sampai setahun setelah tamat kuliah, seorang lelaki sholeh meminta saya untuk menjadi istrinya.
***

Kesulitan hidup di masa kecil, perasaan sering terabaikan, tak pernah merasa jadi penting di rumah, pertengkaran yang dipertontonkan, membuat saya berfikir lain untuk berkeluarga. Cita-cita saya cukup jelas, ingin terlepas dari orang tua secepatnya dan mandiri secara finansial. Bukan menikah. Sayang sekali orang tua saya tak berkenan ketika saya berusaha mencari penghasilan sampingan ketika kuliah. Saya takkan pernah lupa ‘ceramah’ panjang lebar itu ketika saya ketahuan belajar berusaha mandiri finansial. “Tamatkan kuliah segera, jangan main-main.”
Tapi ternyata ALlah ta’ala berkehendak lain atas hidup saya ini. Menurut-Nya menikah adalah hal yang terbaik bagi saya. Sehingga walaupun saya pernah menolak proses ta’aruf dan bahkan ‘menghibahkan’ lelaki sholeh itu untuk teman saya, ternyata lelaki itu jodoh saya.
***

Dulu sebelum menikah, saya sering mendengar petuah-petuah orang tua tentang pernikahan. Kata mereka, berpandai-pandailah dalam berumah tangga, jika kalian pandai berpandai-pandai maka pernikahan itu terasa seperti dalam ayunan di sepanjang perjalanannya. Tetapi jika kalian tak pandai berpandai maka kehidupan berumah tangga terasa seperti menuju tiang gantungan.

Pada kenyataannya saya ini ternyata termasuk manusia yang tak pandai berpandai-pandai pada titik-titik tertentu. Seringkali saya  terlalu apa adanya. Saya sebelumnya adalah perempuan yang mandiri, keras hati, keras kemauan, pemberontak bahkan cenderung keras kepala. Padahal kebanyakan lelaki termasuk lelaki saya di sini menyukai perempuan lembut, manja, penurut dan segala label yang menandai ia perempuan sejati. Dan jodoh saya adalah lelaki terkecil dan anak terakhir di keluarganya.


Alamak...alangkah repotnya. Saya terkurung dan terkungkung. Komunikasi kami kacau, saya ingin keluar rumah, lelaki itu ingin saya di rumah, dengannya, bersamanya dan untuknya saja. Seringkali saya merasakan sesak tak terkira. Saya ribut, saya gelisah dan saya merana. Padahal kurang apa lelaki saya ini, ia baik, ia sholeh, ia anak yang berbakti.

Seringkali saya marah tak terkira karena situasi ini. Saya akan semakin uring-uringan jika saya sempat bertemu dengan teman lama yang sudah bisa ke sana dan ke sini, bisa begini dan begitu. Terkadang lingkungan memanas-manasin saya dengan kata-kata ,”ah anak matematika, sayang-sayang ilmunya cuma diendapain.”
Bagaimana saya tidak marah pada lelaki saya ini. Pengakuannya sebagai anak bungsu yang menderita, keluhan teman-temannya yang memiliki istri bekerja serta sibuk dengan ini dan itu. Tentang anak-anak teman-temannya yang terabaikan dan haus kasih sayang, bahkan ada yang berubah jadi anak nakal, belum lagi kecelakaan di dalam rumah yang merengggut nyawa para bocah yang besar dengan asisten rumah tangga. Dan begitu banyak mimpi-mimpi buruk yang menguasai lelaki-ku ini membuatnya merekayasa hidupku. 
Tak pernah saya bisa meninggalkan rumah bertahun-tahun lamanya. Terjebak dalam rutinitas mengurus rumah tangga. Sementara dia –lelaki-ku itu- tetap bisa berkiprah melanglang buana di ‘dunia’nya.
 
Saya marah, ini perbudakan teriak saya dengan lantang. Ini penjara, ini kurungan. Saya ini mantan aktifis lo, saya punya hak untuk aktualisasi, saya perlu mengembangkan inteklektual, saya perlu berbaur dengan dunia, dan banyak lagi teriakan-teriakan saya lainnya.
Akhirnya lelaki-ku mendengarkan dan mengalah. “Baiklah, lakukan apa yang engkau mau, pergilah kemana engkau suka, katakan apa yang engkau butuhkan,” lelaki-ku mengalah dalam pengertiannya. Perlahan ia memberikan ruang untukku, memberikan udara untuk bernafas, meski masih dalam kerelaan yang tak sempurna. 


Tapi disitulah ketakberdayaan itu bermula. Suara-suara kecil itu selalu mengganggu. Ia menahan ambisi dan langkahku.
     “Ummi jangan pergi, di rumah saja bermain bersama kami.”
     “Ummi, kami ikut, kami dengan siapa di rumah.”
Dan aku benar-benar lunglai karenanya, sempurna, benar-benar sempurna.
Saya bingung tak tahu harus apa. Apa yang ku mau? Hendak kemanakah aku? Apa yang ingin ku lakukan? Untuk apa? Untuk siapa? Saya terdiam dan terpana, tak tahu harus berbuat apa.
Lelaki-ku yang sholeh merengkuhku, mendekapku dalam hangat pelukannya. Meski saya berontak, dia tetap kukuh merengkuhku. Dan saya lunglai di sana, dalam rengkuhannya.

Berulang kali ini terjadi, dan berulang kali pula lelaki-ku sabar menghadapi.
Perlahan seiring berjalannya waktu, saya mulai bisa berkompromi dengan banyak hal. Tentang keinginan, tentang cita-cita, tentang ambisi, tentang lelaki-ku dan tentang   anak-anakku. Saya mulai berfikir apa yang paling penting saat ini. 
Keinginankukah ataukah kebahagiaan hidup kami dalam berumah tangga? 
Tak bisakah aku meraih keinginanku dengan tetap berbahagia bersama buah cinta kami?
 Tak inginkah aku menjadikan anak-anak ini menjadi anak-anak yang berbahagia dengan keluarga yang sempurna?

Perlahan ambisiku mengalah, keinginanku bisa diajak kompromi. Anak-anak membutuhkan ku ntuk mendampingi mereka. Apalagi yang hendak dicari? Semua telah ALlah sediakan untuku. Dia memberi apa yang aku butuhkan. Dan lelaki sholeh itulah yang aku butuhkan, seseorang yang bisa menahanku, menaklukkan, menjagaku, mengarahkanku dan membinaku. Banyak hal yang tak ku pinta diberi-Nya. Aku tertunduk dan tersungkur malu dihadapan-Nya.
Aduhai Tuhan Yang Maha Pengampun, ampunilah aku.
***

Itu dulu kawan, bertahun yang sudah berlalu. Ingin ku kabarkan padamu. Syukurilah apa yang diberi-Nya, sekalipun itu di luar keinginanmu. Karena Dia Yang Maha Tahu kan memberi apa yang engkau butuhkan, bukan yang engkau inginkan, karena Dia tahu yang terbaik buatmu. Sesuatu yang menurut engkau baik dan engkau berharap ALlah mengabulkannya, ternyata belum Dia kabulkan. Janganlah kecewa, berbaik-sangkalah pada-Nya, barangkali itu tak baik untukmu.


Tapi tentu saja kita –aku dan engkau- tetap boleh meminta apa saja pada-Nya. Namun percayalah, apa-apa yang diberi-Nya itulah yang terbaik, selalu saja begitu.

Jika kita sudah menikah, sekalipun kita tidak terlalu menginginkannya maka belajarlah untuk menikmatinya, agar kita bisa menjadi hamba yang bersyukur.
Jika kita belum menikah, sekalipun kita sudah meminta-minta dengan berurai air mata tapi Allah belum mengabulkannya, percayalah ALlah Maha Tahu yang terbaik untuk kita. 
Jangan pernah berhenti berharap, dan isilah masa penantian dengan sesuatu yang berguna.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar