Saya
dulu pernah merasa hampa dengan pernikahan ini. Sehingga saya sering tersenyum
geli ketika mendengar betapa orang-orang berharap untuk segera menikah. Lucu
sekali, betapa mereka berharap terikat, semantara saya sendiri berharap bisa
terbang bebas, begitu dulu pola pikir saya.
Saya
menikah karena orang tua ingin saya segera menikah. Kalau boleh jujur, saya
belum ingin menikah kala itu. Saya terpesona ketika Bapak sumringah kala lelaki
sholeh itu datang. Betapa beliau tidak akan berbahagia, saya belum pernah
sekalipun berpacaran. Meski berkali-kali saya menjelaskan, bahwa saya tidak
akan pernah berpacaran, tapi beliau berdua tak mengerti juga.
Menurut orang tua,
saya ini ‘mengerikan’ di mata lelaki, buktinya sampai saya 24 tahun,
belum pernah saya sekalipun mengenalkan seorang lelaki sebagai teman spesial. Akhirnya saya menikah demi orang tua saya, dan memang tak ada alasan yang bisa diterima akal sehat untuk menolak lelaki itu. Singkat kata, saya menikah karena tidak ingin Bapak saya kecewa.
belum pernah saya sekalipun mengenalkan seorang lelaki sebagai teman spesial. Akhirnya saya menikah demi orang tua saya, dan memang tak ada alasan yang bisa diterima akal sehat untuk menolak lelaki itu. Singkat kata, saya menikah karena tidak ingin Bapak saya kecewa.
Tahun-tahun
pertama saya tak menyenangkan, saya sering
gelisah. Saya ingin mengaktualisasikan diri saya ke luar rumah. Sayang
sekali ternyata lelaki sholeh itu lebih menyukai istri yang berkhidmat di rumah
tangga. Saya kecewa, karena dia melanggar perjanjian.
Tadinya dalam proses
ta’aruf yang dimediasi seorang ustad, lelaki sholeh itu mengatakan bahwa akan
ada pembicaraan soal aktifitas di luar rumah. Tapi pada kenyataannya tak pernah
ada pembicaraan, yang ada malah rekayasa keadaan. Saya merasa terkurung,
terjebak dan terisolasi.
Barangkali
engkau akan berfikir bahwa saya adalah manusia yang tidak pandai bersyukur.
Bisa menikah sebelum usia 25 tahun, punya suami yang berpenghasilan tetap,
dikaruniai anak-anak yang menyenangkan jiwa, bisa berdiam diri di rumah tanpa
harus sibuk mencari nafkah dan keberuntungan-keberuntungan lainnya.
Tapi tahukah engkau, saya dulu bahkan
tidak mengharapkan pernikahan ini. Bahkan saya sempat berfikir untuk menikmati
hidup sendiri. Saya akui, memang pada titik-titik tertentu pikiran saya cukup
sekuler bahkan saya merasa terkadang cukup feminisme. Bagi saya, perempuan
harus bisa mandiri, tak harus menggantungkan hidupnya pada lelaki.
Saya cukup tidak bersyukur bukan? Ketika
saya tanpa susah-susah mendapatkan pendamping hidup, tanpa harus menuggu lama.
Coba lihat, banyak orang harus antri untuk sekadar dikabulkan do’anya oleh
Tuhan. Tidak untuk saya, tak sampai setahun setelah tamat kuliah, seorang
lelaki sholeh meminta saya untuk menjadi istrinya.
***
Kesulitan hidup di masa kecil, perasaan
sering terabaikan, tak pernah merasa jadi penting di rumah, pertengkaran yang
dipertontonkan, membuat saya berfikir lain untuk berkeluarga. Cita-cita saya
cukup jelas, ingin terlepas dari orang tua secepatnya dan mandiri secara
finansial. Bukan menikah. Sayang sekali orang tua saya tak berkenan ketika saya
berusaha mencari penghasilan sampingan ketika kuliah. Saya takkan pernah lupa
‘ceramah’ panjang lebar itu ketika saya ketahuan belajar berusaha mandiri
finansial. “Tamatkan kuliah segera, jangan main-main.”
Tapi ternyata ALlah ta’ala berkehendak
lain atas hidup saya ini. Menurut-Nya menikah adalah hal yang terbaik bagi
saya. Sehingga walaupun saya pernah menolak proses ta’aruf dan bahkan
‘menghibahkan’ lelaki sholeh itu untuk teman saya, ternyata lelaki itu jodoh
saya.
***
Dulu sebelum menikah, saya sering
mendengar petuah-petuah orang tua tentang pernikahan. Kata mereka,
berpandai-pandailah dalam berumah tangga, jika kalian pandai berpandai-pandai
maka pernikahan itu terasa seperti dalam ayunan di sepanjang perjalanannya.
Tetapi jika kalian tak pandai berpandai maka kehidupan berumah tangga terasa
seperti menuju tiang gantungan.
Pada kenyataannya saya ini ternyata
termasuk manusia yang tak pandai berpandai-pandai pada titik-titik tertentu.
Seringkali saya terlalu apa adanya. Saya
sebelumnya adalah perempuan yang mandiri, keras hati, keras kemauan,
pemberontak bahkan cenderung keras kepala. Padahal kebanyakan lelaki termasuk
lelaki saya di sini menyukai perempuan lembut, manja, penurut dan segala label
yang menandai ia perempuan sejati. Dan jodoh saya adalah lelaki terkecil dan
anak terakhir di keluarganya.
Alamak...alangkah repotnya. Saya
terkurung dan terkungkung. Komunikasi kami kacau, saya ingin keluar rumah,
lelaki itu ingin saya di rumah, dengannya, bersamanya dan untuknya saja. Seringkali
saya merasakan sesak tak terkira. Saya ribut, saya gelisah dan saya merana.
Padahal kurang apa lelaki saya ini, ia baik, ia sholeh, ia anak yang berbakti.
Seringkali
saya marah tak terkira karena situasi ini. Saya akan semakin uring-uringan jika
saya sempat bertemu dengan teman lama yang sudah bisa ke sana dan ke sini, bisa
begini dan begitu. Terkadang lingkungan memanas-manasin saya dengan kata-kata
,”ah anak matematika, sayang-sayang ilmunya cuma diendapain.”
Bagaimana
saya tidak marah pada lelaki saya ini. Pengakuannya sebagai anak bungsu yang
menderita, keluhan teman-temannya yang memiliki istri bekerja serta sibuk
dengan ini dan itu. Tentang anak-anak teman-temannya yang terabaikan dan haus
kasih sayang, bahkan ada yang berubah jadi anak nakal, belum lagi kecelakaan di
dalam rumah yang merengggut nyawa para bocah yang besar dengan asisten rumah
tangga. Dan begitu banyak mimpi-mimpi buruk yang menguasai lelaki-ku ini
membuatnya merekayasa hidupku.
Tak pernah saya bisa meninggalkan rumah
bertahun-tahun lamanya. Terjebak dalam rutinitas mengurus rumah tangga.
Sementara dia –lelaki-ku itu- tetap bisa berkiprah melanglang buana di
‘dunia’nya.
Saya
marah, ini perbudakan teriak saya dengan lantang. Ini penjara, ini kurungan. Saya
ini mantan aktifis lo, saya punya hak untuk aktualisasi, saya perlu
mengembangkan inteklektual, saya perlu berbaur dengan dunia, dan banyak lagi
teriakan-teriakan saya lainnya.
Akhirnya lelaki-ku mendengarkan dan
mengalah. “Baiklah, lakukan apa yang engkau mau, pergilah kemana engkau suka,
katakan apa yang engkau butuhkan,” lelaki-ku mengalah dalam pengertiannya. Perlahan
ia memberikan ruang untukku, memberikan udara untuk bernafas, meski masih dalam
kerelaan yang tak sempurna.
Tapi disitulah ketakberdayaan itu
bermula. Suara-suara kecil itu selalu mengganggu. Ia menahan ambisi dan
langkahku.
“Ummi jangan pergi, di rumah saja bermain bersama kami.”
“Ummi, kami ikut, kami dengan siapa di rumah.”
Dan aku benar-benar lunglai karenanya,
sempurna, benar-benar sempurna.
Saya bingung tak tahu harus apa. Apa yang
ku mau? Hendak kemanakah aku? Apa yang ingin ku lakukan? Untuk apa? Untuk
siapa? Saya terdiam dan terpana, tak tahu harus berbuat apa.
Lelaki-ku yang sholeh merengkuhku,
mendekapku dalam hangat pelukannya. Meski saya berontak, dia tetap kukuh
merengkuhku. Dan saya lunglai di sana, dalam rengkuhannya.
Berulang
kali ini terjadi, dan berulang kali pula lelaki-ku sabar menghadapi.
Perlahan seiring berjalannya waktu, saya
mulai bisa berkompromi dengan banyak hal. Tentang keinginan, tentang cita-cita,
tentang ambisi, tentang lelaki-ku dan tentang anak-anakku. Saya mulai berfikir apa yang
paling penting saat ini.
Keinginankukah ataukah kebahagiaan hidup kami dalam
berumah tangga?
Tak bisakah aku meraih keinginanku dengan tetap berbahagia
bersama buah cinta kami?
Tak inginkah aku menjadikan anak-anak ini menjadi
anak-anak yang berbahagia dengan keluarga yang sempurna?
Perlahan
ambisiku mengalah, keinginanku bisa diajak kompromi. Anak-anak membutuhkan ku
ntuk mendampingi mereka. Apalagi yang hendak dicari? Semua telah ALlah sediakan
untuku. Dia memberi apa yang aku butuhkan. Dan lelaki sholeh itulah yang aku
butuhkan, seseorang yang bisa menahanku, menaklukkan, menjagaku, mengarahkanku
dan membinaku. Banyak hal yang tak ku pinta diberi-Nya. Aku tertunduk dan
tersungkur malu dihadapan-Nya.
Aduhai
Tuhan Yang Maha Pengampun, ampunilah aku.
***
Itu dulu kawan, bertahun yang sudah
berlalu. Ingin ku kabarkan padamu. Syukurilah apa yang diberi-Nya, sekalipun
itu di luar keinginanmu. Karena Dia Yang Maha Tahu kan memberi apa yang engkau
butuhkan, bukan yang engkau inginkan, karena Dia tahu yang terbaik buatmu. Sesuatu
yang menurut engkau baik dan engkau berharap ALlah mengabulkannya, ternyata belum
Dia kabulkan. Janganlah kecewa, berbaik-sangkalah pada-Nya, barangkali itu tak
baik untukmu.
Tapi tentu saja kita –aku dan engkau-
tetap boleh meminta apa saja pada-Nya. Namun percayalah, apa-apa yang
diberi-Nya itulah yang terbaik, selalu saja begitu.
Jika kita sudah menikah, sekalipun kita
tidak terlalu menginginkannya maka belajarlah untuk menikmatinya, agar kita
bisa menjadi hamba yang bersyukur.
Jika kita belum menikah, sekalipun kita
sudah meminta-minta dengan berurai air mata tapi Allah belum mengabulkannya,
percayalah ALlah Maha Tahu yang terbaik untuk kita.
Jangan pernah berhenti
berharap, dan isilah masa penantian dengan sesuatu yang berguna.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar