Laman

Selasa, 28 Oktober 2014

Sebuah Pengantar # Ketika Anak Bertanya

Semenjak anak-anak saya bisa berbicara, pertanyaan mereka adalah makanan saya sehari-hari. Mau mereka sakit, mau lagi sehat, selalu ada tanya. Ibarat kata pertanyaan mereka tidak mengenal musim atau cuaca. 
Sejujurnya saya senang jika mereka masih bertanya, bagi saya itu pertanda bahwa kincir-kincir mereka jalan. Bahkan saya memang sengaja merangsang mereka untuk bertanya.

Cara yang saya lakukan untuk merangsang itu adalah dengan mempertajam komunikasi, saya pancing-pancing, saya bacakan buku, saya gantung-gantung bacaannya, saya bikin mereka penasaran, apa saja yang akhirnya mereka akan bertanya apa ini, apa itu, kenapa begini, kenapa begitu. 
Saya ingin anak-anak saya merasakan bahwa saya mendengarkan mereka kapanpun mereka ingin bercerita atau bertanya Saya ingin merasakan kedekatan bathin dengan mereka. Maka bercerita dan merangsang mereka bercerita adalah salah satu pilihan saya.
Untuk hal ini saya cukup terinspirasi dari kisahnya Tracy Hogg sendiri pada bukunya Secret of Baby Wishperer, dengan judul yang sama dalam edisi bahasa Indonesia. Berbicara, bercerita itu bisa mengendalikan kebosanan anak; tegasnya kegiatan ini bisa menjinakkan mereka.
Sungguh lucu mendegar lidah-lidah cadel itu mulai bertanya ini dan itu. Menggemaskan. Bahkan rasa gemas itu membuat saya tidak tega meninggalkan anak-anak saya dengan pengasuh.


Akibatnya anak-anak saya telah bertanya banyak hal. Merekapun mempraktekkannya ke orang-orang yang membuat mereka nyaman. Saya katakan itu karena ternyata anak-anak saya tidak bisa bertanya ke orang-orang jika rasa nyamannya hilang. Jika mereka nyaman, mereka akan ceplas-ceplos bahkan terkadang saya sampai harus menutup mulut mereka karena khawatir orang itu akan tersinggung. 
Bukan apa-apa, saya pernah tersandung masalah dengan orang lain karena mudahnya mereka berkomentar.
Aduh...saya kapok. 
Ok, OoT nih, kita kembali ke topik, next time saya akan bercerita ini, insyaALlah.

Ketika anak saya masih satu, itu mudah bagi saya untuk menjawab tanyanya. Kemudian adiknya lahir dan ia pun mulai pandai bercakap-cakap, saya masih bisa menghendelnya. 
Saya bahkan sudah menerapkan peraturan semenjak anak pertama, jika saya sedang berbicara dan mereka pun ingin berbicara maka mereka harus mengangkat tangannya. Itu artinya mereka memberitahukan bahwa mereka minta waktu untuk berbicara. Dan itu adalah kesepakatan kami. 
Bahkan anak saya yang ketiga ini yang sekarang usianya 5 tahun, ia pun sudah mengangkat tangannya jika kami sedang duduk dalam lingkaran kecil diskusi.
Saya memang menegaskan, jika ingin berbicara, berbicara satu-satu. Ketika yang satu berbicara yang lain harus mendengarkan jika mereka juga ingin didengarkan.
Karena sungguh tidak mudah untuk memasang telinga ketika ada 3 anak yang berebutan berbicara. Belum lagi usia mereka berbeda, bahkan si kecil ini baru saja bersih pembicaraanya. Masih terngiang di telinga saya ucapan cadelnya. 

Berebutan bicara itu berisik, sungguh berisik. Bahkan meski sudah ada peraturan itu tak jarang saya harus menjadi hakim karena tetap saja terjadi keributan ketika yang satu merasa yang lain menguasai pembicaraan, atau yang lain merasa belum puas.
Rebutan berbicara itu sangat kami hindari sekali terutama ketika diskusi, meski tak jarang itu gagal.

Semakin bertambahnya usia anak, seiring berjalannya waktu, kualitas dan kuantitas pertanyaan merekapun  meningkat. Bertanya apa saja, mulai dari hal sepele sampai hal yang membuat emaknya terkaget-kaget.

Saya masih ingat ketika anak sulung saya bertanya, kok bisa sperma itu sampai ke ovum padahal sperma itu milik laki-laki dan ovum itu milik perempuan. Sedangkan laki-laki dan perempuan itu berdiri terpisah. Itu adalah tanyanya ketika saya memergokinya sedang menentir adik-adiknya yang kala itu berusia 8th dan 4th. Saya harus meluruskan materi yang ditentirnya dan akibatnya lahirlah pertanyaan itu. Sementara si sulung sendiri kala itu berusia 11th.

Ada hal-hal yang saya pegang erat ketika menjawab tanya anak. Hal-hal ini saya pungut dari banyak tempat. Mulai dari sirah rasulullah saw, kisah-kisah para shahabat dan orang-orang shaleh, artikel-artikel parenting, buku-buku panduan pendidikan, bahkan buku kerennya Abdullah Nashih 'Ulwan yaitu Tarbiatul Aulad. Dari mana saja. Jelas saya tidak bisa menyebutkannya satu persatu. Bahkan saya ambil dari pengalaman hidup saya sendiri dan pengalaman orang-orang yang saya temui. Tegasnya saya belajar dari alam; alam terkembang jadi guru.

Hal-hal itu adalah :
  1. Selalu jujur, jangan berbohong. Pengalaman mengajarkan saya bahwa dibohongi itu tidak enak. Terlebih lagi setelah kita tahu kebenarannya seperti apa. Hanya saja sebagai orang tua kita perlu arif. Kata pepatah tidak semua alif itu lurus. Jadi perlu strategi. Bahkan untuk jatuhpun kita sebagai orang tua harus bisa jatuh dengan cantik.
  1. Jawab seperlunya. Berikan dosis sesuai kebutuhannya. Tentu saja ini bermaksud agar anak-anak tidak mendapatkan sesuatu yang belum pantas untuk di dapatnya, terutama sekali ini untuk hal-hal yang akan mempengaruhi perkembangan jiwanya, seperti soal sex atau hal-hal rumit yang akan membuat anak pusing tujuh keliling. Intinya ditakar-takarlah pemberian infonya itu. Dirasa-rasa, dikira-kira.
  1. Jangan sok tahu. Artinya orang tua harus berani meminta waktu jika memang tidak tahu. Karena kalau asal jawab alih-alih akan memberikan informasi yang benar malah justru menyesatkan anak. Tak jarang baik orang tua dan anak tersesat bersama-sama sehingga inti dari pertanyaannya terlepas.
  1. Beri jeda meski sebentar. Tenanglah, tarik nafas kalau perlu tambahi dengan senyuman manis. Terkadang karena merasa pertanyaan anak mudah, orang tua terburu-buru untuk menjawab sehingga tidak ingin untuk menyelidiki latar belakang pertanyaan itu. Akibatnya orang tua bisa saja terjebak oleh ketergesaannya. Padahal sebenarnya anak cuma ingin tahu hal sederhana saja. Seperti contoh yang sudah banyak dinukilkan, ketika seorang anak bertanya apa itu sex. Orang tua bersemangat ingin memberi tahu, sehingga tak ada waktu untuk menyelidiki sesungguhnya apa yang ingin diketahui anak tentang sex itu dan sejauh apa pengetahuannya tentang sex itu. Setelah berpanjang-panjang berurai-urai, ketika anak sudah pening, ternyata yang ingin diketahui anak hanyalah apa maksud dari kata sex sehingga ia tahu apa yang harus diisinya pada biodata yang tertulis dalam pelajaran bahasa Inggrisnya. Sementara orang tua sudah bercerita tentang si anak hebat yang terlahir sebagai juara dalam pertarungan jutaan sel sperma yang ingin membuahi satu sel telur.
  1. Fokus pada anak dan pertanyaannya. Berkomunikasi yang baik itu adalah komunikasi 2 arah. Saling mendengarkan. Saya, ketika sedang berbicara dengan orang lain bahkan meski itu lewat telpon, saya akan memberi tanda kepada anak untuk menunggu sebentar. Jika pertanyaannya sungguh mendesak, saya akan meminta waktu kepada lawan bicara saya untuk menyerahkan waktu itu kepada anak saya, dan itu saya batasi. Karena saya tahu anak saya, 1 pertanyaan jika mereka tidak puas dengan jawabannya atau masih penasaran maka kemungkinan akan ada ranting-ranting pertanyaan yang bermunculan. Dengan begitu anak juga sedang belajar untuk menunggu dan menghargai waktu orang lain, mereka sedang belajar menahan diri dan memahami.
  1. Tegas pada batasnya. Ini tidak bermaksud membatasi waktu anak untuk berbicara atau bertanya, tetapi sikap tegas memang perlu karena anak-anak perlu belajar betapa pentingnya fokus pada masalah. Artinya jika memang masalah sudah selesai akhirilah itu dengan tegas. Katakan, "Pertanyaanya sudah dijawab ya. Ayo silahkan kalau masih ada pertanyaan yang lain." Sehingga anak akan tahu secara perlahan, oh masalah ini sudah selesai, ini saatnya masalah yang lain. Sikap tegas ini juga diperlukan jika pertanyaan anak mulai menyerempet-nyerempet. Jangan lupa, kebanyakan anak-anak itu adalah manusia yang paling penasaran sedunia.
                                                                                                    ===>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar