Laman

Minggu, 07 April 2013

Bertanggung jawab = Berjuang Mempertahankan Pernikahan

Bagaimana kondisi pernikahanmu sekarang, kawan? Apa semuanya baik-baik saja? Adakah ombak gelombang yang menggoyang perahumu? Seberapa kuatkah itu? Ataukah itu hanya goyangan riak-riak kecil di perjalanan.

Pernahkah engkau merasa lelah dan berfikir untuk pensiun dini?
Sebelum engkau mengambil keputusan, coba simak kisah dari seorang temanku ini.
***
Orang bijak bilang, mengambil keputusan itu memang tidak mudah tetapi mempertahankannya (ternyata) jauh lebih tidak mudah.
     Dalam suatu perjalanan pada persinggahan di suatu tempat, saya pernah menemukan seorang wanita "hebat". Saya katakan hebat, karena jika saya yang mengalaminya belum tentu saya akan kuat bertahan. Sebut saja namanya si Ukhti. Si Ukhti ini ternyata menikah dengan "adek", hehehe ini istilah untuk pasangan yang lebih muda. Istilah anak sekarang bronies...si brondong manis,kita sebut saja dia si Lelaki.
Ketika menikah kondisi si Ukhti sudah mapan, alias sudah bisa menghidupi dirinya sendiri, Beliau dosen di salah satu PTS.
Dan si Lelaki adalah mahasiswanya sendiri. Namun ternyata pernikahan si Lelaki dengan si Ukhti ini tidak direstui keluarga laki-laki, ceritanya agak rumit. Intinya si Lelaki ini jika ingin berkunjung ke rumah istrinya harus diam-diam, dan begitu si Lelaki datang, rumah harus dalam kondisi remang-remang jika tidak bisa dikatakan gelap, karena ada saja mata-mata yang memberi tahu kakak si Lelaki yang seorang pengacara, yang selalu meneror si Ukhti.
    
     Pernikahan itu melahirkan seorang bayi laki-laki. Karena saking kuatnya tekanan yang mereka alami, keluarga kecil ini memutuskan untuk berpisah sementara. Si Ukhti ini di minta kakaknya untuk datang ke kotanya di lain provinsi, dengan kesepatan, begitu si Lelaki menyelesaikan pendidikannya dia akan menyusul si Ukhti. Dan kakak si Ukhti sudah menyiapkan pekerjaan untuknya, untuk si Lelaki-adik iparnya. 
Si Ukhti ini meninggalkan kotanya ketika bayi mereka berumur 3bulan.
5 bulan kemudian gelombang tsunami meluluh lantakkan kampung mereka. Si Ukhti sungguh cemas akan nasib suaminya dan keluarga besarnya. Benar saja, walaupun semuanya selamat tetapi rumah mereka-tepatnya kampung mereka hilang dari peta. Si Ukhti ini mau meninggalkan suami dan keluarganya karena si Lelaki sudah di tahun akhir perkuliahan, perhitungannya hanya beberapa bulan lagi. Namun tunggu punya tunggu bertahun sudah si Lelaki tak kunjung muncul, dan tanpa nafkah sedikitpun. Si Ukhti berjuang keras untuk bertahan hidup, tidak mau merepotkan kakak dan kakak iparnya, ia memilih tinggal terpisah. Belum lagi menghadapi tekanan keluarga yang memaksa untuk bercerai saja.

     Ketika bayi mereka berumur 2,5 tahun, si Lelaki menelpon meminta ma'af karena sudah menzholimi si Ukhti, hanya ma'af bukan nafkah. Tapi bagi si Ukhti itu sudah lebih dari cukup, subhanaLlah. Bagaimana tidak, ternyata menurut si Ukhti tidak mudah bagi si Lelaki untuk minta ma'af, karena si Lelaki memiliki ego yang cukup tinggi. 
Ternyata hiburan ini tidak lama, selang beberapa hari kemudian datang telpon seorang perempuan memperkenalkan diri sebagai istri baru si Lelaki. Si Ukhti terpuruk, benar-benar sedih. Kami sebagai keluarga di little circlenya juga ikut gundah. Tidak sedikit dari kami mengecam dan menganggap si Lelaki sebagai CHIKEN. Saking terharunya banyak dari kami yang memintanya untuk berpisah saja, dan bersiap membuka lembaran baru, begitupun dengan kakak si Ukhti. Beliau memberi opsi, berpisah dan nafkah dirinya dan anaknya ditanggung si kakak atau tetap memilih si Lelaki dan si kakak tidak akan mau tahu lagi. 
      
     Jujur saja, saya pribadi jatuh kasihan, sampai-sampai saya bilang sama suami...andai punya suami kaya raya, tentu saya bersedia dita'addud dengannya hehehe.
Tahukah engkau, si Ukhti memilih opsi kedua, yaitu memilih si Lelaki, karena dia yakin dengan laki-laki pilihan ALlah untuknya. Dia merasa ada yang aneh/tidak normal dalam sikap si Lelaki. Benar saja, ALlah mendengar do'anya. Tak lama kemudian si perempuan yang mengaku sebagai istri baru menelpon lagi dan meminta ma'af. Ternyata si perempuan dipaksa oleh kakak si Lelaki, agar si Ukhti meminta cerai karena ternyata si Lelaki tidak mau menceraikan istrinya.
Seperti mendapat kekuatan penuh, si Ukhti bertekad dan menjemput suaminya, tanpa uang sepeserpun. Rezki ALlah swt turun lewat kebaikan saudara di little circlenya, meski tidak banyak, namun cukup untuk ongkos pergi.

     Singkat cerita, si Ukhti akhirnya berhasil membawa kabur si Lelaki dari tawanan kakaknya. Ternyata si Lelaki tidak pernah bisa menyelesaikan kuliahnya. Teror si kakak sangat keras.
Tahukah engkau apa jawaban si Ukhti ketika saya heran bertanya, kenapa??? jawabnya:  "SAYA MEMILIH LELAKI INI DALAM KONDISI SADAR, SEBERAT APAPUN SAYA AKAN MENCOBA BERTAHAN HINGGA ALlah swt MEMUTUSKAN LAIN, KARENA SAYA TELAH MENGAMBIL KEPUTUSAN MAKANYA SAYA HARUS BERANI BERTANGGUNG JAWAB."
***
     Begitulah saudaraku, padahal kehidupannya tidak mudah, dipandang dari sudut mana saja. Tapi dia tetap bertahan, karena dia telah memilih KARENA ALlah SWT. Dan ia yakin. Baginya itu yang terbaik dari ALlah ta'ala.
Mungkin ada diantara kita yang berfikir, betapa bodohnya si Ukhti ini, mau-maunya dibawa hidup dalam kesengsaraan.
Tapi kawan, hidup ini memang pilihan. Apapun yang kita pilih pasti akan mengandung resiko.

     Yang ingin ku kabarkan padamu adalah, pilihlah sesuatu dalam kondisi sadar, pastikan itu ikhlas karena ALlah swt. Jika dalam perjalananmu kelak terjadi benturan, terjadi paceklik dan apa sajalah namanya maka berusahalah untuk bertahan dan bersabar. Karena kita tak pernah tahu rahasia yang tersimpan untuk kita dari-Nya.
Tetapi kawan, andai setelah engkau mencoba untuk bertahan dan sabar kemudian engkau merasa berhak untuk 'mengambil' keputusan, maka ambillah keputusan dengan pikiran yang tenang. Bukan karena dendam dan benci, bukan pula karena amarah. Ingatlah, sekalipun ALlah ta'ala tidak suka dengan 'keinginan'mu itu, tapi ada izin dari-Nya. Maka ambillah itu jika menurutmu itu memang yang terbaik, mintalah petunjuk-Nya, mudah-mudahan itu memang yang terbaik.

WaLlahu'alam,
Semoga bermanfa'at.

Remake Catatan FB-ku pada 9 April 2012 pukul 8:56




*terimakasihsudahmampir,silahkantinggalkanjejakjikaberkenan*

7 komentar:

  1. Semua pilihan yang sudah kita ambil memang harus kita sandarkan pada Allah ya Mbak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. benar Mbak Elis, kalau bukan bersandar pada ALlah, kepada siapa lagikah yang pantas? Adakah yang bisa menyaingi ALlah? :)

      Hapus
  2. menginspirasi sekali mbak.. apalagi kalau kita lihat betapa banyak kasus kawin cerai di televisi dengan alasan tidak cocok.. tentu saja tidak akan ada manusia yang benar-benar cocok.. karena memang kita diciptakan untuk saling melengkapi.. ibu saya adalah salah satu inspirasi saya, bapak saya adalah tipe laki-laki yang tidak bisa dengan satu wanita,meski akhirnya bapak selalu pulang pada ibu.. dan ibu selalu membuka tangannya meski seringkali bapak melakukan kesalahan yang sama.. saking luasnya sabar ibu saya ketika ibu saya jatuh sakit dan tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai istri dengan baik, ibu meminta agar bapak menikah lagi dengan wanita yang hampir menghancurkan rumah tangga mereka agar bapak tidak terjatuh dalam zina.. :) semoga surga untuk wanita-wanita hebat seperti Ukhti dan ibu

    BalasHapus
    Balasan
    1. setuju Mbak Marita, takkan ada manusia yang benar2 cocok, di situlah seninya hidup ya, hidup yang 'memilih', kata Anis Matta "berbasa-basi dalam hubungan lebih baik ketimbang cerai beneran", demi anak2, tentu saja selagi itu masih berada dalam koridor toleransi seseorang (sesuai aturan agama),
      semoga ibunya Mbak Marita sudah dinanti oleh surga-Nya, si ukhti dan untuk ibu2 hebat, aamiin

      Hapus
  3. setuju dengan pernyataan, berani mengambil keputusan berarti berani bertanggung jawab :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. positive thinking ya Miss Rochma, jika perahu kita diguncang badai, pertanda ALlah sedang mempersiapkan kita untuk menjadi orang yang bertanggung jawab atas keputusan yang kita ambil :)

      Hapus