Laman

Jumat, 28 November 2014

Kisah-Kisah yang Mengubah # Ketika Anak Bertanya

Alm. bapak saya dulu selalu bercerita bahwa semasa kecil saya adalah anak yang pendiam. Beliau bilang saya selalu suka mengamati orang. Namun seiring berjalannya waktu menurut beliau saya berubah menjadi anak yang ramai.
Sayapun menyadari bahwa saya lebih menyukai dunia yang sunyi ketimbang dunia yang hiruk pikuk. Meski saya suka berteman, namun berdiam di kamar adalah hal yang sangat saya rindukan. Bahkan hingga detik ini.
Di awal tahun ini saya bertemu seorang teman lama, ia teman SMA saya. Setelah nyaris 20 tahun tidak bersua, "ya ampun, Nie kok berubah jadi cerewet sekarang," begitu komentarnya.
Apa memang begitu? Tentu engkau yang pernah bersua dengan aku lah yang bisa memberi pendapat.

Beberapa hal membuat saya berubah. Dalam hal bercerita dengan anak-anak saya, inilah salah satu kisah yang mempengaruhi saya.
Kisah ini saya ambil dari buku Secret of the Baby Whishperer, karya Tracy Hogg dan Melinda Blau pada bagian Pendahuluannya, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, tahun 2002.
***
Sebenarnya, bercerita adalah tradisi penting di keluarga saya, bukan saja bagi Nan (nenek saya), tetapi juga untuk saudara perempuannya, ibu mereka (nenek buyut saya), dan ibu saya sendiri. Setiap kali mereka ingin menunjukkan atau mengajarkan sesuatu kepada kami, akan ada selalu cerita yang mengantarkannya. Mereka mewariskan bakat itu pada saya,...

Semasa kecil, saya adalah anak yang terus bergerak, senang melompat-lompat, tomboi, dan sangat tidak sabaran, tetapi nenek selalu bisa menyalurkan energi saya dengan permainan atau cerita. Misalnya ketika kami sedang antre di bioskop, dan seperti anak kecil pada umumnya, saya akan merengek dan menarik-narik lengan bajunya. "Lama betul sih, Nek? Aku sudah tidak sabar."

Nenek saya yang lain, yang saya panggil Granny - ia sudah meninggal - akan memarahi saya bila saya rewel seperti itu. Nenek dari ayah saya ini benar-benar model nenek-nenek zaman Victoria sejati. Ia menganut paham bahwa anak-anak hanya untuk dilihat dan tidak untuk didengarkan. Di zamannya, ia ditangani dengan tangan besi. 
Tetapi ibu dari ibu saya tidak pernah bersikap keras. Kalau menghadapi saya yang sedang rewel, ia hanya memandang dan mata yang berkilauan dan berkata, "Coba apa yang kamu dapat kalau berkeluh kesah seperti itu, lagi pula hanya membuat kamu tambah kesal." Dan bersamaan dengan itu, pandangannya ia alihkan ke arah tertentu. "Kamu lihat ibu dan bayinya di sana itu?" katanya sambil menunjuk dengan dagunya. "Menurutmu kemana mereka akan pergi hari ini?"
"Mereka pergi ke Perancis," jawab saya dengan segera.
"Kira-kira mereka akan naik apa ke sana?"
"Naik pesawat jet jumbo." Saya pasti pernah mendengar istilah ini entah dimana.
"Dimana mereka akan duduk?" Nenek akan terus melanjutkan pembicaraan dan sebelum saya menyadarinya, permainan kecil kami bukan saja sudah mengalihkan perhatian saya dari kebosanan menunggu, tetapi kami juga telah merangkai sebuah cerita tentang perempuan tadi.
Nan selalu menantang imajinasi saya.
Ia melihat sebuah gaun pengantin di etalase sebuah toko dan bertanya, "Menurutmu berapa orang yang terlibat hingga gaun itu terpajang di sana?"
Jika saya menjawab, "Dua," ia akan terus bertanya untuk mendapat perincian dari saya : Bagaimana mereka membawa gaun itu ke toko? Dimana gaun itu dibuat? Siapa yang menjahit butiran mutiaranya? Dan seterusnya sampai saya akan tiba di India, menggambarkan petani yang menanam biji yang akhirnya berubah menjadi benang yang digunakan gaun tadi.
***
Buku ini saya beli ketika saya hamil untuk yang kedua kalinya. Dan baru saya tuntaskan membacanya setelah anak pertama saya lahir dari kehamilan ketiga yang saya alami.

Sebenarnya kisah itu tidak serta merta membuat saya jadi suka bercerita. Sebenarnya meski pada titik-titik tertentu orang tua saya tak ubahnya seperti orang tua di zaman Victoria seperti yang digambarkan Tracy di atas, namun pada titik-titik yang lain mereka berdua adalah orang tua yang menyenangkan.
Ibu saya dalam masa damainya adalah ibu yang komunikatif. Beliau suka bercerita, suka bernyanyi, suka bertanbo (bercerita sejarah -bhs Minang). Beliau memperkaya perbendaharaan saya.
Bapak saya juga begitu. Pada masa-masa damainya, beliau adalah ayah yang komunikatif. Beliau bercerita banyak hal. Bahkan saya masih ingat betul, kisah-kisah para rasul saya dapatkan dari beliau pada kali pertama saya peroleh itu. Beliau adalah penghulu adat di kampungnya, maka seringkali rumah kami kedatangan para kemenakan beliau yang ingin berguru adat. Bahkan orang tua - orang tua di kampung kami sering datang ke rumah untuk menimba ilmu dan mendengarkan beliau bercerita. Ditambah lagi beliau suka mendengarkan kaset dendang dan saluang yang banyak berisi petatah dan petitih. Sedangkan saya - si Ninie kecil- sedang disuruh mencabuti uban di kepala beliau.
Jadi sebenarnya dimasa kecil, mendengarkan cerita adalah kebiasaan saya. 

Ternyata perlahan, apa-apa yang saya dengar itu ingin saya bagikan dengan banyak orang. Hanya saja karena saya orang yang sangat bergantung pada rasa nyaman, jadi tak bisa serta merta begitu saja saya bercerita dengan orang lain. Saya ini orangnya sedikit traumatis dan sedikit penggugup.
Karena pada masa-masa tidak damainya orang tua saya - yang saya maksud tidak damai di sini jika mereka sedang sibuk banyak pekerjaan dan banyak masalah - rumah mestilah harus dalam kondisi hening. Itu berpengaruh sangat besar pada prilaku saya. 
Sehingga sangat wajar ada orang yang mengatakan saya itu orangnya ramai, suka bicara dan familiar, itu bisa jadi ketika mereka menemukan saya dalam kondisi nyaman dan percaya diri yang tinggi.
Dan juga sangat wajar ketika ada yang mengatakan saya ini pendiam, to the point, dan dingin, itu bisa jadi ketika mereka menemukan saya dalam kondisi tertekan, rendah diri, sedang tidak mau diganggu dan tidak nyaman.

Begitulah.
Namun kisah-kisah  si Tracy dalam bukunya sungguh banyak mengubah saya. Ketika bayi saya lahir, saya suka mengajak mereka bercakap-cakap, terlebih lagi karena saya memang harus mengurusinya sendiri dan kami (saya dan bayi) seringkali hanya berdua saja. Ketika saya bosan hanya bercakap-cakap dengan bayi yang tengkurap saja belum bisa, maka saya akan bersenandung. Saya baru diam ketika bayi saya akan berangkat tidur dan ketika ia tidur dan ketika malam hari (jam istirahat penuh bayi). Ketika mengganti popok, ketika mengganti baju, ketika mandi, ketika dalam apa saja adalah masa-masa untuk bercerita.

Sekarang ketika ketiga anak saya berlomba-lomba untuk bertanya ini dan itu, bahkan sampai saya kewalahan dan mengangkat tangan, meski terkadang saya menjadi kesal karena mereka bertiga benar-benar menyita waktu saya, saya tetap ingin mereka bertanya ini dan itu.
Bahkan jika mereka tidak bertanya saya akan memancing mereka untuk bertanya. 

Saya suka meniru gaya Si Nan menghadapi Tracy kecil yang bosan menunggu antrean bioskop. Meski sering tak sempurna namun saya tetap ingin selalu mencoba, setidak-tidaknya selagi anak-anak masih menganggap saya adalah tempat yang layak untuk bertanya banyak hal. Bahkan jikapun kelak ketika mereka mulai menemukan teman yang banyak dan kesibukan yang lebih, saya berharap saya masih bisa memancing mereka untuk bercerita banyak hal.

====>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar