Tak
sedikitpun saya menyangka, akan ada sisi positif dari kematian yang menyakitkan
itu. Karena berhari-hari hingga berminggu-minggu bahkan bertahun kemudian luka
itu masih menganga. Meski berduka dalam diam, tapi saya tahu, tak sepenuhnya
kami bisa menerimanya. Selalu saja ada nada-nada tak puas, selalu saja.
21 tahun yang lalu, Jum’at siang
menjelang waktu jum’atan.
Suasana di rumah benar-benar mencekam. Seakan-akan
ada alarm, bersiap-siaplah, akan ada kematian menghampiri.
Sebenarnya hawa tak menyenangkan itu
sudah terasa dari semenjak pagi, ketika kami semua yang masih duduk di bangku
sekolah tiba-tiba mendengar raungan Bapak. Itulah kali pertama saya tidak
menyukai kaum lelaki menangis. Usut punya usut ternyata kakak sulung kami sudah
tidak bisa lagi menelan nasi, bahkan meneguk air walau cuma seteguk. Kami semua
tercenung, saling berpandangan dalam diam.
“Sudah...sudah, ayo semuanya berangkat
sekolah”, Bapak memberi instruksi. “Sepulang sekolah langsung pulang ya, jangan
mampir sana sini”. Bapak menambahkan instruksinya.
Semua kami berhamburan. Saya
menyempatkan menjenguk kakak ke kamarnya. Mata kami berpandangan dalam diam,
dan kami berdua sama-sama menangis. Saya sedih, mulai membayangkan yang
tidak-tidak. Bagaimana jika nanti di sekolah saya mendapat kabar buruk?
Saya dan kakak sulung sangat mirip dalam
banyak hal. Kami sering berbeda pendapat. Si Sulung adalah perempuan
serba bisa, cenderung mendekati sempurna. Dan kesempurnaan ini mendorongnya
untuk ikut campur menentukan apa yang layak dan tidak layak untuk kami
adik-adiknya. Bahkan saya pernah menyumpahinya, karena saking jengkelnya terhadap
otoritas yang dilimpahkan orang tua untuknya. Itulah pertama kalinya saya
menyesal atas setiap petengkaran kami.
Sekarang, gadis 26 tahun itu terduduk
lemah dalam diam. Wajah tirus tinggal kulit pembalut tulang, pucat pasi, bibir
dan kulit kering. Itulah ia si Kakak Sulung. Berubah drastis secara fisik hanya
dalam hitungan bulan.
Sesuai instruksi Bapak, kami semua
pulang sangat tepat waktu. Bahkan saya sudah di rumah sebelum Bapak pergi
jum’atan, padahal sekolah saya paling jauh. Saya khawatir dengan kondisi kakak yang
saya tinggalkan sebelum ke sekolah.
Dan
memang terjadi sesuatu yang hebat selama kami di sekolah. Kakak sulung yang
tadinya masih bisa duduk dan jalan walau dengan pelan, sekarang hanya bisa
berbaring dengan pandangan mata kosong. Satu-satunya yang bisa dilakukannya
adalah menggapai-gapaikan tangannya, seperti mencari seseorang.
Bapak pamit sebentar mau jum’atan dan
berpesan untuk segera mengabari Beliau jika terjadi sesuatu. Saya tahu Bapak
pergi dalam sedih, si Sulung berarti banyak hal bagi Bapak.
Tiba-tiba Kakak Sulung menangis-nangis
minta ketemu Bapak. Padahal itu baru 15 menit semenjak Bapak pergi. Dia
bertingkah seperti anak kecil, hanya ingin didengar maunya tapi tidak mau
mendengar orang lain. Ketika kondisinya makin menceracau parah, kakak lelakiku
yang disuruh Bapak untuk jaga-jaga berinisiatif menjemput Bapak ke mesjid yang
jaraknya lumayan jauh.
Dan berakhirlah kisah sakit merana itu
di rumah sakit.
Tak sampai satu hari di rumah sakit, tengah malamnya Kakak
Sulung menghembuskan nafas terakhir, dalam tubuh kurus kering, wajah pucat, pipi
cekung, dan saluran infus yang tidak bisa masuk ke tubuhnya. Mati muda. Pergi
meninggalkan luka untuk kami, yang entah kapan akan sembuh. Kami semua tanpa
kecuali, menangis dalam diam. Sesuatu menyesakkan dada. Kakak pergi setelah
hanya sakit dalam hitungan bulan, sakit yang tak diketahui namanya. Terasa tiba-tiba
saja, karena dokter tak pernah bisa mengatakan apa sakitnya. Memang sempat 2
kali dirawat sebelumnya di rumah sakit karena kritis, tapi kondisinya tak
pernah membaik. Malah semakin hari semakin parah saja.
Dengarlah
bisik-bisik tetangga dan kerabat, “kematian yang tak wajar, kena santet,”
begitu mereka berbisik-bisik dengan suara yang tidak dipelankan. “Tapi tak apa,
mungkin itu akan menghapus dosa-dosanya,” mereka menambahkan tanpa ragu, seakan
tak peduli saya yang masih 16-an tahun duduk diantara mereka. Entah apa maksud
mereka berbicara seperti itu.
Saya
mulai sangsi, benarkah Kakak kena santet? Kalau diperhatikan sakitnya Kakak
memang aneh. Dari sehat segar bugar tiba-tiba layu tanpa sebab. Setiap hari
kemampuannya menelan nasi berkurang perlahan, satu sendok makan berkurang
setiap harinya. Airpun begitu, perlahan-lahan lambungnya memberi isyarat kalau
kemampuan daya tampungnya menyusut. Kemudian selalu mimpi buruk, didatangi
kingkong besar hitam berwajah buruk dengan warna mata merah menyala. Mimpi
buruk yang tak kenal waktu, baik tidur siang atau tidur malam.
“Ini
seperti mengikat labu kuning di atas perapian, Buk”, kata seseorang kepada Mak
saya. “Labu diikat diketinggian pagu, dibawahnya dinyalakan lampu sumbu dengan
api kecil”, sumber berita itu menambahkan. “Perlahan labu akan kering dan
menyusut, begitu sistem kerjanya. Putus labu dari tangkainya berarti putus
nyawa.” Orang itu bicara dengan Mak yang ditemani saya. Kami duduk bertiga,
orang itu serius sekali. “Saya tahu begini, Buk”, orang itu menambahkan,
“karena saya ini mantan preman dunia hitam, bahkan saya bisa menunjukkan ke
Ibuk siapa yang punya kerjaan, siapa yang jadi perantara, bahkan saya tahu
kemana harus mengobatinya, dukun mana yang ampuh.” Orang itu mengurai panjang
lebar. Mak terdiam.
Meski
dengan ilmu agama yang minim, saya ingatkan Mak untuk tidak terlibat dunia
hitam. Kita berobat saja dengan cara yang benar, orang lain boleh saja merancangkan
kematian untuk kita, tapi kapan rezki kita di dunia akan habis, ALlah ta’ala
lah yang menentukan, begitu nasehat sok dewasa saya pada Mak kala itu.
Perlahan
saya mulai memperlajari banyak hal. Saya mulai ikut kajian keislaman rutin
seminggu sekali, meski hijab belum menutupi aurat saya. Di kajian itulah saya
tahu bahwa apapun yang terjadi selalu baik buat seorang muslim. Jika ia
mendapat musibah maka seorang muslim akan bersabar, jika ia peroleh nikmat
niscaya ia akan bersyukur.
Kakak
saya sudah pergi meninggalkan luka. Mak dan Bapak menangis dalam diam, dan saya
tahu Beliau berdua masih terluka bahkan ketika hitungan tahun kematian Kakak
mendekati angka 20 tahun. Bahkan di tahun ke-19 kematiannya, beberapa saat
sebelum Bapak menyusulnya, Bapak masih diam dalam luka.
Saya
tak menyangka, kematian tragis itu membawa pencerahan tersendiri untuk saya.
Sesuatu perubahan besar terjadi dalam hidup saya ini. Setelah 3 bulan kepergian
Kakak, saya mantap untuk menutupkan hijab ke aurat saya, hijab sempurna.
Analisis
saya sederhana saja. Si Kakak berpulang dalam sakit yang dideritanya. Kabarnya
jika seseorang sakit, lalu ia berusaha untuk sembuh dan bersabar dalam
prosesnya maka ketika takdir kematian tak bisa dielakkannya maka ampunan ALlah
ta’ala untuknya, dosa-dosanya berguguran. Apalagi jika ia berpulang akibat
disantet atau diguna-guna. Kakak sulung saya mengalami kejadian itu. Tentu saya
berharap ALlah ta’ala mengampuni dosa-dosanya. Lha, bagaimana nanti dengan
saya? Bagaimana kelak jika saya kembali ke ALlah Sang Pemilik Jiwa dalam
keadaan segar bugar, dosa-dosa saya tak sempat berguguran, saya tak sempat
minta ampun. Akan kemanakah saya pada akhirnya kelak? Akankah saya dalam
keridhoan-Nya ataukah dalam kemurkaan-Nya?
Alhamdulillah,
setelah lebih dari 20 tahun kepergian Kakak, saya masih setia dengan pakaian
ini. Menutupi semua aurat, apa-apa yang tak boleh terlihat oleh orang-orang
yang bukan muhrim, saya usahakan tertutup sempurna, semampu dan semaksimal yang
saya bisa.
Memang,
sebagai manusia biasa terkadang saya masih tidak puas dengan kematian tragis
itu. Apalagi ketika angin menghembuskan berita, ada keluarga dekat yang
berpartisipasi, ada kerabat yang terlibat. Tapi saya tetap harus berfikir lurus
ke depan. Kakak saya sudah sampai pada takdirnya, sementara saya masih sibuk
merancang takdir saya, entah kapan pula hidup ini akan berakhir. Kakak saya
sudah menutup bukunya, sementara saya tidak tahu berapa lembar lagi sisa kertas
kosong di buku saya. Dendam dan sakit hati tidak akan menghasilkan apa-apa.
ALlah itu tidak tidur, Dia tidak pelupa, Dia Maha Adil, maka serahkanlah semua
pembalasan itu pada-Nya. Tentukan yang terbaik untuk dunia dan akhirat kita,
janganlah hidup dalam dendam. Itulah yang membuat saya tetap bersemangat untuk
bersilaturrahim dengan mereka yang kena isu terlibat kematian kakak sulung
saya.
Meratap
takkan menghasilkan apa-apa, kecuali hanya mengurangkan rasa terima kasih
kepada ALlah ta’ala atas semua pemberian-Nya. Semakin kita meratap akan semakin
berkurang rasa terima kasih itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar