Laman

Rabu, 18 September 2013

Kematian Itu Membawa Hidayah



Tak sedikitpun saya menyangka, akan ada sisi positif dari kematian yang menyakitkan itu. Karena berhari-hari hingga berminggu-minggu bahkan bertahun kemudian luka itu masih menganga. Meski berduka dalam diam, tapi saya tahu, tak sepenuhnya kami bisa menerimanya. Selalu saja ada nada-nada tak puas, selalu saja.


21 tahun yang lalu, Jum’at siang menjelang waktu jum’atan.
Suasana di rumah benar-benar mencekam. Seakan-akan ada alarm, bersiap-siaplah, akan ada kematian menghampiri.
Sebenarnya hawa tak menyenangkan itu sudah terasa dari semenjak pagi, ketika kami semua yang masih duduk di bangku sekolah tiba-tiba mendengar raungan Bapak. Itulah kali pertama saya tidak menyukai kaum lelaki menangis. Usut punya usut ternyata kakak sulung kami sudah tidak bisa lagi menelan nasi, bahkan meneguk air walau cuma seteguk. Kami semua tercenung, saling berpandangan dalam diam.
“Sudah...sudah, ayo semuanya berangkat sekolah”, Bapak memberi instruksi. “Sepulang sekolah langsung pulang ya, jangan mampir sana sini”. Bapak menambahkan instruksinya.


Semua kami berhamburan. Saya menyempatkan menjenguk kakak ke kamarnya. Mata kami berpandangan dalam diam, dan kami berdua sama-sama menangis. Saya sedih, mulai membayangkan yang tidak-tidak. Bagaimana jika nanti di sekolah saya mendapat kabar buruk?
Saya dan kakak sulung sangat mirip dalam banyak hal. Kami sering berbeda pendapat. Si Sulung adalah perempuan serba bisa, cenderung mendekati sempurna. Dan kesempurnaan ini mendorongnya untuk ikut campur menentukan apa yang layak dan tidak layak untuk kami adik-adiknya. Bahkan saya pernah menyumpahinya, karena saking jengkelnya terhadap otoritas yang dilimpahkan orang tua untuknya. Itulah pertama kalinya saya menyesal atas setiap petengkaran kami.
Sekarang, gadis 26 tahun itu terduduk lemah dalam diam. Wajah tirus tinggal kulit pembalut tulang, pucat pasi, bibir dan kulit kering. Itulah ia si Kakak Sulung. Berubah drastis secara fisik hanya dalam hitungan bulan.


Sesuai instruksi Bapak, kami semua pulang sangat tepat waktu. Bahkan saya sudah di rumah sebelum Bapak pergi jum’atan, padahal sekolah saya paling jauh. Saya khawatir dengan kondisi kakak yang saya tinggalkan sebelum ke sekolah.
Dan memang terjadi sesuatu yang hebat selama kami di sekolah. Kakak sulung yang tadinya masih bisa duduk dan jalan walau dengan pelan, sekarang hanya bisa berbaring dengan pandangan mata kosong. Satu-satunya yang bisa dilakukannya adalah menggapai-gapaikan tangannya, seperti mencari seseorang.


Bapak pamit sebentar mau jum’atan dan berpesan untuk segera mengabari Beliau jika terjadi sesuatu. Saya tahu Bapak pergi dalam sedih, si Sulung berarti banyak hal bagi Bapak.
Tiba-tiba Kakak Sulung menangis-nangis minta ketemu Bapak. Padahal itu baru 15 menit semenjak Bapak pergi. Dia bertingkah seperti anak kecil, hanya ingin didengar maunya tapi tidak mau mendengar orang lain. Ketika kondisinya makin menceracau parah, kakak lelakiku yang disuruh Bapak untuk jaga-jaga berinisiatif menjemput Bapak ke mesjid yang jaraknya lumayan jauh.


Dan berakhirlah kisah sakit merana itu di rumah sakit. 
Tak sampai satu hari di rumah sakit, tengah malamnya Kakak Sulung menghembuskan nafas terakhir, dalam tubuh kurus kering, wajah pucat, pipi cekung, dan saluran infus yang tidak bisa masuk ke tubuhnya. Mati muda. Pergi meninggalkan luka untuk kami, yang entah kapan akan sembuh. Kami semua tanpa kecuali, menangis dalam diam. Sesuatu menyesakkan dada. Kakak pergi setelah hanya sakit dalam hitungan bulan, sakit yang tak diketahui namanya. Terasa tiba-tiba saja, karena dokter tak pernah bisa mengatakan apa sakitnya. Memang sempat 2 kali dirawat sebelumnya di rumah sakit karena kritis, tapi kondisinya tak pernah membaik. Malah semakin hari semakin parah saja.

Dengarlah bisik-bisik tetangga dan kerabat, “kematian yang tak wajar, kena santet,” begitu mereka berbisik-bisik dengan suara yang tidak dipelankan. “Tapi tak apa, mungkin itu akan menghapus dosa-dosanya,” mereka menambahkan tanpa ragu, seakan tak peduli saya yang masih 16-an tahun duduk diantara mereka. Entah apa maksud mereka berbicara seperti itu.     

Saya mulai sangsi, benarkah Kakak kena santet? Kalau diperhatikan sakitnya Kakak memang aneh. Dari sehat segar bugar tiba-tiba layu tanpa sebab. Setiap hari kemampuannya menelan nasi berkurang perlahan, satu sendok makan berkurang setiap harinya. Airpun begitu, perlahan-lahan lambungnya memberi isyarat kalau kemampuan daya tampungnya menyusut. Kemudian selalu mimpi buruk, didatangi kingkong besar hitam berwajah buruk dengan warna mata merah menyala. Mimpi buruk yang tak kenal waktu, baik tidur siang atau tidur malam.


“Ini seperti mengikat labu kuning di atas perapian, Buk”, kata seseorang kepada Mak saya. “Labu diikat diketinggian pagu, dibawahnya dinyalakan lampu sumbu dengan api kecil”, sumber berita itu menambahkan. “Perlahan labu akan kering dan menyusut, begitu sistem kerjanya. Putus labu dari tangkainya berarti putus nyawa.” Orang itu bicara dengan Mak yang ditemani saya. Kami duduk bertiga, orang itu serius sekali. “Saya tahu begini, Buk”, orang itu menambahkan, “karena saya ini mantan preman dunia hitam, bahkan saya bisa menunjukkan ke Ibuk siapa yang punya kerjaan, siapa yang jadi perantara, bahkan saya tahu kemana harus mengobatinya, dukun mana yang ampuh.” Orang itu mengurai panjang lebar. Mak terdiam.

Meski dengan ilmu agama yang minim, saya ingatkan Mak untuk tidak terlibat dunia hitam. Kita berobat saja dengan cara yang benar, orang lain boleh saja merancangkan kematian untuk kita, tapi kapan rezki kita di dunia akan habis, ALlah ta’ala lah yang menentukan, begitu nasehat sok dewasa saya pada Mak kala itu.
Perlahan saya mulai memperlajari banyak hal. Saya mulai ikut kajian keislaman rutin seminggu sekali, meski hijab belum menutupi aurat saya. Di kajian itulah saya tahu bahwa apapun yang terjadi selalu baik buat seorang muslim. Jika ia mendapat musibah maka seorang muslim akan bersabar, jika ia peroleh nikmat niscaya ia akan bersyukur.

Kakak saya sudah pergi meninggalkan luka. Mak dan Bapak menangis dalam diam, dan saya tahu Beliau berdua masih terluka bahkan ketika hitungan tahun kematian Kakak mendekati angka 20 tahun. Bahkan di tahun ke-19 kematiannya, beberapa saat sebelum Bapak menyusulnya, Bapak masih diam dalam luka.


Saya tak menyangka, kematian tragis itu membawa pencerahan tersendiri untuk saya. Sesuatu perubahan besar terjadi dalam hidup saya ini. Setelah 3 bulan kepergian Kakak, saya mantap untuk menutupkan hijab ke aurat saya, hijab sempurna. 
Analisis saya sederhana saja. Si Kakak berpulang dalam sakit yang dideritanya. Kabarnya jika seseorang sakit, lalu ia berusaha untuk sembuh dan bersabar dalam prosesnya maka ketika takdir kematian tak bisa dielakkannya maka ampunan ALlah ta’ala untuknya, dosa-dosanya berguguran. Apalagi jika ia berpulang akibat disantet atau diguna-guna. Kakak sulung saya mengalami kejadian itu. Tentu saya berharap ALlah ta’ala mengampuni dosa-dosanya. Lha, bagaimana nanti dengan saya? Bagaimana kelak jika saya kembali ke ALlah Sang Pemilik Jiwa dalam keadaan segar bugar, dosa-dosa saya tak sempat berguguran, saya tak sempat minta ampun. Akan kemanakah saya pada akhirnya kelak? Akankah saya dalam keridhoan-Nya ataukah dalam kemurkaan-Nya?


Alhamdulillah, setelah lebih dari 20 tahun kepergian Kakak, saya masih setia dengan pakaian ini. Menutupi semua aurat, apa-apa yang tak boleh terlihat oleh orang-orang yang bukan muhrim, saya usahakan tertutup sempurna, semampu dan semaksimal yang saya bisa.


Memang, sebagai manusia biasa terkadang saya masih tidak puas dengan kematian tragis itu. Apalagi ketika angin menghembuskan berita, ada keluarga dekat yang berpartisipasi, ada kerabat yang terlibat. Tapi saya tetap harus berfikir lurus ke depan. Kakak saya sudah sampai pada takdirnya, sementara saya masih sibuk merancang takdir saya, entah kapan pula hidup ini akan berakhir. Kakak saya sudah menutup bukunya, sementara saya tidak tahu berapa lembar lagi sisa kertas kosong di buku saya. Dendam dan sakit hati tidak akan menghasilkan apa-apa. ALlah itu tidak tidur, Dia tidak pelupa, Dia Maha Adil, maka serahkanlah semua pembalasan itu pada-Nya. Tentukan yang terbaik untuk dunia dan akhirat kita, janganlah hidup dalam dendam. Itulah yang membuat saya tetap bersemangat untuk bersilaturrahim dengan mereka yang kena isu terlibat kematian kakak sulung saya.

Meratap takkan menghasilkan apa-apa, kecuali hanya mengurangkan rasa terima kasih kepada ALlah ta’ala atas semua pemberian-Nya. Semakin kita meratap akan semakin berkurang rasa terima kasih itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar