Laman

Jumat, 26 Juni 2015

Tahapan-Tahapan Mengajari Anak Berpuasa


Bagaimana cara mengajari anak berpuasa?


Mengajari anak berpuasa tidak bisa serta merta begitu saja. Menurut hemat saya, kita harus mengenalkannya secara bertahap. 
Langkah-langkah yang pernah saya ambil dalam mengajari anak-anak berpuasa adalah :
1. Membiasakan kata-kata puasa di telinga mereka.
Saya sendiri sudah mengenalkan puasa ke telinga anak-anak sedari mereka dini sekali.  Semisal batita kita sedang makan tapi kemudian dia berinisiatif hendak menyuapi kita, maka katakanlah ,”tidak sayang, Ibu sedang berpuasa.” Pengalaman saya, biasanya akan ada dialog setelah itu dari anak, tentang apa dan kenapa.
2. Mengkondisikan puasa sebagai suatu ibadah yang istimewa yang harus disambut dengan gembira.
Melibatkan anak dalam bersih-bersih sebelum Ramadhan menjelang, “ayo bersih-bersih yok, mau bulan puasa lo.” Biasanya anak-anak yang kritis akan bertanya ,”puasa itu apa?” Maka itu adalah momen yang tepat untuk mengenalkan puasa dengan bahasa yang sederhana.


3. Mengajari anak untuk menghormati orang-orang yang berpuasa.
Ketika anak merengek-rengek minta makan/minum di luar rumah, di teras, atau di halaman, maka bujuklah mereka untuk mau melakukannya di dalam rumah saja. “Tidak sayang, ini sedang dalam bulan puasa, ayo belajar menghormati orang yang berpuasa, makan di dalam rumah ya..” Bahkan ketika masih ASI-pun sudah saya kenalkan, "Orang lagi pada puasa nih, ayo mimik di kamar, yuk."

4. Mengajarkan puasa bedug. 

Saya memahami bahwa mengenalkan ‘puasa’ kepada anak-anak itu tidak ada batasan umur berapanya. Itulah kenapa saya membiasakan kata-kata puasa pada anak saya, sejak anak pertama di tahun pertama usianya. Sekarang 2 anak saya sudah berpuasa penuh di usia SD kelas 1 nya. Bahkan saya dengar ada yang sudah lebih dulu dari anak saya. Sejujurnya buat saya sendiri, di usia yangn lebih kecil dari 6 tahun saya tidak tega.

Tahapan-tahapan Dalam Mengajari anak Berpuasa

Batita, sebatas mengenalkan kata-kata puasa, belajar menghormati orang-orang yang sedang berpuasa, menahan makan dan minum di luar rumah termasuk di teras rumah.
Balita, mulai mengenalkannya dengan puasa bedug, lebih terfokus lagi jika ia sudah memasuki sekolah, baik itu TK A atau B. Di sini saya menerapkan buka puasa berulang-ulang, artinya ada jam-jam tertentu untuk makan dan minum, dan setelah itu dia harus belajar menahan. Menahan di mulai sejak mereka berangkat ke sekolah hingga sekolah usai, itu tahapan pertama. Jika selama di sekolah itu anak-anak tidak rewel maka saya memakai pola berulang dengan jam belajar di sekolah hingga bedug maghrib. Menahan - berbuka, menahan - berbuka, begitu seterusnya.
Untuk anak yang tidak TK seperti Hamzah masa menahannya saya atur. 2 jam dulu, kemudian naik 3 jam, hingga 4 jam, maksimal hingga 5 jam. Kemudian dia akan berbuka menikmati hidangannya. Sambil saya membisikinya, “Ayo dinikmati, makan yang banyak, setelah ini puasa lagi lo, ya.”
Sahur buat mereka adalah ketika bangun tidur di pagi harinya. Saya memang tidak membangunkannya ketika sahur karena alasan kerepotan (hihihi sejauh ini saya memutuskan tidak mengambil ART), dan mengingat kala itu saya juga masih punya bayi. 
Saya tidak mau stres juga dengan target pencapaian yang cukup tinggi, pun anak tidak boleh stress dalam masa pengenalan dan pembelajaran. Intinya harus mengukur bayang-bayang sepanjang badan. 
Dan saya juga tidak terlalu streng ya, target saya anak-anak kenal dengan bulan puasa, kenal dengan ibadah puasa, belajar memuliakan bulan puasa, itu saja.
Usia SD, di usia ini adalah target anak mulai puasa penuh. Saya tidak merasa terlalu streng, mengingat pemanasan sudah saya lakukan jauh-jauh hari. Namun tetap ada toleransi dari saya pada hari-hari pertama Ramadhan. 
Mungkin hari pertama anak puasa separuh hari dulu (puasa bedug), esok harinya meningkat sampai Ashar, dst... tergantung sikon anak.
Meski sudah dipanaskan di tahun-tahun sebelumnya, saya menganggap tetap harus ada pemanasan ulang ketika latihan intinya. Di usia ini saya mulai memberikan hadiah untuk setiap hari puasanya yang penuh. Tanpa mengabaikan pembelajaran niat yang ikhlas kepada anak, pemberian reward bagi saya juga upaya mencicil jajan lebaran yang biasanya pada saat itu biaya kebutuhan membengkak tak terkendali. Terlebih lagi karena kami yang tinggal beda provinsi dengan orang tua merasa perlu untuk mudik tiap tahun.
Artinya di usia ini jika memang anak tak sanggup karena faktor kesehatan atau tidak keburu makan sahur maka anak-anak saya izinkan untuk puasa bedug atau bahkan tidak puasa sama sekali.

Usia kelas 2 SD, di usia ini saya mulai mengingatkannya bahwa ini adalah saatnya belajar puasa penuh. Itu artinya puasa penuh di mulai di hari pertama. Sesekali bolong, batal karena sesuatu dan lain hal masih dalam batas toleransi. Pun saya tetap memberi apresiasi, entah dalam hal apa, tergantung kemampuan kantong juga. Tapi yang jelas kami sepakati dulu.
Usia kelas 3 SD, meski anak belum mukallaf, saya pribadi berprisip ini adalah usia peralihan, usia penentu yang mempengaruhi, harapan saya makin jelas terlihat di sini. Berharap anak bisa melakukan puasa penuh. Tetap saya beri apresiasi, sesuai dengan kemampuan, tapi saya tegaskan, “ini hadiah dari Ummi, hadiah dari ALlah kelak di syurga, ya.”
Usia kelas 4 SD, ini terhitung ‘wajib’ berpuasa penuh bagi anak. Segala daya dan upaya saya kerahkan agar ia tidak batal puasanya. Bahkan meski kami semua tidak keburu sahur.

Usia kelas 4 SD lebih, adalah usia menikmati pelatihan yang sudah dimulai sejak usia dini. Di saat ini tidaklah terasa sulit, karena anak sudah terbiasa, bahkan saya mulai mengenalkannya dengan puasa sunah di luar bulan Ramadhan.
Namun karena kondisi sekolah nyaris fullday, kondisi jarak rumah ke sekolah, belum lagi beban sekolah, saya tidak menargetkan puasa sunnah pada mereka.
Tegasnya mereka belum baligh. Bagi saya sudah bisa berpatisipasi dalam rebutan pahala di bulan Ramadhan saja itu sudah baik. 

Saya yakin kita punya cara sendiri-sendiri dalam mendidik anak. Medan kita, kitalah yang harus lebih tahu. Jangan sampai kebanggaan karena bisa mendidik anak puasa penuh di usia yang lebih muda justru malah membuat anak-anak kelak di usia dewasanya tidak bisa mencintai puasa. Karena sedari kecil mereka tidak diberi pengertian. Yang ada hanya kata harus. Kasihan sekali anak-anak kita kalau sampai merasa puasa ramadhan adalah beban baginya.
Yang penting sebagai orang tua kita harus memiliki konsep yang jelas agar kita tak tergiur dengan konsep ini dan itu sebagai pengaruh pergaulan pertemanan. Sementara konsep teman itu belum tentu kita pahami dengan baik, terlebih jika belum teruji.

Sembari menjalani tahapan-tahapan itu, perlahan anak-anak diberi tahu apa itu puasa yang sesungguhnya, hal-hal yang membatalkan puasa, dan segala macam hal yang terkait dengan puasa yang harus diketahui anak. Perlahan, bertahap!


previous post, 
the first one : Mengajarkan Anak Berpuasa
the first two :  Beberapa Kekeliruan/ Kesalahan Dalam Mengajari Anak Berpuasa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar