Berdasarkan pengamatan saya atas pengalaman sendiri, atas orang-orang di sekeliling saya, atas cerita dan pengalaman teman dalam mendidik anak-anaknya, saya menarik kesimpulan bahwa ada beberapa kekeliruan kita dalam mengajari anak berpuasa.
1. Kasih sayang yang sangat-sangat terhadap anak
Terkadang ada rasa tak tega ketika melihat anak kita
ingin minum atau ingin makan di siang hari di bulan Ramadhan. Sementara kita sedang memprogram pembelajaran berpuasa
untuknya. Sebagai orang tua tentu kita punya target-target pencapaian ketika mengajari anak berpuasa. Lalu kita merasa sayang- sayang. Aduh...tinggal 1 jam
lagi kok, atau masih beberapa menit lagi, atau lain sebagainya. Sementara
anak-anak sudah menangis-nangis minta berbuka.
Akhirnya karena rasa sayang pada anak kita memberinya keringanan tanpa menyelidikinya lebih jauh. Apakah ini karena anak sungguh-sungguh haus dan tidak tahan lagi ataukah karena ia tergoda?
Saya pernah mengalami ini, tepatnya bukan saya, ya, namun
suami saya, Abinya anak-anak. Seperti gambaran aktifitasnya yang saya ceritakan sebelumnya. Kesibukannya membuat suami saya jarang sekali menemani anak-anak belajar puasa. Bahkan di hari
Sabtu dan Minggupun di hari-hari Beliau off dari pekerjaan kantor. Ini bukan curhat ye, hahaaa..., tapi
memang begitulah kenyataanya. Sementara masih ada batita yang harus saya hadapi
selain anak pertama yang sedang latihan puasa. Ditambah tetek bengek kehidupan
kerumahtanggaan yang tiada habis-habisnya.
Bisa dibayangkan ketika sesekali beliau di rumah dan menyaksikan anak sedang masuk camp pelatihan versi saya. Terkadang kami jadi bertengkar karena menurut suami, saya terlalu
keras mengajari anak.
Padahal manalah suami saya tahu tahap-tahapan yang saya
lalui dalam melatih anak kami berpuasa. Sekalipun saya selalu berkabar tentang apa yang saya lakukan namun terkadang beliau lupa. Yang dirasakan suami adalah
ketidaktegaan dan rasa kasihan.
Sehingga sempat saya berfikir bahwa suami saya
keliru dalam memahami hadits yang antara lain berbunyi, ajarilah anakmu untuk
sholat sejak mereka berusia 7 tahun.
Rasa kasihnya itu membuat Beliau berfikir, bahwa untuk sholat
saja, itu baru diperintahkan di usia 7 tahun (sesuai hadits). Maka untuk
berpuasa tentu akan lebih ‘longgar’ lagi menurutnya. Jadi menurut beliau, jika
anak-anak berkata sudah tidak tahan ya disuruh berbuka.
Saya berasumsi bahwa
pemahamannya seperti ini juga dipengaruhi oleh pengalamannya semasa kecil
ketika belajar berpuasa.
Mendidik (anak) itu dari ayunan hingga ke
liang lahat, sama dengan status menuntut ilmu bagi saya. Bahkan sebenarnya
untuk mendidik anak bisa lebih streng lagi, yaitu dari semenjak dia akan
‘diproses’. Mungkin kita semua sudah pada hafal dengan do’a bersenggama (dengan
pasangan menikah, ya). Tahukah kita bahwa itu sebenarnya perlindungan pertama
yang kita berikan terhadap anak dari gangguan syetan, yaitu perlindungan dengan
meminta bantuan ALlah ta’ala.
Maka berpuasa juga diajarkan sedari dini kepada anak-anak. Dimulai dari mengenalkan apa itu puasa kemudian menghormati orang yang sedang berpuasa selanjutnya latihan puasa dan menjauhkan mereka dari godaan, baru kemudian latihan inti yaitu ketika mereka tak lagi mengeluh melihat orang lain makan dan minum dengan bebas. Intinya dari tidak kenal menjadi kenal, dari tidak terbiasa menjadi terbiasa, dari tidak kuat menjadi kuat.
Seperti tidak makan dan
minum di teras ketika bulan Ramadhan karena mereka harus belajar menghormati
orang yang berpuasa. Menjauhkannya dari hal-hal yang akan membuatnya teringat
makanan dan minuman, dsb. Padahal mereka masih kecilkan? Namun secara prinsip,
selagi bisa dikondisikan untuk tidak makan dan minum di sebarang tempat terbuka
di bulan puasa, maka saya akan kondisikan dulu. Itu ketika anak-anak batita.
Ketika mereka balita, saya mulai mengenalkannya dengan puasa bedug, dengan berbuka berkali-kali dan
menahannya juga berkali-kali.
Menurut hemat saya, semakin dini anak-anak dikenalkan dengan puasa, maka
akan semakin mudah untuk memahamkan ibadah ini kepadanya. Karena kecenderungan
anak-anak secara psikologis (kecenderungan orang dewasa juga sebenarnya), bahwa
jika sudah diberi kelonggaran (rukhsah), akan cenderung mereka untuk menikmati kelonggaran itu. Maka akan semakin
sulit untuk mengajarinya menahan segala aktifitas godaan hawa nafsu (terutama
lapar dan haus untuk anak-anak) di siang hari puasa ketika mereka semakin besar. Karena pegertian itu tidak bisa serta merta di pahami. Ada proses, ada tahapan, pengulangan dan memakan waktu serta pencapaian target.
Jadi targetnya adalah:
- Mengenalkan istilah puasa.
- Mengajarinya untuk mengohormati bulan puasa dan menghormati orang yang sedang berpuasa.
- Melatih menahan lapar dan dahaga dengan mengenalkan puasa bedug.
- Melatih kejujuran agar ia tak diam-diam berbuka.
- Melatih kesabaran yaitu dalam pengendalian diri dan emosi. Seperti jangan bertengkar dan jangan berbantah-bantahan.
- Melatih mereka merasakan pengawasan ALlah karena sebagai ibunya saya tak mungkin menatap mereka 24 jam meski saya di rumah seharian.
Jika anak-anak sudah
tidak tahan (ditandai dengan rengekan), maka saya tidak langsung menyuruhnya
berbuka. Saya akan selidiki dulu, ini benar-benar tidak tahan atau hanya karena
pengaruh rasa lapar dan dahaga saja, dan atau ada diiringi sebab lain, seperti
demam misalnya, atau karena melihat makanan yang sudah tertata, atau tergoda
melihat orang lain sedang makan?
Ini pernah terjadi kepada Hamzah ketika ia pertama puasa full. Di hari keduanya. Semenjak Zuhur badannya sudah terasa panas. Berlalunya waktu badannya semakin panas. Meski ia tak mengeluh dan tidak minta berbuka saya mengamati kenaikan suhu tubuhnya. Di waktu Ashar panasnya semakin tinggi. Akhirnya saya ambil kebijakan. Saya minta ia berbuka namun ia menolak. Terpaksa dibujuk. Saya katakan bahwa besok insyaallah ia masih bisa mencoba lagi. Akhirnya ia berbuka. Dan ajaib perlahan suhu tubuhnya menurun padahal ia hanya minum segelas air putih. Saya tambah lagi airnya dan suhunya semakin turun. Ternyata Hamzah yang banyak minum di luar Ramadhan telah kekurangan air di hari kedua ia belajar puasa full.
Bagaimana menyiasatinya? Nanti ya, di next chapter.
Jadi saya pribadi berpendapat, bahwa ajarilah anak-anak
mengenal puasa sedari dini, bertahap sesuai dengan kemampuannya. Jika ia sanggup kenapa tidak. Tapi jangan dipaksa. Lihat kemampuan dirinya. Tentu sebagai orang tua kitalah yang lebih tahu kapan sebainya anak-anak belajar puasa fullday.
Jangan sampai
rasa sayang yang kita miliki membuat anak-anak kita mudah menjadi anak-anak
yang tidak tahan menahan godaan hawa nafsunya. Lalu menjadikan tangisan,
rengekan sebagai senjata ampuh untuk menurunkan izin berbuka di luar jadwal
yang sudah kita atur. Selidiki dengan seksama jika mereka mulai minta berbuka,
ada apakah?
2. Keliru memahami kata ‘Mengajarkan Berpuasa”
Anak-anak kita yang belum Mukallaf (baligh dan berakal sehat), mereka
belumlah berada pada posisi wajib berpuasa. Tetapi puasa yang mereka lakukan
adalah untuk belajar membiasakan diri terhadap ibadah yang kelak akan wajib
dilakukannya jika mereka sampai memasuki ‘dunia’ aqil baligh.
Mengajari
anak berpuasa adalah sebuah proses pembelajaran, proses pembiasaan, penanaman
nilai-nilai baik, pelatihan. Belumlah merupakan sebagai sesuatu yang wajib mereka lakukan, dan
bukanlah sebuah pemaksaan.
Sayapun memahaminya, bahwa dalam usia anak-anak yang belum
aqil baligh ini, proses pembelajaran ini akan sangat penting. Tujuannya kelak jika
mereka sudah baligh, mereka tidak lagi asing dengan ibadah puasa. Menahan haus
dan lapar adalah sesuatu yang sudah terbiasa mereka lakukan sejak mereka kecil
pada bulan tertentu. Tentu saja nanti setelah mereka terbiasa plus ditingkatkan menjadi pada hari-hari tertentu.
Bukankah defenisi puasa
itu adalah menahan diri dari segala yang membatalkan dari terbit fajar hingga
terbenam matahari? Yang namanya menahan diri itu perlu latihan. Perlu pengenalan, pemanasan tidak bisa langsung latihan inti. Mereka harus mendapat pengertian kenapa begini kenapa begitu.
Karena target kita adalah agar kelak mereka tangguh, teguh dan sabar dalam godaan ketika berpuasa.
Jadi tidak layak jika ‘memaksakan’ anak-anak untuk berpuasa
sedangkan mereka belumlah dalam kondisi wajib melakukannya. Tapi di usianya
sekarang, yang harus kita latih adalah PEMBIASAAN, bukan wajib melakukan.
Artinya jika kita paham ini adalah proses belajar, tentu akan ada
keringanan-keringanan bagi mereka dalam proses ini. Tentu saja diharapkan bahwa
keringanan-keringanan yang kita berikan itu adalah keringanan yang mendidik,
bukan keringanan yang memperturutkan maunya anak-anak. Agar proses ini
berjalan dengan baik, seperti halnya proses belajar yang lain, sikap disiplin,
konsisten namun kooperatif dengan mengedepankan komunikasi dua arah, tetap
harus diperhatikan dengan seksama.
3. Kita tidak memandang anak sebagai sebuah pribadi yang
utuh.
Hal ini sering diungkit dalam banyak diskusi kependidikan, bahwa salah satu kesalahan orang tua adalah
menjadikan anak sebagai obsesi mereka, memandang anak sebagai sebuah pencitraan
orang tua, bukan lagi anak sebagai diri mereka sendiri.
Sehingga sering
terlihat rasa bangga pada diri orang tua, rasa bangga yang gagal ditutupi
ketika menceritakan ke orang-orang betapa anaknya sudah bisa berpuasa penuh.
Padahal anakku masih TK lho, umurnya belum 6 tahun lho, dst, dsb, dsl,
kira-kira seperti itu yang sering kita dengar.
Pada akhirnya kita melihat banyak anak-anak yang telah
berhasil ‘dipaksa’ orang tuanya untuk berpuasa fullday. Dan memang anak-anak
itu terlihat mampu melakukannya. Tapi apakah mereka paham dengan proses pembelajaran yang harus dilewatinya. Jangan-jangan kelak mereka akan menganggapnya sebagai sebuah kewajiban yang memberatkan karena gagal paham. Mereka memandang
bahwa mereka memang sudah harus berpuasa karena mereka muslim, karena mereka
diminta melakukannya. Mereka
tidak memahami bahwa puasa adalah sebagai sebuah ibadah khusus di bulan yang
khusus.
Tegasnya mereka tidak paham konsep kenapa mereka harus berpuasa. Yang
mereka tahu bahwa mereka memang harus melakukannya sebab kalau tidak orang tua
mereka akan marah atau kecewa.
Nah anak-anak seperti ini akan banyak kita jumpai. Ketika
mereka jauh dari orang tuanya, mereka gampang sekali untuk berbuka atau bahkan
mungkin tidak berpuasa sama sekali. Mereka akan melakukannya dengan baik
ketika berada di dekat orang tuanya. Ketika jauh hanya Tuhan yang Maha Tahu.
Atau mungkin diam-diam mereka makan dan
minum, tapi kemudian menggosok-gosok lagi bibirnya agar kering, dan
menggosok-gosok giginya agar terlihat benar-benar tanpa air ludah. Semoga ALlah
melindungi anak-anak kita dari sikap seperti ini ya.
Sebagai seorang ibu yang pernah juga (bahkan hingga saat ini
masih) dalam status sebagai anak, saya pernah bingung, kenapa saya harus
berpuasa? Jawaban yang bisa dicerna akal kanak-kanak saya kala itu adalah,
karena saya muslim, hanya orang-orang kafir dan orang-orang gilalah yang tidak
berpuasa. Jika tak berpuasa akan dimarahi. Tidak boleh bilang haus apalagi lapar. Jadi karena takut dicemooh sebagai golongan orang-orang tersebut maka
saya memaksa menahan keinginan minum yang sungguh tak tertahankan rasanya di
usia kanak-kanak tersebut. Tahu akibatnya apa?
Jujur saja, pada usia tertentu dulunya, saya pernah diam-diam
minum dan makan. Padahal air yang seteguk itu tidaklah cukup sebenarnya untuk
melerai harus dan makan yang cuma beberapa sendok itu tidaklah cukup untuk
mengganjal lapar, tapi saya puas. Puas bisa menipu orang dewasa di sekeliling
saya, dan puas bisa memperturutkan hawa nafsu saya.
Belajar dari banyak pengalaman saya tak ingin anak-anak saya merasa terpaksa dalam belajar berpuasa.
4. Membanding-bandingkan anak dengan teman sebayanya, orang
sekitarnya bahkan dengan si orang tua sendiri.
Sebenarnya poin ini agak mirip dengan poin ketiga, namun
stressing di sini lebih ke sikap mengajari anak berpuasa karena indikator orang
di luar diri si anak.
Sebagai contoh, anak belum sanggup berpuasa penuh,
sedangkan teman seangkatan/ sepermainannya sudah ada yang bisa. Lalu secara
gegabah orang tua memaksa anak untuk melakukannya hanya karena temannya sudah
ada yang bisa berpuasa penuh. Pun begitu barangkali ketika balita kita terpaksa
melakukan puasa meski itu hanya puasa bedug dengan target jam yang harus sama
dengan teman sepermainannya, padahal anak kita hanya (baru) sanggup
melakukannya hingga pukul 10.00 atau pukul 11.00.
"Coba lihat temanmu,
sudah puasa lo, kamu ini" atau "ibu di usiamu ini sudah puasa penuh lo, kamu ini" atau "apa kamu tidak malu tidak berpuasa, cuman kamu aja yang enggak puasa di
rumah, mau jadi apa nanti, mau jadi orang kafir?" atau "yee..cuma sanggup sampai pukul 10 doang, lihat temanmu tuh, sampai
sore. Huu itu aja kalah", dsb, dst, dsl.
Kata-kata itu seakan mendorong anak untuk segera
berpuasa, bukan atas kesiapannya tapi atas desakan orang tua karena orang tua juga ingin membanggakannya.
Atau seperti pada kasus lain, ada orang tua yang merasa tidak
nyaman karena anaknya yang baru berusia
6 tahun (usia sekolah SD) sudah bisa melakukan puasa penuh, sedangkan menurut
orang lain itu sangat memaksa si anak? Benarkah anak terpaksa? Dalam
hal ini tentu hanya orang tua yang tahu, terpaksa atau tidakkah si
anak.
Sementara orang tua sudah tidak nyaman dengan label streng atau killer
dalam mendidik anaknya. Sehingga orang tua yang tidak paham akan cenderung
surut langkah melihat kondisi ini, dan berakibat memberikan kelonggaran
selonggar-longgarnya kepada anak. Hal
ini akan berakibat si anak mengalami kemunduran dalam tahapan proses belajar
berpuasanya, sehingga target melatih diri dalam menahan, mengendalikan diri dan
emosi, mengendalikan hawa nafsunya akan mengalami gangguan yang cukup berarti.
Lalu, apa sebaiknya yang kita lakukan?
Beberapa kekeliruan/ kesalahan itu tentulah menurut hemat saya. Dalam mendidik anak saya tak terlalu berteori karena anak adalah makhluk hidup. Maka perlu ada pengenalan medan, dan medan kita jelas-jelas berbeda; tak sama.
Beberapa kekeliruan/ kesalahan itu tentulah menurut hemat saya. Dalam mendidik anak saya tak terlalu berteori karena anak adalah makhluk hidup. Maka perlu ada pengenalan medan, dan medan kita jelas-jelas berbeda; tak sama.
Rumah tangga kita adalah milik kita. Kitalah yang punya peraturan. Bikinlah tahapan dan target dalam pengasuhan dan pembelajaran anak. Namun jangan lupa untuk mempertimbangkan usia dan kesiapannya. Jika anak kita siap maka lanjutkan. Jika belum maka persiapkan.
Yang penting beri pelatihan dengan pengertian bukan dengan pemaksaan.
Itu menurut saya berdasarkan apa-apa yang saya alami, saya lihat, saya amati dan saya dengar.
Maaf kalau kurang sempurna. Namanya juga belajar dari alam yang terkembang.
previous post, the first one : Mengajarkan Anak Berpuasa
next post : Tahapan-tahapan Mengajari Anak Berpuasa
previous post, the first one : Mengajarkan Anak Berpuasa
next post : Tahapan-tahapan Mengajari Anak Berpuasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar