Laman

Sabtu, 13 Juni 2015

Mengajarkan Anak Berpuasa #Sepenggal Pengalaman



Saya adalah seorang ibu rumah tangga yang berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga Full. Tanpa asisten. I do everything kecuali nyetrika.
Sama seperti kebanyakan keluarga lainnya, memiliki anak yang sholeh/ah dan mencintai agamanya, ALlah dan Rasul-Nya serta berakhlak mulia adalah target pembelajaran di rumah. Begitupun dengan harapan saya. Dan untuk itu puasa sebagai bagian rukun Islam, dan juga sebagai ibadah khusus seorang hamba di hadapan Tuhannya, juga memegang peranan yang sangat penting dalam proses mencetak generasi Rabbani ini. Begitu saya memahami pentingnya mengajari anak berpuasa sedari dini.

Alhamdulillah, ALlah mempercayai saya untuk menjaga 3 titipan-Nya (hingga tulisan ini diposkan) dari 7x kehamilan yang saya lalui. Kenapa saya ungkit tentang 7x kehamilan ini? Karena proses kehamilan itu sendiri ternyata telah berpengaruh terhadap proses pembelajaran berpuasa anak-anak (terutama anak pertama).


Anak saya 3, yang pertama Aisyah, lahir 1 hari sebelum hari pahlawan pada 2002, anak yang lahir dari kehamilan ke-3 saya. Yang kedua Hamzah, lahir pada bulan ketika 2005, anak yang lahir dari kehamilan ke-4 saya. Dan yang ketiga Fathimah, lahir pada hari pendidikan 2009, anak yang lahir dari kehamilan ke-6 saya.  Setelah itu saya sempat keguguran lagi di kehamilan ke-7 ketika Fathimah berusia 1,7 tahun. 
Dari semenjak hidup berumah tangga, kami tinggal di rumah sendiri, maksudnya tidak menyatu dengan keluarga besar. Kebetulan kami terpaksa merantau karena Abinya anak-anak bekerja sebagai auditor di sebuah badan pemerintahan. Itu artinya sebelum anak-anak memasuki bangku sekolahan, rumah kecil kami benar-benar dalam pengaruh yang full buat anak-anak (saya).

Dalam bab mengajari anak berpuasa, sejauh ini yang paling sulit saya rasakan adalah ketika mengajari Aisyah berpuasa, karena ia adalah anak pertama. Kondisi kerja suami yang seringkali memaksanya untuk bekerja diluar kota (dinas luar/ DL), serta memiliki kesibukan lain di luar kesibukan kantor yang sering kali membuat suami pulang larut malam pun turut memberi andil kesulitan bagi saya. Karena masalahnya bukan hanya soal mengajari Aisyah berpuasa di saat-saat saya haid, hamil muda, nifas bahkan menyusui ekslusif, namun juga soal tarawihan.
Dalam mengajari anak berpuasa, saya mengadopsi hal-hal positif yang saya sepakati terhadap ajaran orang tua saya. Saya juga mengamati anak-anak dilingkungan saya, termasuk anak-anak saudara, teman dan kerabat bahkan anak-anak para guru yang pernah hadir dalam kehidupan saya. Jadi bolehlah dikatakan bahwa ilmu saya ini saya pungut dari banyak tempat. Saya senang menamainya sebagai ilmu alam.

Langkah pertama yang saya lakukan sebelum mengajari anak berpuasa adalah mengenalkan kata-kata puasa seiring dengan  itu saya mengajarinya untuk menghormati orang yang berpuasa meski ia mungkin belum mengerti apa itu menghormati.
Jadi meski ia masih bayi saya telah mengatakan, "ini bulan puasa sayang, mimik susunya di kamar saja, ya." Atau. "mimiknya susunya ditutupin pakai jilbab ummi, yah."

Ada beberapa pengalaman yang sulit saya lupakan.
Pertama ketika Aisyah pertama kali berpuasa, ketika itu ia baru TK. Kala itu saya mengenalkan puasa setengah hari. Tiba-tiba ingin haid juga karena ia tahu saya haid dan ia memergoki saya sedang minum diam-diam.
Kemudian ketika ia SD kelas 1. Saya masih ingat ketika mendapati botol aqua yang tadinya penuh sudah tinggal separo di belakang lemari. Namun gadis kecil itu enggan mengaku karena sebenarnya di sekolahnya juga sudah dikenalkan apa itu berpuasa plus dengan prakteknya yaitu tidak boleh membawa bekal ke sekolah yang setengah hari di bulan puasa. Saya tak ingin menuduhnya. Saya masih ingat betul pengalaman saya sendiri ketika kecil. 
Lalu saya dekati ia dan bertanya, "Apa Uni haus?" Gadis kecil itu mengangguk. 
"Uni ingin minum?" Gadis itu mengangguk. 
"Apa Uni masih bisa menahannya?" 
Gadis itu memandangku dan berkata, "Apa boleh Uni minum sedikit? Tenggorokan Uni kering."
"Apa Uni yang meminum air ini? Dengar sayang, Uni sedang belajar berpuasa. Belum wajib. Tapi jangan berbohong, Ummi tidak suka jika Uni berbohong. Nanti jadi terbiasa. ALlah juga tidak suka anak yang berbohong, Nak. Jadi coba katakan, apa Uni yang sudah meminum air ini?"
Gadis kecil itu mengangguk.
Sekelebat pengalaman masa lalu saya kembali. Karena sangat kehausan di tahun pertama saya berpuasa sementara orang tua saya tidak memberi saya toleransi maka saya diam-diam ke dapur ketika semua orang sudah meninggalkan dapur. Padahal itu sudah sore. Sebentar lagi bedug. Saya menciduk air minum. Cuma seteguk tapi saya puas; puas sudah menipu orang-orang yang sudah memaksa saya berpuasa. Kemudian saya menggosok-gosok bibir saya dengan ujung baju. Dan keluar ke halaman bergabung dengan keluarga saya yang sedang duduk-duduk di sore hari menunggu bedug. Pura-pura lelah. Padahal saya sudah fresh karena sudah meminum seteguk air.
"Sekarang minumlah di depan Ummi. Minum sepuas-puasnya. Setelah ini belajar menahan lagi, ya. Jika nanti Uni sangat haus lagi, bilang sama Ummi, ya."
Beberapa waktu kemudian, setelah sekian jam berlalu saya menanyainya lagi. "Apa Uni haus?"
"Tidak Mi, Uni akan belajar menahan."
Sekarang setelah sekian tahun berlalu cerita ini menjadi bahan cerita ketika kami berkumpul lengkap. Semua tertawa mengingat kisah si Uni ini.

Atau ketika si Uda belajar berpuasa penuh pertama kalinya. Ia yang tadinya suka asik bermain menyusun ini dan itu tiba-tiba menjadi perhatian sekali pada adeknya Fathimah yang masih 2 tahunan. Rajin sekali ia bertanya, "Adek mau minum. Haus tidak?" Ketika Fathimah mengangguk maka ia dengan sigap mengambilkan segelas air. 
Pertama saya berfikir, baik banget si Uda. Tapi lama-lama saya jadi curiga kemudian saya kuntit dia. Ternyata ia meminum sedikit air untuk Fathimah itu.
"Lho, kok Uda cicip. Kan Uda puasa."
"O iya, Uda lupa."
"Lupa atau haus?"
"Lupa Mi. Uda cicip sedikit, apa air ini enak untuk Fathimah."
Solusi yang saya berikan adalah menemaninya mengambilkan air untuk Fathimah setiap Fathimah bilang haus. Saya peringati, "Hati-hati lo Da, gak usah dicicip, Uda lagi belajar puasa, lho."

Kami semua bisa tertawa terbahak-bahak jika mengingat ini. "Amah nanti lebih hebat. Amah akan tahan." Fathimah kecilku yang berniat mengalahkan si Uda. Sejauh ini si kecil sukses dengan tahapan belajar berpuasanya. Dan ini adalah tahun pertama ia memasuki pelatihan belajar puasa full. 
Rencananya ini adalah tahun pertama Fathimah belajar puasa full. Akankah baik2 saja? Saya terkenang akan kisah pertama kali ketika Si Uni belajar puasa full, ketika si Uda belajar puasa full bahkan ketika saya belajar puasa full pada 33 tahun yang lalu. Yup sepertinya usia pertama memasuki SD yaitu usia 6 tahunan kurang atau lebih adalah usia pertama belajar berpuasa. Akhirnya menjadi semacam tradisi.
Wait and see.
Akankah semua baik-baik saja?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar