Laman

Minggu, 26 Januari 2014

Memperkuat Hukum Adat

https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQNooRQi-qaGnQgGzuqCW7QhiERPdjR20eoYpcvkh3dh0CHxmNQpw
Dok. Google



Tatuntuang galamai jaguang, taunja-unja ka cambuang basi;
Bakarimuak urang di kampuang, dek ulah Lippo si James Riady
 

Beberapa waktu yang lalu saya sempat bergabung ke sebuah grup. Jujur saja saya lupa nama grupnya karena nama kepanjangan. Yang saya ingat adalah bahwa grup itu bergerak dan memobilisasi massa dalam rangka penolakan terhadap Siloam proyeknya Lippo Grup (LG) dengan Super Blok Lippo Grup (SBLG)nya. Saya hanya sebentar di situ karena saya butuh info soal kebenaran berita di kampung.

Saya ini kan perantauan, jadi tidak tahu pasti apa yang terjadi. Beberapa orang memang mengkisiki saya soal proyek itu, tapi itu kan info sepihak. Maka bersyukurlah saya ketika seorang adek, Wen, mencemplungkan saya ke grup itu.
Tapi saya hanya sebentar bergabung. Sejujurnya nurani saya kurang nyaman meski saya sangat sepakat dengan pendapat mereka dalam menolak Siloamnya Lippo Grup. 


Saya ini orang Minang asli, lahir dan besar di Ranah Minang, jadi saya tahu tabi'at dan garenah mereka, rata-rata orang Minang itu seperti apa.
Saya memutuskan untuk menonaktifkan pemberitahuan dari grup ketika ada yang mulai mengkafir-kafirkan orang, puncaknya ketika mereka berani berdebat dan memakai ayat ALlah ta'ala. Sayangnya orang-orang yang saya harapkan bisa menyejukkan suasana, meluruskan keadaan malah entah kemana.  Saya tahu mereka hadir, tapi ternyata hanya sebatas membakar semangat bukan untuk meluruskan niat. Tidak ada taujih yang saya temukan, yang ada itu info provokatif. Kemudian saya mengajukan pertanyaan ke grup secara saya tidak menemukan emailnya. Tahu apa akibatnya?
Heheh... Saya dikeluarkan dari grup dalam kondisi ketika saya sudah menonaktifkan notifikasi grup. Alhamdulillah, saya benar-benar bersyukur. Entahlah akan apa jadinya hati saya kalau saya berlama-lama mendengar segala macam sumpah serapah itu.

Oke, saya tidak sedang membicarakan grup itu. Ini hanya pengantar. Soal grup itu tanggung jawab orang-orang di Sekber Nurul Iman.


Kita berbangga-bangga dengan slogan Adat Minang Kabau, 'Adat Bersandi Syarak, Syarak Bersandi Kitabullah (ABS,SBK)', tapi tahukah kebanyakan dari kita ini, apa maksud slogan itu? Entah kenapa ya, saya yakin kebanyakan kita hanya ikut-ikutan bersorak-sorak. Sedikit sekali yang paham.

Mau bukti?
Ketika masih ada hal-hal yang berbau kesyirikan dalam pagelaran adat maka itu artinya ABS-SBK tidak berlaku.
Karena ABS-SBK bermakna Syari'at (agama) berkata, Adat memakai. Kalau bahasa Minangnya nih, Agamo bakato, adaik mamakai. Jadi semua yang ada dalam kebiasaan adat dan istiadat yang telah berubah menjadi kebiasaan dan norma-norma itu artinya semuanya bersandar kepada kitab ALlah ta'ala.


Kebanyakan orang berani melanggar perintah ALlah ta'ala karena mereka yakin ALlah itu Maha Pemaaf dan Maha Pengampun, istilahnya nih ALlah itu sangat pengertian. Jadi ketika seorang hamba-Nya berbuat salah, pintu ampunan ALlah akan terbuka selebar-lebarnya jika kelak kita minta ampun. Sungguh banyak yang memaknai ini dengan cara yang salah kaprah. Mereka mengatakan, "ah gampang, nanti tinggal minta ampun sebelum mati, pasti ALlah akan mengampuni."
Sepertinya orang-orang seperti ini sangat meyakini bahwa kelak mereka benar-benar akan ada kesempatan minta ampun. Sungguh banyak yang lupa, betapa banyak yang mati tiba-tiba.

Beberapa Hukuman Adat

Di alam Minang Kabau yang ABS-SBK ini, kita kenal beberapa hukum adat yang sangat efektif dalam pembentukan moral dan tingkah laku masyarakatnya. Ketika ada pelanggaran maka hukuman adat diberlakukan. Beberapa di bawah ini adalah contohnya.

Dulu dikampung saya, orang-orang yang menikah karena hasil perselingkuhan, mereka diarak ketika baraleknya dengan memukul-mukul tempurung kelapa, manokok-nokok sayak kicek rang kampuang ambo. Dengan begitu orang-orang yang tidak tahu kabar PIL/WIL itu akan jadi tahu, oo...maambiak laki urangnyo, kira-kira seperti itu.
Kala itu hukum adat semacam itu lumayan efektif. Karena banyak orang yang tidak sanggup mencoreng arang di kening keluarganya. Bahkan salah satu dari pasangan arak-arakan itu masih hidup hingga sekarang. Hm...saya pun juga dapat cerita ya, kan waktu kejadian itu saya belum melihat dunia.

Atau ketika orang-orang menyelenggarakan acara mangaji untuk maampek puluah hari (empat puluh hari) , manyaratuih hari (seratus hari) dengan mambantai kambiang bahkan mambantai kerbau, mambuek sagun  ketika 3 hari kematian, padahal sebenarnya mereka adalah orang-orang yang telah tertimpa musibah, banyak juga yang miskin. Tapi mereka memaksakan diri melakukannya karena tak ingin dipandang tidak melaksanakan adat.  Sehingga tak sedikit yang terpaksa berhutang-hutang bahkan menggadaikan hak miliknya demi acara mangaji ini.
Terlebih lagi, perbuatan itu jelas-jelas tidak ada dalam tuntunan agama. Mana ada aturan dalam agama untuk memperingati hari kematian itu meskipun itu berselubungkan acara mendo'a (mangaji).

Oleh karena itu, para ninik mamak dan alim ulama di kampung saya, duduk berembuk di kantor KAN (Kerapatan Adat Nagari). Hingga di ambillah jalan tengah, keputusan bahwa siapa saja setelah ini (setelah hukum itu ditetapkan) yang masih membuat sagun, menyemblih sapi atau kerbau (kalau acara dengan penyembelihan kerbau harus diiringkan dengan acara basalawek dulang) akan dikenai hukuman denda sekian karung goni padi. Dan itu lumayan efektif.
Orang-orang mulai mikir untuk membuat sagun, menyemblih sapi dan kerbau. Tapi karena untuk menyemblih kambing tidak diatur (karena dianggap harga kambing murah barangkali, ya) masih banyak memang kita temui orang-orang yang mengaji (mengirim do'a untuk yang meninggal) dengan menyembelih kambing.


Atau ketika kita runut lebih jauh ke belakang, meski hukum ini terkesan agak sedikit kolot.
Bahwa anak-anak gadis/ perempuan ataupun janda yang menikah dengan laki-laki dari luar kampungnya maka rumahnya akan dilempari batu. Karena  perempuan yang menikah dengan orang luar terhitung genit/ ganjen/ gata/ lonte, karena kan perempuan minang itu biasanya terpelihara di rumah (gadang)nya, itu di Selayo, ya. Di kampung saya.
Dulu itu ada seorang perempuan (padahal dia sudah janda) menikah dengan orang dari Bengkalis. Ketika pengantin prianya masih di dalam kamar sehabis akad nikah, atap rumahnya dilempari orang-orang sekampung dengan batu di malam hari. Sebagai pertanda bahwa pernikahan itu tidak direstui adat.

Bahkan ada suatu daerah yang mengusir anak kemenakannya yang perempuan untuk keluar dari kampung, dicabut dari garis keturunan adat hanya karena pernikahan dengan orang di luar daerah, di Koto Anau contohnya, di kampung suami saya.


Mensikapi penolakan Siloam ini (LG/ SBLG) atas rasa kekhawatiran akan terjadi permurtadan terselubung mengingat bahwa James Riady adalah seorang Evangelis yang sudah berikrar akan 'menuntun lebih banyak gembalaan' ke jalan tuhannya, menentangnya secara terbuka adalah hal yang bijak. Setidak-tidaknya pemerintah daerah perlu tahu bahwa kearifan lokal kita sebagai orang Ranah Minang Kabau yang menjadikan Kitabullah sebagai acuannya sungguh menolak kristenisasi. Karena kalau ABS-SBK yang dikedepankan, itu berarti bahwa setiap orang Minang Kabau itu adalah Muslim. Jika mereka berpindah agama bukan hanya ia murtad tapi secara otomatis ia telah terusir dari adat.
Seperti yang sudah kita lihat juga, bahwa anak-anak orang Minang Kabau yang sudah berganti keyakinan mereka tidak lagi diperbolehkan pulang ke kampungnya. Dicoret dan terusir.

Kembali Perkuat Hukum Adat

Menurut saya, sebagai ranah yang memakai filosofi ABS-SBK mungkin ada baiknya kita kembali menguatkan hukum adat sebatas hukum-hukum itu tidak bertentangan dengan al Qur-an dan sunnah. Jadi selain kita melakukan penolakan perangkap kristenisasi, kita juga memperkuat pertahanan anak kemenakan kita dari dalam.

Selama ini, orang-orang minang yang murtad, mereka dengan sendirinya keluar dari nagari, 'membuat' dirinya terbuang secara sadar. Meski sebenarnya mereka tidak benar-benar terbuang, karena mereka masih berhubungan dengan sanak keluarganya meski itu hanya di perantauan. Ternyata yang menghambat mereka pulang adalah rasa malu hanya karena telah bertukar kiblat, malu karena sudah mencoreng arang di kening.
Karena Minang itu ya Islam kalau sudah tidak Islam berarti bukan lagi Minang.

Jika kita terapkan hukuman adat yang lebih tegas, tentu mereka tidak berani pulang bukan lagi karena MALU, tapi memang karena mereka telah TERBUANG secara tegas.

Seperti contohnya , "Telah bertukar kiblat si Yanwardi Koto dari menyembah ALlah yang Esa menjadi penyembah Tuhan yang beranak, kami sebagai penghulu sukunya membuang anak ini keluar dari suku Koto untuk selama-lamanya hingga ia kembali ke agama asalnya 'menyembah ALlah yang Esa, dst, dsl............"
Dengan begitu secara tidak langsung ia tidak berhak lagi memakai Koto di belakang namanya, tidak bisa lagi berpakaian Datuk Minang dalam acara keagamaan barunya, ia bisa digugat jika masih melakukannya.

Kenyataan Orang Minang Kabau

Dewasa ini, telah banyak gadis-gadis Minang yang bertukar kiblat karena pernikahan. Di kampung saya saja sudah ada 3 (yang saya ketahui, ya). Satunya sudah meninggal (kabar di kampung ia meninggal dalam kondiri murtad), satunya lagi belum pernah lagi pulang semenjak suaminya kembali ke agama asalnya (seperti kisah pernikahan beda agama Asmirandah dan Jonas Revano) kabarnya iapun berpindah kiblat, satunya lagi murtad kemudian kembali ke Islam karena bercerai (yang terakhir ini murni karena ekonomi), dan sekarang agamanya tak lagi jelas.


Arus globalisasi sungguh-sungguh sudah melunturkan nilai moral pemuda pemudi Minang. Sedikit sedih namun kita harus mengakuinya, sebenarnya mereka-mereka itu berganti atau tidak kiblatnya, terkesan sama saja sekarang. Karena secara tingkah laku mereka sudah tidak jauh berbeda. Tak ada bedanya menjadi kafir atau bukan secara tingkah laku, tidak tanduk dan gaya berbusana.


Coba perhatikan, surau-surau sudah sepi, mesjid ketika jum'atanpun sudah mulai lengang, banyak dari pemuda-pemuda memilih duduk di kedai atau balai ketimbang jum'atan ke mesjid.
Para perempuanpun begitu. Cobalah lihat pakaian mereka, tidak ada bedanya denga pakaian orang kafir. Berbaju yukensi padahal sedang duduk dengan ninik mamaknya. Siapa yang berani menegur? Wong bapak kandungnya saja masa bodoh.

Belum lagi gadis-gadis  bahkan perempuan yang sudah menikah. Mereka sangat percaya diri memakai celana hawai, saking hawainya terkadang kedai-kedainya tersingkap dan terlihat jelas segitiga bermudanya. Siapa yang peduli, siapa yang berani menegur?
Sangat percaya diri berbaju tali kutang, berkemben tak ubah orang pulang mandi.
Ini kita belum lagi berbicara soal kewajiban sholat, ya!


Harus kita akui, banyak dari masyarakat kita ber-Islam karena keturunan, Islam KTP. Pergi ke mesjid hanya ketika hari raya. Berkerudung hanya ketika menjenguk orang kematian. Itu adalah kenyataan yang harus kita akui, tak ubahnya dengan orang kafir.
Belum lagi kita berbicara tentang kebiasaan minum-minuman keras, berjudi, nyabung ayam, berzina bahkan freesex. AstaghfiruLlah...na'udzubillahi-mindzlik.


Kemana 'Adat Bersandi Syarak- Syarak Bersandi Kitabullah  (ABS-SBK)' itu?
Maka ketika hukum agama (Islam) tidak bisa menyentilnya karena mereka 'yakin' akan bisa bertaubat sebelum kematian menjemputnya, lalu kenapa kita tidak memperkuat hukum adat yang sudah terbukti ampuh dalam mendidik anak kemenakan kita?
Padahal dalam Islam jelas dikatakan bahwa terputus hak pewarisan jika seseorang keluar dari Islam. Itu artinya ia bukan lagi saudara seiman, yang secara hukum halal darahnya. Nah jika hak waris saja sudah terputus maka tidak salah jika kita juga memutuskannya secara adat. Tidak bertentangan dengan ABS-SBK, bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar