Laman

Selasa, 14 Januari 2014

Lakukanlah Jika Kita Bisa Melakukan Perbaikan

Al Qur-anul Kariim (foto supercicak.blogspot.com)


Ketika kita memiliki kekuasaan, kekuatan atau pengaruh, kenapa kita harus menunjukkan diri kita yang sesungguhnya (dalam batas-batas yang dibolehkan)?
Karena menurut hemat saya inilah kesempatan untuk memberikan pengaruh kita kepada orang lain. Untuk menunjukkan diri kita yang sesungguhnya. Apapun itu, kondisi sudah jauh lebih kondusif untuk ber-Islam sekarang.
Bukankah sudah sampai kepada kita bahwa jika kita memiliki kekuatan maka ubahlah kemungkaran itu dengan kekuatan, jika kita mampu berkata-kata maka maksimalkanlah potensi kita dan baru kemudian baru jatuh kepada selemah-lemah iman? (alhadits)

Lihatlah kasus pernikahan Oki dan Rio kemaren itu. Saya sedikit berharap setelah ini pemisahan tamu laki-laki dan perempuan dalam pesta pernikahan bukan lagi menjadi sesuatu yang aneh.
Kalau kita boleh jujur ya, mungkin dalam banyak hal kita lebih dari Oki dan Rio, tapi kenapa dalam banyak hal justru kita kalah?
Cobalah lihat, betapa susahnya para akhwat muslimah untuk melobi keluarganya agar acara akad nikah dan walimatul'ursy se-Islami mungkin? Banyak rintangan yang dihadapi, padahal secara pengetahuan keislaman mungkin kita lebih dari dia. 

Bahkan tak jarang para mempelai pria itu sendiri yang tidak mau membuatnya rumit hanya demi pernikahannya sukses.
Saya bahkan pernah melihat foto pernikahan salah satu teman little circle saya yang akhwatnya berbaju persis seperti telanjang. Ketat dan ngepres, hanya ditutupi kemudian dengan kebaya borkat. Tahu borkat, kan? Bisa dibayangkan tidak? Begitulah adanya.

Masihkah ingat betapa dulu telinga kita dibisik-bisiki dengan larangan bersentuhan tangan laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim? Bahkan dibacakan haditsnya ke telingan kita. Katanya lebih baik memegang bara api yang panas (al hadits)
Tak sedikit dari kita yang harus bertengkar dengan keluarga gara-gara kurang bijak dan kurang cerdas dalam menolak bersentuhan tangan dengan non muhrim.

Kemudian kehadiran para ustadz di TV yang kita juluki dengan ustd. dunia, yang barangkali lebih banyak nyelenehnya ketimbang benernya, justru malah membudayakan tidak bersalaman (bersentuhan). Akibatnya
 banyak sedikitnya orang-orang mulai mengerti bahwa berjabat tangan dengan non muhrim itu bukan budaya Islam, sungguh tidak Islami.
Otomatis, secara perlahan namun pasti orang-orang mulai bisa menerima sikap tidak mau bersentuhan dengan non muhrim yang kita pahami.

Tapi apa? Kemudian kita dibuat nyungsep ketika salah seorang guru (yang kita gelari ust. akhirat) berjabat tangan dengan pembawa acara di televisi. Bantahan yang disampaikan itu tidak mengenakan telinga saya. "Kita tidak boleh duluan mengulurkan tangan, tapi kalau mereka yang duluan kita boleh menerima."
Hadeh...!
Kenapa nggak bilang dari dulu-dulu ust.? Kan kita nggak harus bertengkar dengan para sepupu, keluarga suami, saudara jauh, dsb, dst...

Nggak harus nggak enak hati begitu jadinya. Ustd. sih...telat bijaksananya. Hohoho...

Natalan dan tahun baru juga begitu. Dulu kita bangga dengan identitas dan izzah ke-Islaman kita. Kenapa enggak dari dulu ngasih contoh kalau begituan itu boleh? Kenapa baru sekarang-sekarang ini?
Sebenarnya permainan apa sih yang sedang dimainkan? Lucu gitu lho. Seakan-akan ayat-ayat dan hadits-hadits itu berbeda zaman berbeda pula tafsirannya. Ditafsirkan sesuai selera dan kebutuhan. Kok jadi berubah nekat begitu, sih?

Ukuran jilbab juga begitu. Dulu tuh ada emak-emak yang paling pedas kalau ngomentarin ukuran jilbab akhwat muslimah. Sekarang coba lihat!
Jilbabnya benar-benar betis (beda tipis) dengan jilbab ABG (Akhwat Baru Ghiroh). Padahal dulu tuh ya, banyak yang keder kalau ketemuan sama emak-emak ini. Bukan apa-apa, takut aja ukuran jilbab kita dikomentarin pedes.

Dulu tuh ya kita diajarin untuk bangga dengan Islam kita. Tapi sekarang kita diberi tontonan bahwa wala' dan bara itu telah menjauh, izzah dan iffah sudah kabur. Sekarang itu prinsipnya adalah bertahan atau tersungkur.
Na'udzubillahi min dzalik.
Sebenarnya apa sih yang sedang dicari?

Meski negara kita masih jauh dari Islami, tapi secara peradaban, muslimah sudah bisa jauh lebih lega sekarang. 


Saya ingat ketika pertama kali saya pakai gamis di kelas III SMA. Orang sekampung jadi bertanya, "apa anak Pak Haji itu sesat, ikut aliran apa ia?" Atau,
"Itu kok pakai baju soanger (baju orang hamil), apa ia hamil?" Atau,
"Apa nggak mau jabat tangan? Emangnya dia siapa sih? Emangnya kita ini najis?" Bahkan saya jadi bisa menjahit gamis saya sendiri hanya gara-gara tidak ada penjahit yang mau menjahitkan gamis untuk saya.

Sekarang kita sudah bisa memakai pakaian apa yang kita inginkan. Tapi anehnya justru di saat-saat gaya kita bisa diterima sekarang, kita malah mengurangi ukuran jilbab, mempersempit ukuran baju, sibuk bertabarruj, bermake-up dengan berani, sibuk bertanya matching apa tidak?
Sah-sah saja jika masih sesuai dengan aturan Al Qur-an dan Hadits Rasul. Jika tidak, bagaimana?
Seakan-akan terlihat sekarang itu banyak hal yang merasa perlu dikoreksi pada masa lalu hanya agar kita bisa bertahan. Agar kita bisa tetap eksis. Bahkan tanpa malu kita mengambinghitamkan dakwah karena ALlah.

Marilah berdo'a kepada ALlah, semoga kita tidak termasuk orang-orang yang digambarkan ALlah dalam kalam-Nya ini.
"Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian", padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.

 Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.

Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.

Dan apabila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan."

Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.

Apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman", mereka menjawab: "Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?" Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu.

Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: "Kami telah beriman." Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok".

Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka.

 Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.

Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.

 Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar)."
 (QS Al-Baqarah 2: 8-18)







Tidak ada komentar:

Posting Komentar