Laman

Kamis, 13 Februari 2014

Remeh Temeh : Kejar-kejaran Pakai Pisau

Sudah cukup sering kita mendengar bahwa pertengkaran yang terjadi di rumah tangga seringkali disebabkan oleh hal-hal sepele atau remeh temeh. Dan betapa sering kita mendengar bahwa komunikasi memegang peranan yang sangat penting dalam keutuhan dan stabilitas rumah tangga.

Kali ini saya ingin bercerita tentang soal sepele yang berakibat fatal yaitu KDRT dari suami kepada istrinya dan tontonan kekerasan pada anak-anak mereka.
Ini kisah nyata, sehingga maaf, saya terpaksa mengaburkan beberapa info.

Pasangan suami istri ini menikah tak lama setelah mereka berpacaran. Usia keduanya terpaut cukup jauh meski tak bisa dibilang sangat jauh. Istri adalah seorang pegawai di sebuah instansi dan suami adalah seorang pebisnis.
Maksud saya, kedua suami istri ini bekerja dan menghasilkan uang.

Suatu hari istri datang ke tempat bisnis suaminya. Ia datang sesuai dengan permintaan suaminya yang menginginkan istrinya sering-sering datang ke tempat bisnisnya.
Mereka mempunyai anak, jumlahnya lebih dari 2 dan kurang dari 4. Kala si istri di tempat bisnis suaminya, anak-anaknya mengurus dirinya sendiri di rumah mereka. Memang sudah cukup lama, semenjak anak-anak sudah mulai besar mereka memutuskan untuk tidak lagi memakai pembantu rumah tangga.

Sebenarnya batin si istri menolak, karena sebagai ibu yang juga bekerja ia berharap bisa menghabiskan waktu sepulang kerjanya di rumah bersama para kurcacinya. Tapi ia juga susah untuk menolak keegoisan si suami yang menginginkan istrinya menjadi dakocan di tempat bisnisnya.

Ba'da 'Asyar si istri pamit untuk pulang, sebelumnya ia ingin mampir ke pasar untuk belanja. Berhubung kebijakan keuangan rumah tangga mereka sedikit unik, si istri tidak lagi memiliki uang untuk belanja di hari itu. Sehingga ia meminta uang belanja kepada suaminya.
Si suami yang jengkel karena tidak ridho istrinya pulang duluan hanya memberi istrinya 50ribu rupiah saja. Tentu saja si istri protes dan meminta tambah. Karena si istri ingin berbelanja untuk 3 atau 4 hari mengingat besoknya ia juga harus masuk kerja.

Akhirnya karena si suami tidak mau menambah, si istri berinisiatif mengambil uang tabungannya yang tak seberapa di ATM. Ia lalu berbelanja dan kemudian pulang ke rumahnya untuk bertemu anak-anaknya sekaligus untuk memasak. Meski kesal ia tetap memasak untuk makan malam keluarga.

Pada petang harinya, ketika perubahan suhu udara sedang kuat-kuatnya dimana terjadi pergantian dinas matahari dan bulan, si suami pulang. Dengan wajah letih dan berkeringat ia membawa tentengan bermacam-macam lauk pauk untuk dimakan keluarganya.

Dengan wajah gembira ia menyerahkan belanjaannya kepada si istri. Menurut cerita si suami, ia ingin menebus dosa karena tadi telah membuat istri jengkel dengan tidak menambah uang belanja. Ia pikir karena kejadian tadi itu si istri jadi enggan memasak.
Namun apa yang didapatnya?

"Kok Tuan belanja? Aku sudah memasak sewajan penuh. Mau diapakan belanjaan ini?" Istri menyambut belanjaan suaminya dengan wajah kesal. Katanya, kalaulah si suami berniat berbelanja, mestinya kan ia memberi tahu dulu agar lauk pauk tidak berlimpah ruah.

Si suami yang tadinya ingin mendapat aplus jadi meradang. Capek-capek pulang kerja, menyempatkan diri pula belanja lauk pauk yang sudah matang, eh sampai di rumah dapat wajah masam dan omelan pula.
"Kita makan yang ini malam ini." Si suami menunjuk belanjaannya.

"Terus yang ini bagaimana? Mubazir, tahu!"

"Ya sudah. Buang, masukkan ke tempat sampah!" Lalu si suami menumpahkan masakan si istri ke tong sampah di dapur.

"Enak saja buang. Tahukah Tuan, Aku capek-capek belanja di pasar, menenteng belanjaan, memasak lagi hanya untuk dibuang-buang saja? Jika ada yang perlu di buang, maka belanjaan Tuanlah yang harus dibuang." Istri benar-benar meradang.

Kemudian terjadilah perang mulut. Keduanya saling merasa paling lelah, keduanya merasa paling benar, keduanya sama-sama merasa sakit hati dan merasa tidak dihargai. Hingga mereka lupa, anak-anak mereka yang berjumlah lebih dari 2 dan kurang dari 4 itu menonton perang terbuka kedua orang tuanya.

"Sudah! Diam!" Si suami berteriak.

"Engkaulah yang harus diam, Tuan. Tahulah engkau betapa lelahnya aku menghadapimu?"

"Aku juga lelah. Tak tahulah engkau apa yang sudah ku kerjakan dan untuk siapakah itu?"

Karena si istri tak juga mau menjahit mulutnya, akhir si suami kalap. Ia menjambak rambut istrinya. Pengakuannya sih, itu untuk mengejutkannya.
Tapi ternyata si istri benar-benar terkejut. Hingga ia membuang tangan si suami dengan tegas dan keras. Si suami makin meradang. Ia memukul istrinya, si istri mengelak, anak-anak menonton ketakutan.
Dan kejadiannya masih di dapur. Alangkah ajaibnya mereka. Kelelahan benar-benar menggerogoti keduanya.

Hingga akhirnya terjadi dorong-dorongan. Dan kemudian si suami yang tak terbiasa disanggah ini menjadi kalap. Ia meraih pisau dapur yang tadi dipakai istrinya untuk memasak.
Melihat gelagat suaminya, si istri berlari menjauh, ia khawatir setengah mati. Dan terjadilah apa yang dikhawatirkannya. Si suami mengejarnya dengan penuh emosi. Seorang lelaki yang merasa harga dirinya direndahkan kalap mengejar istrinya.
Istri berlari menjauh dengan panik. Satu-satunya yang ada di pikirannya adalah menyelamatkan diri dan mencari bantuan. Ia berlari ke pintu depan hingga ke teras, berteriak minta tolong memanggil tetangga.
Anak-anaknya yang berjumlah lebih dari 2 dan kurang dari 4 itu menangis-nangis ketakutan. 
"Maak...lari jauh, Maak. Lariii...!" 
Bocah-bocah itu saling berpelukan menangis ketakutan.

Sampailah si suami di pintu depan. Ia tersengal-sengal meminta istrinya berhenti berteriak minta tolong dan memintanya segera masuk. Si istri keberatan karena ia takut kena tusukan pisau dapur.
Si suami tersungkur menangis, menyesal dan meminta ampun pada istrinya. Ia memohon-mohon agar si istri sudi memaafkannya.

Setelah si suami terlihat tenang dan anak-anak berhenti menangis, si istri mengambil pisau dapur itu. Ia menangis. "Ya Tuhan, teganya engkau Tuan. Bukankah ini pisau pemberian Ayahku? Tega sekali kau mengejarku dengan pisau pemberian ayahku."
Si suami makin tersedu-sedu. Ia memeluk kaki istrinya yang sedang berdiri mematung. Berharap ia dimaafkan. Si suami takut sekali, karena itu bukan kali pertama ia lepas kontrol. Sementara si istri sudah menjatuhkan ancaman, jika berlaku kasar lagi maka ia dan anak-anak memilih pergi.

Demi anak-anak, si istri masih memberikan ampunan. Mereka berpelukan kembali. 
Kemudian semua bersiap menyongsong hari esoknya. Entah kekerasan apalagi yang akan dipertontonkan ke anak-anaknya.
***

Begitulah. Bukankah sebenarnya sumber permasalahan itu sepele? Andai mereka mau saling mengerti, mau untuk saling memahami, mau untuk saling menyadari kondisi, mau untuk saling mendengarkan, tentu hal-hal semacam ini tak perlu terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar