Laman

Minggu, 30 Maret 2014

Manfaat (lain) dari Berpakaian Rangkap

Hamzah melupakan sakitnya, ia melongo dan kemudian berkomentar, "Apa Ummi dulu anak pramuka?"
Anak pramuka katanya. Tak tahukah engkau, Nak, emakmu ini dulu sangat mahir berlarian di pematang sawah, meloncat-loncat di batuan sungai, bahkan diam-diam memanjat batang jambu di depan rumah.

Sore ini, sekitar pukul 4-an kami bertiga, saya, Uda Hamzah dan Dek Fathimah, pulang dari jalan-jalan menghibur diri, tepatnya menghibur 2 bocah saya, ya. Sementara si Uni dan Abinya pulang ke Padang karena suatu urusan. 
Gramedia adalah tempat terakhir perjalanan. Keluar dari toko buku tersebut kami sudah disambut gerimis, namun saya ngotot pulang karena sebenarnya rumah kami juga tak terlalu jauh dari toko itu, anak-anak juga sudah lelah sangat. 
Angkot yang kami tumpangi berhenti di depan komplek. Hujan masih gerimis. Dengan wajah sumringah ke dua bocahku mengucapkan terima kasih karena sudah diajak jalan-jalan.

Namun, sesampai di depan rumah gerimis semakin menjadi, semakin basah. Dan saya kehilangan kunci pagar yang serangkai dengan kunci rumah. Alamak...tadi saya umpetin di mana, ya. Saya sibuk mengubek-ngubek isi tas dan gerimis semakin menjadi-jadi.
"Ayo Uda, lompati aja pagarnya." Saya memberi instruksi agar Hamzah tidak menunggu saya menemukan kunci. Hamzah bingung karena tidak biasanya saya ini tidak teratur. Hamzah sangat tahu bahwa ada aturan tak tertulis, keluar masuk rumah harus menutup pintu, kipas angin, televisi harap dimatikan jika tak digunakan dsb. Lha sekarang emaknya menyuruhnya melompati pagar?
"Ummi yakin Hamzah harus manjat?" Dia bertanya dengan heran.
"Iyalah, gerimisnya makin lebat, nanti antum kebasahan, adek juga nih. Ayo segera, Ummi perlu bantuan untuk Fathimah."

Tanpa pikir lagi, Hamzah langsung melompat setelah sebelumnya agak memanjat karena pagar rumah kami tergolong tinggi, kira-kira sebatas bahu saya dari luar pagar rumah. Kalau dari halaman lebih tinggi lagi karena tanahnya menurun, kira-kira seleher saya. 
Yang saya pikirkan adalah agar anak-anak dan belanjaan mereka tidak kebasahan. 
Kemudian saya meminta Hamzah untuk menyambut Fathimah, adeknya, dari balik pagar. Hamzah yang kecil kurus sempoyongan menerima Fathimah. Fathimahnya juga bergerak-gerak, alhasil keduanya bergulingan.
"Ya Allah, Uda...hati-hati." Saya melihat adegan itu dengan cemas. 
Namun kunci juga masih belum ditemukan. Aduh bagaimana ini. Pipi dan tangan saya mulai merasakan basahnya hujan. Akhirnya sayapun nekat, selain tak mau berbasah-basah dalam kondisi lelah, saya juga harus memeriksa ke dua anak saya. Saya harus memastikan bahwa kecelakaan tadi itu tidak menyakiti mereka.
Setelah melirik kiri dan kanan, memastikan tidak ada orang yang melihat, saya pun melompati pagar dengan sigap.
Dan tindakan saya membuat Hamzah melongo. Itulah kali pertama seumur hidupnya ia melihat emaknya melompati pagar. "Apa Ummi dulu anak pramuka?" tanyanya dengan lugunya.

Sebenarnya, semenjak nyaris 5 bulanan tinggal di rumah dinas ini, saya sudah beberapa kali memanjat pagar. Pasalnya gembok pagarnya macet sementara saya sudah terlambat sekali untuk menjemput Fathimah pulang dari TK-nya sekalian mengantarkan makan siang si Uni dan si Uda.
Pagar rumah ini memang akhirnya kami putuskan untuk di gembok, karena sudah cukup sering kehilangan sepatu dan sandal di  perumahan ini. Apalagi ada orang stress dan tunawisma yang nekat masuk pekarangan rumah orang. Namun karena kena cipratan hujan, gemboknya jadi sering macet, berkarat.
Jadi kalau sudah terburu-buru, aduhai deh rasanya, hiyy gemes, deh. Kita dah terkejar-kejar waktu, eh gemboknya merajuk pula, 'sedap' nian deh rasanya.

Untuk kasus seperti ini, sebenarnya gaya berpakaian saya sangat saya syukuri. Tidak terbayang rasanya kalau saya harus melompati pagar yang tingginya sekitar 1,25m sementara saya memakai rok span.

Barangkali manfaat yang saya rasakan ini termasuk nyeleneh, ya. Tapi sungguh, berpakaian rangkap yang sudah saya praktekan sejak awal saya duduk di bangku perkuliahan di akhir tahun 1994, sungguh membantu saya yang sangat suka bergerak cepat ini.

Semenjak awal berjilbab, awal tahun 1993, sebenarnya saya sudah mempelajari konsep berpakaian rangkap ini; pakaian luar dan pakaian dalam. Maaf ya, pakaian dalam yang saya maksud di sini bukanlah cd dan bra, namun 'pakaian dalam' dalam syari'at Islam, yaitu pakaian di dalam rumah ketika kita hanya bersama muhrim kita saja. 
Saya membiasakan berbaju kaus di dalam, bahkan terkadang daster yang agak simpel serta selalu bercelana panjang. Dimana aurat utama saya tetap tertutup dan sopan. Memang sih, terkadang pakaian di dalam ini agak sempit, tapi tidaklah ketat.
Kemudian ketika hendak ke luar rumah atau hendak bertemu dengan non muhrim saya membiasakan menutup pakaian dalam saya dengan gamis atau tunik yang longgar. Sehingga begitu urusan saya dengan non muhrim selesai, saya kembali ke dalam rumah dan saya hanya cukup melepas pakaian luar saya untuk kemudian saya kembali beraktifitas di dalam rumah.

Jadi bercelana panjang adalah hal yang biasa bagi saya. Mau baju luarannya gamis kek, atau tunik, yang penting celana panjang tidak terlupakan. 
Dan itulah salah satu manfaatnya yang terasa. 
Tak terbayang rasanya ketika gembok pagar saya macet dan saya harus keluar masuk dengan cepat, sementara saya tidak bercelana panjang.
Alhamdulillah, gaya busana ini menyelamatkan banyak waktu saya yang selalu ingin serba cepat. Pakaiannya syar'i, aurat saya terjaga dan aktifitas saya tak terganggu.

Mau lompat pagar? Ayo...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar