Lihatlah, maksiat makin marak
sekarang. Penyebabnya bermacam. Mulai dari arus informasi yang demikian
menggila, yang ‘tak sempat lagi’ untuk difilter oleh penyelenggara informasi, hingga
kebiasaan permisif masyarakat terhadap hal-hal yang tadinya dianggap tabu.
Bahkan maksiat semakin menjadi-jadi karena fungsi kontrol yang makin melemah.
Ketidakpedulian dan sikap masa bodoh kita sebagai bagian masyarakat, juga turut
andil dalam memicu maraknya maksiat. Padahal kita ini seperti satu tubuh, lho.
Bagaimana mungkin bagian tubuh yang lain tidak merasakan efek negatifnya ketika
bagian tubuhnya yang lain sedang menenggak racun dan perlahan-lahan menuju
kematiannya?
Jangan pernah berfikir bahwa
maksiat yang dilakukan oleh orang lain sekalipun bukan berada di sekitar kita,
tidak akan berpengaruh terhadap jiwa kita. Meski tidak membuat kita ikut
bermaksiat tetapi ia akan membentuk kita menjadi orang yang tidak peduli ketika
kita hanya tahu kesholehan diri sendiri. Menjadi sholeh itu baik tapi terlibat
dalam menyolehkan masyarakat itu akan lebih baik lagi.
Maka tunjukkanlah
kepedulian kita dengan saling menasehati/ menegur, mari kita jalankan fungsi
kontrol dengan baik. Jika kita tidak mampu mengubah dengan tangan (kekuasaan),
maka ubahlah dengan lisan. Jika kita mampu dengan lisan, kenapa tidak?
Setidak-tidaknya kita harus mencoba dulu sebelum memutuskan berada diposisi
selemah-lemah iman.
Sumber : writeenage.blogspot.com |
Menurut
Muh. Nuh (Sabili, 2004), hidup bersama bersaudara seringkali dideskripsikan
seperti berjalan berpegangan di lorong yang gelap nan sempit. Kala itu
masing-kita kita harus selalu saling mengawasi. Kata saling ini bermakna
proaktif, timbal balik, dua arah. Karena bisa jadi lubang lebih tampak dari
jarak yang jauh ketimbang yang dekat. Agar jangan sampai ketika satu orang
tercebur ke lubang, perjalanan akan tertunda, mandeg dan semuanya akan kecipratan
lumpurnya. Itulah gunanya kita untuk selalu saling menasehati, demi keselamatan
dan kelancaran perjalanan...kita.
"....Dan tolong - menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong - menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan...." (QS. al-Maa'idah: 3)
Kapan
teguran/nasehat ini harus diberikan?
Secara
umum teguran diberikan ketika terjadi pelanggaran. Ingatlah akan sebuah nasehat
RasuluLlah tentang betapa pentingnya berada dalam kebersamaan, bahwa “srigala
hanya akan mengancam domba yang tercecer dari kelompoknya.”
Ketahuilah bahwa ketika seorang mukmin terpisah dari lingkungan sehat yang selama ini membuatnya tumbuh, maka di saat itu kondisi-kondisi yang tidak kondusif mulai "mengancam"nya.
Ketahuilah bahwa ketika seorang mukmin terpisah dari lingkungan sehat yang selama ini membuatnya tumbuh, maka di saat itu kondisi-kondisi yang tidak kondusif mulai "mengancam"nya.
Sesuatu yang
tadinya memiliki nilai maksiat, perlahan namun pasti menjadi terbiasa dilihat,
kemudian dia mulai berpartisipasi baik secara aktif ataupun pasif dan pada
akhirnya dialah promotornya bahkan pelakunya. Saat itulah seseorang bisa
berubah secara perlahan, na'udzubillah.
Seringkali bahkan rasa percaya diri
yang ‘kelewat’ tinggi, membuat seseorang terjerumus, dia menganggap bahwa
dirinya yang sudah memahami Islam dengan baik, takkan tergoda. Dia lupa bahwa
hidayah itu adalah milik ALlah swt, yang akan terlepas dari genggamannya jika
dia tidak kuat mencengkramnya.
"Dan sesungguhnya jika Kami menghendaki, niscaya Kami lenyapkan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu...." (QS. al-Isra: 85)
Kendala
dalam memberi teguran/ Nasehat
Namun
ternyata tidak mudah untuk melaksanakannya. Banyak hal yang mempengaruhi
sehingga sikap saling menjaga ini terkendala, padahal tidak bisa dipungkiri
bahwa sikap ini merupakan perwujudan dari hak dan kewajiban berukhuwwah.
Ketidakmampuan melakukan teguran ini bisa dilihat dari beberapa sudut pandang,
pertama; Ketidakmengertian
akan hakikat pelanggaran.
Harus
diakui bahwa pemahaman masing-masing kita berbeda, latar belakang dan situasi
pembelajaran berpengaruh cukup besar dalam hal ini. Sesuatu dinilai sebagai
sebuah pelanggaran bagi seseorang, sedangkan bagi orang lain itu belum tentu
sebuah pelanggaran, setidak-tidaknya kondisi itu berada pada kondisi toleransi
menurut yang lainya. Langkah yang paling baik dalam menilai pelanggaran ini
adalah bahwa kita semua harus merujuk kepada al Qur-an dan sunah Rosul, belajar
dari siroh/ sejarah bagaimana RasuluLlah saw bergaul dengan para sahabat r.a.
kedua; Sikap
hormat/ihtirom yang tidak pada tempatnya.
Sedari
kecil kita diajarkan untuk menghormati yang lebih tua, baik dalam tutur kata
atau perilaku. Dan kita terbiasa dengan cap ‘akhlak tercela’ jika berani
menegur yang lebih tua.
Seiring
berjalannnya waktu, defenisi ‘tua’ juga mengalami perubahan. Berada dalam
komunitas manusia yang banyak, tua tak mutlak didefenisikan dari segi usia.
Pengalaman berorganisasi, kedudukan di organisasi bahkan perjenjangan yang
diterapkan berdasarkan indikator-indikator tertentu juga telah mempengaruhi
defenisi tua. Jadi tua taklah mutlak perkara usia semata, tuapun telah memiliki
arti dituakan. Dan itu memiliki konsekwensi suatu penghormatan tertentu yang
tidak boleh dilanggar begitu saja, ada aturan mainnya.
Tanpa
kita sadari, kita telah dibesarkan dalam lingkungan yang menganut sistem
senioritas, yang muda-lah yang harus mengalah dan menyesuaikan diri; dan
kesalahan/kekhilafan yang tua dinilai sebagai sebuah kepatutan, lumrah sebagai
manusia. Padahal kesalahan yang lebih tua berdampak cukup besar, bukan hanya
untuk dirinya tapi juga untuk orang-orang disekelilingnya. Sebenarnya tidak ada
yang salah dengan sikap hormat ini selagi dia berada di koridor yang benar dan
cara yang benar. Artinya jangan sampai
sikap hormat menghalangi kita dari menunaikan kewajiban beramar ma'ruf nahi
mungkar dan memberikan hak saudara kita untuk dinasehati. Barangkali yang
perlu diperhatikan adalah bagaimana cara menegur yang pas, tanpa
mempermalukannya dan tanpa mengurangi rasa hormat.
ketiga; Keengganan
berlaku proaktif.
Jawaban
yang paling sering kita dengar ketika ada yang bertanya kenapa tidak
diingatkan, adalah: engkau tidak meminta ku untuk mengingatkanmu.
Ketahuilah
bahwa sedikit sekali dari kita yang mampu untuk menemukan kesalahannya sendiri.
Untuk itulah diperlukan bantuan orang lain. Bersikap
aktiflah dalam berinteraksi, jadilah saudara yang baik bagi saudara kita,
jadilah cermin yang bagus untuknya.
keempat; Merasa
diri lebih kurang.
Sikap
ini ada hubungannya dengan rasa minder. Ketika
kita merasa orang yang akan kita tegur jauh lebih pandai dari pada kita,
biasanya rasa percaya diri akan turun secara perlahan. Otomatis begitu saja.
Padahal tidak ada manusia yang sempurna, pandai di segala bidang. Manusia
siapapun dia, selalu memiliki keterbatasan.
Ketika pelanggaran muncul maka
di saat itu dia perlu ditegur, siapapun dia.
Yang perlu diperhatikan adalah
caranya. Menegur orang yang lebih pandai, berlebih di segala bidang, cakap dalam
bebicara, berbeda caranya dengan menegur orang yang biasa-biasa saja.
Menghadapi orang seperti ini tidak boleh terkesan asal bunyi, harus ada
argumennya, bukti-bukti yang bisa mendukung, dalil-dalil yang menguatkan. Artinya
bukan cuma menyalahkan tapi bisa menjelaskan kenapa sesuatu itu dianggap salah.
Akan lebih baik lagi jika bisa memberikan kritikan yang membangun, orang-orang
pandai biasanya menyukai sesuatu yang sistematis dan akurat.
kelima; Rasa
khawatir yang berlebihan akibat teguran.
Kadangkala
kita takut akan efek dari teguran yang kita berikan. Akhirnya demi menjaga
hubungan kita membiarkan saudara kita tersesat; terlena dalam pelanggarannya. Harus
kita pahami, adalah hak setiap orang untuk mempertahankan pendapatnya atau
pilihannya. Sehingga wajar saja kita
banyak kita temui orang-orang yang mau bersitegang demi mempertahankan
keputusannya.
Walaupun begitu, sebagai saudara jika kita menemukan kecacatan
dalam pilihannya adalah kewajiban kita untuk memberitahunya. Jika dia marah, itu adalah harga yang harus
kita terima karena menasehatinya. Jika yang kita informasikan adalah
hal yang benar, disampaikan dengan cara yang benar, kita tidak perlu gusar.
Barangkali saat ini dia marah, namun seiring dengan berjalannya waktu tentu (insyaaLlah)
dia akan menyadari kesalahannya.
keenam; Ketakutan
akan kemampuan diri yang lemah.
Seringkali
orang tidak mau menegur orang lain adalah karena dia sendiri takut dengan
tegurannya. Khawatir bahwa dia takkan mampu mengerjakan kebaikan seperti
anjurannya. Padahal ketika kita menasehati orang lain, sebenarnya kita sedang
memotifasi diri sendiri untuk berbuat baik. Sikap enggan menasehati dengan
alasan ini memberikan sinyal bahwa ternyata diapun enggan untuk memperbaiki
dirinya sendiri. Bagaimana mungkin
seseorang yang tidak mau berbasah-basah akan bersusah-susah mengajari orang
lain berenang, kira-kira seperti itu.
ketujuh; Egois,
ketidakpedulian.
Sikap
masa bodoh banyak kita temukan sekarang. Tidak peduli dengan apa yang dilakukan
atau apa yang terjadi dengan orang lain, asal tidak mempengaruhi kita, atau membuat
kita rugi, begitulah kira-kira orang egois. Sehingga segala sesuatu berubah menjadi
bebas nilai, dan pelanggaran demi pelanggaran terjadi begitu saja
disekelilingnya tanpa ada keinginan sedikitpun untuk memperbaikinya.
Dia
melupakan hadist Rasul;
" Siapa yang melihat kemungkaran, hendaklah mengubah dengan tangannya. Bila tidak mampu, hendaklah dengan lidahnya (ucapan), dan jika tidak mampu, hendaklah dengan hatinya. Itulah keimanan yang paling lemah." (HR.Muslim)
Demikianlah,
ketika memberi teguran/ nasehat tidak lagi menjadi budaya karena alasan-alasan
yang tidak bisa diterima. Maka wajarlah jika kemaksiatan merajalela. Terhidang
begitu saja di depan mata tanpa ada keinginan untuk memperbaikinya.
"Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran." (QS. al-'Ashr: 1-3)
WaLlahu'alam
Semoga
bermanfaat
terimakasih sudahmampir,silahkantinggalkanjejakjikaberkenan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar