Laman

Minggu, 12 Mei 2013

Memberi Teguran/ Nasehat- 1


Lihatlah, maksiat makin marak sekarang. Penyebabnya bermacam. Mulai dari arus informasi yang demikian menggila, yang ‘tak sempat lagi’ untuk difilter oleh penyelenggara informasi, hingga kebiasaan permisif masyarakat terhadap hal-hal yang tadinya dianggap tabu. Bahkan maksiat semakin menjadi-jadi karena fungsi kontrol yang makin melemah. Ketidakpedulian dan sikap masa bodoh kita sebagai bagian masyarakat, juga turut andil dalam memicu maraknya maksiat. Padahal kita ini seperti satu tubuh, lho. Bagaimana mungkin bagian tubuh yang lain tidak merasakan efek negatifnya ketika bagian tubuhnya yang lain sedang menenggak racun dan perlahan-lahan menuju kematiannya?

Jangan pernah berfikir bahwa maksiat yang dilakukan oleh orang lain sekalipun bukan berada di sekitar kita, tidak akan berpengaruh terhadap jiwa kita. Meski tidak membuat kita ikut bermaksiat tetapi ia akan membentuk kita menjadi orang yang tidak peduli ketika kita hanya tahu kesholehan diri sendiri. Menjadi sholeh itu baik tapi terlibat dalam menyolehkan masyarakat itu akan lebih baik lagi.
Maka tunjukkanlah kepedulian kita dengan saling menasehati/ menegur, mari kita jalankan fungsi kontrol dengan baik. Jika kita tidak mampu mengubah dengan tangan (kekuasaan), maka ubahlah dengan lisan. Jika kita mampu dengan lisan, kenapa tidak? Setidak-tidaknya kita harus mencoba dulu sebelum memutuskan berada diposisi selemah-lemah iman.

Sumber : writeenage.blogspot.com
Menurut Muh. Nuh (Sabili, 2004), hidup bersama bersaudara seringkali dideskripsikan seperti berjalan berpegangan di lorong yang gelap nan sempit. Kala itu masing-kita kita harus selalu saling mengawasi. Kata saling ini bermakna proaktif, timbal balik, dua arah. Karena bisa jadi lubang lebih tampak dari jarak yang jauh ketimbang yang dekat. Agar jangan sampai ketika satu orang tercebur ke lubang, perjalanan akan tertunda, mandeg dan semuanya akan kecipratan lumpurnya. Itulah gunanya kita untuk selalu saling menasehati, demi keselamatan dan kelancaran perjalanan...kita.

"....Dan tolong - menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong - menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan...." (QS. al-Maa'idah: 3)

Kapan teguran/nasehat  ini harus diberikan?

Secara umum teguran diberikan ketika terjadi pelanggaran. Ingatlah akan sebuah nasehat RasuluLlah tentang betapa pentingnya berada dalam kebersamaan, bahwa “srigala hanya akan mengancam domba yang tercecer dari kelompoknya.”
Ketahuilah bahwa ketika seorang mukmin terpisah dari lingkungan sehat yang selama ini membuatnya tumbuh, maka di saat itu kondisi-kondisi yang tidak kondusif mulai "mengancam"nya. 
Sesuatu yang tadinya memiliki nilai maksiat, perlahan namun pasti menjadi terbiasa dilihat, kemudian dia mulai berpartisipasi baik secara aktif ataupun pasif dan pada akhirnya dialah promotornya bahkan pelakunya. Saat itulah seseorang bisa berubah secara perlahan, na'udzubillah. 

Seringkali bahkan rasa percaya diri yang ‘kelewat’ tinggi, membuat seseorang terjerumus, dia menganggap bahwa dirinya yang sudah memahami Islam dengan baik, takkan tergoda. Dia lupa bahwa hidayah itu adalah milik ALlah swt, yang akan terlepas dari genggamannya jika dia tidak kuat mencengkramnya.
"Dan sesungguhnya jika Kami menghendaki, niscaya Kami lenyapkan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu...." (QS. al-Isra: 85)

Kendala dalam memberi teguran/ Nasehat

Namun ternyata tidak mudah untuk melaksanakannya. Banyak hal yang mempengaruhi sehingga sikap saling menjaga ini terkendala, padahal tidak bisa dipungkiri bahwa sikap ini merupakan perwujudan dari hak dan kewajiban berukhuwwah. Ketidakmampuan melakukan teguran ini bisa dilihat dari beberapa sudut pandang,

pertama; Ketidakmengertian akan hakikat pelanggaran.

Harus diakui bahwa pemahaman masing-masing kita berbeda, latar belakang dan situasi pembelajaran berpengaruh cukup besar dalam hal ini. Sesuatu dinilai sebagai sebuah pelanggaran bagi seseorang, sedangkan bagi orang lain itu belum tentu sebuah pelanggaran, setidak-tidaknya kondisi itu berada pada kondisi toleransi menurut yang lainya. Langkah yang paling baik dalam menilai pelanggaran ini adalah bahwa kita semua harus merujuk kepada al Qur-an dan sunah Rosul, belajar dari siroh/ sejarah bagaimana RasuluLlah saw bergaul dengan para sahabat r.a.

kedua; Sikap hormat/ihtirom yang tidak pada tempatnya.

Sedari kecil kita diajarkan untuk menghormati yang lebih tua, baik dalam tutur kata atau perilaku. Dan kita terbiasa dengan cap ‘akhlak tercela’ jika berani menegur yang lebih tua.
Seiring berjalannnya waktu, defenisi ‘tua’ juga mengalami perubahan. Berada dalam komunitas manusia yang banyak, tua tak mutlak didefenisikan dari segi usia. Pengalaman berorganisasi, kedudukan di organisasi bahkan perjenjangan yang diterapkan berdasarkan indikator-indikator tertentu juga telah mempengaruhi defenisi tua. Jadi tua taklah mutlak perkara usia semata, tuapun telah memiliki arti dituakan. Dan itu memiliki konsekwensi suatu penghormatan tertentu yang tidak boleh dilanggar begitu saja, ada aturan mainnya.

Tanpa kita sadari, kita telah dibesarkan dalam lingkungan yang menganut sistem senioritas, yang muda-lah yang harus mengalah dan menyesuaikan diri; dan kesalahan/kekhilafan yang tua dinilai sebagai sebuah kepatutan, lumrah sebagai manusia. Padahal kesalahan yang lebih tua berdampak cukup besar, bukan hanya untuk dirinya tapi juga untuk orang-orang disekelilingnya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan sikap hormat ini selagi dia berada di koridor yang benar dan cara yang benar. Artinya jangan sampai sikap hormat menghalangi kita dari menunaikan kewajiban beramar ma'ruf nahi mungkar dan memberikan hak saudara kita untuk dinasehati. Barangkali yang perlu diperhatikan adalah bagaimana cara menegur yang pas, tanpa mempermalukannya dan tanpa mengurangi rasa hormat.

 ketiga; Keengganan berlaku proaktif.

Jawaban yang paling sering kita dengar ketika ada yang bertanya kenapa tidak diingatkan, adalah: engkau tidak meminta ku untuk mengingatkanmu.
Ketahuilah bahwa sedikit sekali dari kita yang mampu untuk menemukan kesalahannya sendiri. Untuk itulah diperlukan bantuan orang lain. Bersikap aktiflah  dalam berinteraksi, jadilah saudara yang baik bagi saudara kita, jadilah cermin yang bagus untuknya.

keempat; Merasa diri lebih kurang.

Sikap ini ada hubungannya dengan rasa minder. Ketika kita merasa orang yang akan kita tegur jauh lebih pandai dari pada kita, biasanya rasa percaya diri akan turun secara perlahan. Otomatis begitu saja. Padahal tidak ada manusia yang sempurna, pandai di segala bidang. Manusia siapapun dia, selalu memiliki keterbatasan. 

Ketika pelanggaran muncul maka di saat itu dia perlu ditegur, siapapun dia. 
Yang perlu diperhatikan adalah caranya. Menegur orang yang lebih pandai, berlebih di segala bidang, cakap dalam bebicara, berbeda caranya dengan menegur orang yang biasa-biasa saja. Menghadapi orang seperti ini tidak boleh terkesan asal bunyi, harus ada argumennya, bukti-bukti yang bisa mendukung, dalil-dalil yang menguatkan. Artinya bukan cuma menyalahkan tapi bisa menjelaskan kenapa sesuatu itu dianggap salah. Akan lebih baik lagi jika bisa memberikan kritikan yang membangun, orang-orang pandai biasanya menyukai sesuatu yang sistematis dan akurat.

kelima; Rasa khawatir yang berlebihan akibat teguran.

Kadangkala kita takut akan efek dari teguran yang kita berikan. Akhirnya demi menjaga hubungan kita membiarkan saudara kita tersesat; terlena dalam pelanggarannya. Harus kita pahami, adalah hak setiap orang untuk mempertahankan pendapatnya atau pilihannya. Sehingga wajar saja kita  banyak kita temui orang-orang yang mau bersitegang demi mempertahankan keputusannya. 
Walaupun begitu, sebagai saudara jika kita menemukan kecacatan dalam pilihannya adalah kewajiban kita untuk memberitahunya. Jika dia marah, itu adalah harga yang harus kita terima karena menasehatinya.  Jika yang kita informasikan adalah hal yang benar, disampaikan dengan cara yang benar, kita tidak perlu gusar. Barangkali saat ini dia marah, namun seiring dengan berjalannya waktu tentu (insyaaLlah) dia akan menyadari kesalahannya.

keenam; Ketakutan akan kemampuan diri yang lemah.

Seringkali orang tidak mau menegur orang lain adalah karena dia sendiri takut dengan tegurannya. Khawatir bahwa dia takkan mampu mengerjakan kebaikan seperti anjurannya. Padahal ketika kita menasehati orang lain, sebenarnya kita sedang memotifasi diri sendiri untuk berbuat baik. Sikap enggan menasehati dengan alasan ini memberikan sinyal bahwa ternyata diapun enggan untuk memperbaiki dirinya sendiri. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak mau berbasah-basah akan bersusah-susah mengajari orang lain berenang, kira-kira seperti itu.

ketujuh; Egois, ketidakpedulian.

Sikap masa bodoh banyak kita temukan sekarang. Tidak peduli dengan apa yang dilakukan atau apa yang terjadi dengan orang lain, asal tidak mempengaruhi kita, atau membuat kita rugi, begitulah kira-kira orang egois. Sehingga segala sesuatu berubah menjadi bebas nilai, dan pelanggaran demi pelanggaran terjadi begitu saja disekelilingnya tanpa ada keinginan sedikitpun untuk memperbaikinya.
Dia melupakan hadist Rasul;
" Siapa yang melihat kemungkaran, hendaklah mengubah dengan tangannya. Bila tidak mampu, hendaklah dengan lidahnya (ucapan), dan jika tidak mampu, hendaklah dengan hatinya. Itulah keimanan yang paling lemah." (HR.Muslim)


Demikianlah, ketika memberi teguran/ nasehat tidak lagi menjadi budaya karena alasan-alasan yang tidak bisa diterima. Maka wajarlah jika kemaksiatan merajalela. Terhidang begitu saja di depan mata tanpa ada keinginan untuk memperbaikinya.
"Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran." (QS. al-'Ashr: 1-3)

WaLlahu'alam
Semoga bermanfaat
Remake catatan FB Vetrieni Bt Munir  pada 29 Oktober 2012 pukul 11:01




terimakasih sudahmampir,silahkantinggalkanjejakjikaberkenan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar