Laman

Selasa, 27 Januari 2015

Ikuti Bisikan Hatimu!



Meskipun saya terlahir dari keluarga muslim, namun itu tidak berarti saya tahu banyak hal tentang Islam dari keluarga. Yang saya ketahui tak lebih dari sekedar pengertian ibadah secara sempit dan tak lepas dari rukun islam yang 5.
Termasuk hal berhijab. 
Dalam pandangan anak kecil saya kala itu, hijab (dalam hal ini jilbab dan lilik –orang sekarang mengenalnya pashmina) hanya dipakai oleh orang-orang yang menempuh jalur pendidikan agama. Seperti anak-anak MTsN yang biasa berseliweran di jalan di depan rumah saya atau anak-anak PGA seperti halnya kakak perempuan saya. Atau mungkin juga anak-anak yang sekolah di sekolah berasrama putri di Padang Panjang atau IAIN (STAIN sekarang). Jadi ketika melihat mereka saya sempat berfikir bahwa hijab hanya untuk mereka.
Kemudian sebagai nilai religius. Meski saya bersekolah sore di MDA selepas jam belajar SD, hijab hanya sebatas ketika saya ikutan MTQ. Karena semua guru-guru perempuan saya yang nota bene lulusan sekolah agama seperti yang saya uraikan di atas, hanya berselendang. Bahasa Minangnya hanya bertingkuluak. Itu sebagai penanda bahwa kita ini religius.

Seiring berjalannya waktu, saya yang sejak kecil memang suka memperhatikan orang dan lingkungan sekitar mulai bertanya-tanya. Saya juga muslim, kenapa hanya anak-anak yang sekolah di sekolah agama saja yang memakai hijab. Bukankah kami semua ini juga muslimah? Jika mereka ada kewajiban, tentu saya juga dikenai semestinya.
Hanya saja, jawaban yang saya terima kala itu dan saya harus berpuas diri dengannya adalah bahwa jilbab/lilik hanya untuk anak sekolah agama. Karena saya bersekolah di sekolah umum maka kewajiban itu gugur.

Satu yang membuat tanya saya membesar adalah, mereka-mereka yang sekolah di sekolah berbasis agama hanya berjilbab/ lilik ketika ke sekolah atau kegiatan sekolah. Lepas dari semua kegiatan itu mereka tak ubahnya seperti saya. Istilah kami saat itu adalah mereka melepas tendanya.
Maka tak heran, kemudian ketika saya ikut kegiatan-kegiatan yang sifatnya religi, seperti halnya MTQ, maka itulah kesempatan saya memakai jilbab tanpa perlu merasa dipandang aneh.
Di sinilah saya mulai berfikir ada apa dan kenapa.

Sebenarnya, dulu ketika isu-isu jilbab beracun (seiring dengan peristiwa Lampung yang menyedihkan itu) saya sudah mulai tertarik dengan jilbab. Namun seperti yang saya sampaikan di atas, karena saya anak sekolah umum maka kewajiban saya gugur.
Alhamdulillah, ketika keinginan saya sudah tak terbendung sementara emak saya tidak ridho saya masuk sekolah agama (ini karena imej sekolah agama (MTsN) di kampung saya adalah untuk anak-anak ber-NEM rendah) saya bertemu dengan orang-orang baik yang mengenalkan saya dengan jilbab sebagai kewajiban. 
Keinginan saya semakin kuat ketika seorang kakak kelas di SMA saya, namanya Uni Tresia Roza Linda, memutuskan berjilbab. Dan dia tidak diapa-apain. Karena memang saat itu jilbab mulai legal di sekolah-sekolah.
Kemudian saya temui beberapa teman satu angkatan saya di SMA ternyata jebolan MTsN, diantara mereka ada yang melepas jilbabnya namun ada juga yang mempertahankannya. Saya tertarik dengan teman-teman yang mempertahankan jilbabnya ini. 

Di kelas 2 SMA, beberapa teman mendahului saya dalam berjilbab. Kemudian saya berpacu dengan mereka.
Kendala yang paling besar dalam berhijab sempurna (yaitu berjilbab sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasul) adalah keluarga saya sendiri. 
Saya yang bukan anak sekolah agama telah memberikan kesan bahwa saya ini lebih sok alim ketimbang dua saudari saya yang lebih duluan karena mereka sekolah di sekolah agama. Istilah sekarang itu dibully, ya, oleh keluarga saya sendiri itu sudah biasa saya alami. Meski tidak secara fisik, namun mental saya selalu ditekan.
Dan itu tidak mudah melaluinya.

Hari pertama saya berjilbab adalah tanggal 3 bulan Januari tahun 1993. Itu hari Senin hari pertama ke sekolah di semester itu. Sepulang dari sekolah yang tidak full hari itu, saya kebingungan.
Kenapa?

3 bulan sebelum memutuskan menutup aurat, saya sudah ikut pengajian rutin. Saya masih ingat kelompok kecil kami itu terkhusus untuk anak-anak yang belum berhijab. Jika ingat itu saya agak sedikit geli bercampur sedih, betapa kelas saya dipisahkan dengan teman-teman saya “hanya” karena soal busana. Saya harus nrimo satu kelompok dengan teman-teman yang bukan teman akrab saya. Saya terbiasa membawa selendang untuk ikut ngaji kelompok, sama seperti saya memakai selendang ketika ikut kegiatan remaja mesjid di kampung kala itu.
Di sana tanpa saya sadari, saya berkenalan dengan artikel-artikel yang memuat tentang kewajiban menutup aurat bagi muslimah. Jadi bukan karena disuruh oleh guru ngaji saya, ya. Beliau –guru ngaji- tidak pernah sekalipun meminta saya untuk berjilbab. Yang dilakukannya hanya memisahkan kelas saya dari teman-teman sepermainan saya di sekolah. Kemudian tentu saja beliau mencontohkan dengan gaya busananya sendiri. 

Kala itu gamis adalah jenis gaya busana yang paling bisa diterima oleh akhwat. Artinya kalau akhwat ya harus bergamis. Kalau gak bergamis maka kesannya kurang akhwatnya. Heheh...(jelas ini salah kaprah, ya).
Namun karena suasana kala itu izin jilbab baru turun untuk ke sekolah formal yang bukan  sekolah agama maka hawanya ya seperti itu. Istilahnya, masih kaku kala itu.
Itulah kenapa gamis bahkan hingga saat ini juga bagian dari gaya busana yang paaling saya sukai. Karena ia adalah gaya busana pertama yang membuat saya nyaman, yang membuat saya menemukan diri saya yang sempat hilang bertahun-tahun lamanya, dan itu telah dicontohi oleh orang yang saya hormati, yaitu guru ngaji saya.

Ini saya, 3 tahun yang lalu

Jadi ketika saya sudahmemutuskan untuk berjilbab ke sekolah (itu artinya saya memakai rok panjang semata kaki, baju kurung di atas lutut/ setengah tiang paha, dan berlengan panjang plus jilbab di kepala) maka saya juga mewajibkan diri saya bahwa dikeseharian sayapun harus menutup aurat saya dengan sempurna jika saya bertemu/ berkumpul dengan orang-orang yang tidak muhrim dengan saya.

Nah, apa daya? Kala itu tidak ada jilbab bergo di sekitaran saya. Bahkan saya sangat yakin jika para akhwat ingin jilbab kaus instan (bergo) maka itu harus dipesan ke Padang dulu yang jaraknya kurang lebih 60km dari kampung saya.
Sedangkan di rumah orang tua saya sendiri, yang banyak bertebaran itu hanya songkok kepala dan selendang/ tingkuluk. Meski saat itu sudah ngetren jilbab ala Mbak Tutut, tapi itu jelas tidak menutupi aurat sempurna. Apa dayaku?
Belum lagi pakaian dikeseharian saya jelas-jelas tidak memadai.
Sudah saya katakan sebelumnya, kami ini muslim tapi ya hanya sebatas itu budaya.

Sepulang sekolah di hari pertama, saya memutuskan mengambil satu songkok kepala emak saya. Songkok itu biasa beliau pakai untuk menutupi rambut jika ada acara ke mesjid kemudian beliau padukan dengan selendang sebagai gaya khas orang Minang Kabau.
Saya memakainya. Bahkan saya sempat memakainya sampai ke halaman. Busana saya hari itu, karena ketiadaan rok yang panjang selain rok sekolah saya, saya memakai celana panjang dengan baju kaus berlengan pendek.
Tapi kemudian saya malu dan lari ke dalam rumah karena dari atas angkutan desa yang lewat di depan rumah, saya melihat teman laki-laki, kami satu sekolah.
Saya yang sudah mengetahui bahwa pakaian muslimah secara umum itu baik dalam sholat ataupun di luar sholat adalah sama, merasa malu karena sudah mengkhianati pengetahuan saya.

Syukurlah saya memiliki dua saudari yang sudah duluan berjilbab/ berlilik ke sekolah. Saya pakai rok bekas sekolah mereka, saya ambil baju kaus/ kemeja lengan panjang (almh) kakak saya yang tidak pernah dilirik oleh orang serumah. Untuk jilbab, saya ambil jilbab coklat bekas jilbab pramuka adik perempuan saya. Lalu saya jahit menjadi jilbab langsung (jilbab instan ala saya dari bahan katun linen). Itulah pakaian saya sehari-hari.
Itulah satu-satunya jilbab saya di rumah yang hanya saya cuci sekali seminggu. Itu artinya selama masa penjemuran kain (karena keluarga kami tidak punya mesin cuci) saya tidak keluar rumah.
Di sini pulalah masalah saya bertambah.

Sehingga terkesan oleh keluarga, betapa anehnya saya ini dibandingkan saudari-saudari saya yang setiap hari mengunyah-ngunyah ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits. Bukankah saya telah memberikan kesan betapa sok alimnya saya ini?
Bahkan untuk keluar rumah walau hanya sampai halaman saya tetap menutup aurat saya secara sempurna meski dengan busana yang jarang berganti dan bau yang sedikit asem karena keringat.
Saya yang tadinya sangat diandalkan untuk membantu emak saya mendorong gerobak gabah ke penggilingan padi, sampai dibentak-bentak oleh bapak saya.
Ow...ow, jangan ditanya betapa sedihnya hatiku. 
Gak enak banget lo dibentak-bentak di halaman rumah, di dekat orang lain (tetangga/ keluarga besar) bahkan dipinggir jalan. 

Trik yang diajarkan oleh guru ngaji saya – agar jangan sampai gaya busana tuntunan ALlah ini yang saya yakini sebagai bentuk kewajiban mematuhi perintah ALlah dan sebagai ibadah- adalah tetap memilih diam jika saya tidak bisa menjelaskan. 
Jangan berwajah cemberut apalagi melawan, nikmati saja itu sebagai bentuk ujian cinta kepada ALlah dan Rasul-Nya. Dan tetap melakukan kegiatan yang biasa saya lakukan sebelum berhijab.
Itu artinya saya tetap mendorong gerobak gabah ke penggilingan dengan baju kurung plus kaus kaki satu-satunya. Walau saya harus dicerca. Bahkan tak jarang saya memaksakan diri turun ke sawah.
Lucunya, saya malah dituduh ikut-ikutan aliran sesat oleh kenalan keluarga saya yang berkhidmat di kantor Depag.Benar-benar dibully secara berjama'ah. Oleh keluarga, tetangga, keluarga besar bahkan oleh kenalan keluarga.

Maka ketika saya memiliki jilbab kaus pertama (itu saya beli ketika pertama masuk kuliah), saya eman-eman tuh jilbab, sampai warnanya sangat pudar karena dicuci tiap sebentar, karena itu satu-satunya yang saya miliki.
Barangkali karena tidak mudah bagi saya untuk berhijab sempurna, maka hingga detik ini saya tak rela melepaskannya. Bahkan meski dunia di sekeliling saya sudah berubah, bahkan meski teman-teman seperguruan di dunia persilatan mulai aneh-aneh, saya tetap mencoba bertahan dari godaan.

Syukurnya, boomingnya jilbab ala akhwat salafy, telah membantu saya untuk mudah mendapatkanya yang sesuai dengan selera. Saya akui, dulu saya sempat minder ketika berinteraksi dengan teman-teman seperguruan di dunia persilatan. Ditambah lagi ada yang berkomentar betapa jadulnya gaya saya, sementara ada tuntutan untuk menyesuaikan dengan zaman agar kita bisa diterima. 
Coba bayangkan, perasaan aneh ketika saya merasa lain sendiri di tengah pergaulan dunia persilatan.

Di ujung nelangsa saya, saya sempat bertemu dengan seorang akhwat di depan Pand’s Collection. Busananya salafy banget minus cadar, hitam pula tuh warnanya, sementara  suaminya (mungkin itu suaminya) malah berjeans. 
Di sanalah saya merasa tertampar dan hati saya kembali malu. Sama seperti malunya saya di hari pertama saya sepulang sekolah setelah saya memutuskan berjilbab.


Bahkan untuk model Jilbab Punuk Untapun (saya menyebutnya jilbab tumbung) saya sudah meminta fatwa ke hati saya dulu, jauh sebelum saya mengenal istilah punuk unta itu sendiri.
Barangkali saya memang aneh, apa-apa harus meminta bertanya dulu ke hati. Mungkin karena saya terbiasa mengambil pelajaran dengan cara yang aneh. Sama seperti ketika bapak saya melarang saya pacaran.

*** 







Tidak ada komentar:

Posting Komentar