Meskipun saya terlahir
dari keluarga muslim, namun itu tidak berarti saya tahu banyak hal tentang
Islam dari keluarga. Yang saya ketahui tak lebih dari sekedar pengertian
ibadah secara sempit dan tak lepas dari rukun islam yang 5.
Termasuk hal berhijab.
Dalam pandangan anak kecil saya kala itu, hijab (dalam hal ini jilbab dan lilik
–orang sekarang mengenalnya pashmina) hanya dipakai oleh orang-orang yang
menempuh jalur pendidikan agama. Seperti anak-anak MTsN yang biasa berseliweran
di jalan di depan rumah saya atau anak-anak PGA seperti halnya kakak perempuan
saya. Atau mungkin juga anak-anak yang sekolah di sekolah berasrama putri di
Padang Panjang atau IAIN (STAIN sekarang). Jadi ketika melihat mereka saya
sempat berfikir bahwa hijab hanya untuk mereka.
Kemudian sebagai nilai religius. Meski saya
bersekolah sore di MDA selepas jam belajar SD, hijab hanya sebatas ketika saya
ikutan MTQ. Karena semua guru-guru perempuan saya yang nota bene lulusan
sekolah agama seperti yang saya uraikan di atas, hanya berselendang. Bahasa
Minangnya hanya bertingkuluak. Itu sebagai penanda bahwa kita ini religius.
Seiring berjalannya
waktu, saya yang sejak kecil memang suka memperhatikan orang dan lingkungan
sekitar mulai bertanya-tanya. Saya juga muslim, kenapa hanya anak-anak yang
sekolah di sekolah agama saja yang memakai hijab. Bukankah kami semua ini juga
muslimah? Jika mereka ada kewajiban, tentu saya juga dikenai semestinya.
Hanya saja, jawaban
yang saya terima kala itu dan saya harus berpuas diri dengannya adalah bahwa
jilbab/lilik hanya untuk anak sekolah agama. Karena saya bersekolah di sekolah
umum maka kewajiban itu gugur.
Satu yang membuat
tanya saya membesar adalah, mereka-mereka yang sekolah di sekolah berbasis
agama hanya berjilbab/ lilik ketika ke sekolah atau kegiatan sekolah. Lepas
dari semua kegiatan itu mereka tak ubahnya seperti saya. Istilah kami saat itu
adalah mereka melepas tendanya.
Maka tak heran,
kemudian ketika saya ikut kegiatan-kegiatan yang sifatnya religi, seperti
halnya MTQ, maka itulah kesempatan saya memakai jilbab tanpa perlu merasa
dipandang aneh.
Di sinilah saya mulai
berfikir ada apa dan kenapa.
Sebenarnya, dulu
ketika isu-isu jilbab beracun (seiring dengan peristiwa Lampung yang
menyedihkan itu) saya sudah mulai tertarik dengan jilbab. Namun seperti yang
saya sampaikan di atas, karena saya anak sekolah umum maka kewajiban saya
gugur.
Alhamdulillah, ketika
keinginan saya sudah tak terbendung sementara emak saya tidak ridho saya masuk
sekolah agama (ini karena imej sekolah agama (MTsN) di kampung saya adalah
untuk anak-anak ber-NEM rendah) saya bertemu dengan orang-orang baik yang
mengenalkan saya dengan jilbab sebagai kewajiban.
Keinginan saya semakin kuat
ketika seorang kakak kelas di SMA saya, namanya Uni Tresia Roza Linda,
memutuskan berjilbab. Dan dia tidak diapa-apain. Karena memang saat itu jilbab
mulai legal di sekolah-sekolah.
Kemudian saya temui
beberapa teman satu angkatan saya di SMA ternyata jebolan MTsN, diantara mereka
ada yang melepas jilbabnya namun ada juga yang mempertahankannya. Saya tertarik
dengan teman-teman yang mempertahankan jilbabnya ini.
Di kelas 2 SMA,
beberapa teman mendahului saya dalam berjilbab. Kemudian saya berpacu dengan
mereka.
Kendala yang paling
besar dalam berhijab sempurna (yaitu berjilbab sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an
dan As-Sunnah Rasul) adalah keluarga saya sendiri.
Saya yang bukan anak sekolah
agama telah memberikan kesan bahwa saya ini lebih sok alim ketimbang dua
saudari saya yang lebih duluan karena mereka sekolah di sekolah agama. Istilah
sekarang itu dibully, ya, oleh keluarga saya sendiri itu sudah biasa saya
alami. Meski tidak secara fisik, namun mental saya selalu ditekan.
Dan itu tidak mudah
melaluinya.
Hari pertama saya
berjilbab adalah tanggal 3 bulan Januari tahun 1993. Itu hari Senin hari
pertama ke sekolah di semester itu. Sepulang dari sekolah yang tidak full hari
itu, saya kebingungan.
Kenapa?
3 bulan sebelum
memutuskan menutup aurat, saya sudah ikut pengajian rutin. Saya masih ingat
kelompok kecil kami itu terkhusus untuk anak-anak yang belum berhijab. Jika
ingat itu saya agak sedikit geli bercampur sedih, betapa kelas saya dipisahkan
dengan teman-teman saya “hanya” karena soal busana. Saya harus nrimo satu
kelompok dengan teman-teman yang bukan teman akrab saya. Saya terbiasa membawa
selendang untuk ikut ngaji kelompok, sama seperti saya memakai selendang ketika
ikut kegiatan remaja mesjid di kampung kala itu.
Di sana tanpa saya
sadari, saya berkenalan dengan artikel-artikel yang memuat tentang kewajiban
menutup aurat bagi muslimah. Jadi bukan karena disuruh oleh guru ngaji saya,
ya. Beliau –guru ngaji- tidak pernah sekalipun meminta saya untuk berjilbab.
Yang dilakukannya hanya memisahkan kelas saya dari teman-teman sepermainan saya
di sekolah. Kemudian tentu saja beliau mencontohkan dengan gaya busananya
sendiri.
Kala itu gamis adalah
jenis gaya busana yang paling bisa diterima oleh akhwat. Artinya kalau akhwat
ya harus bergamis. Kalau gak bergamis maka kesannya kurang akhwatnya.
Heheh...(jelas ini salah kaprah, ya).
Namun karena suasana
kala itu izin jilbab baru turun untuk ke sekolah formal yang bukan sekolah agama maka
hawanya ya seperti itu. Istilahnya, masih kaku kala itu.
Itulah kenapa gamis
bahkan hingga saat ini juga bagian dari gaya busana yang paaling saya sukai.
Karena ia adalah gaya busana pertama yang membuat saya nyaman, yang membuat
saya menemukan diri saya yang sempat hilang bertahun-tahun lamanya, dan itu telah
dicontohi oleh orang yang saya hormati, yaitu guru ngaji saya.
Ini saya, 3 tahun yang lalu |
Jadi ketika saya sudahmemutuskan untuk berjilbab ke sekolah (itu artinya saya memakai rok panjang
semata kaki, baju kurung di atas lutut/ setengah tiang paha, dan berlengan
panjang plus jilbab di kepala) maka saya juga mewajibkan diri saya bahwa
dikeseharian sayapun harus menutup aurat saya dengan sempurna jika saya bertemu/
berkumpul dengan orang-orang yang tidak muhrim dengan saya.
Nah, apa daya? Kala
itu tidak ada jilbab bergo di sekitaran saya. Bahkan saya sangat yakin jika
para akhwat ingin jilbab kaus instan (bergo) maka itu harus dipesan ke Padang
dulu yang jaraknya kurang lebih 60km dari kampung saya.
Sedangkan di rumah
orang tua saya sendiri, yang banyak bertebaran itu hanya songkok kepala dan
selendang/ tingkuluk. Meski saat itu sudah ngetren jilbab ala Mbak Tutut, tapi
itu jelas tidak menutupi aurat sempurna. Apa dayaku?
Belum lagi pakaian
dikeseharian saya jelas-jelas tidak memadai.
Sudah saya katakan
sebelumnya, kami ini muslim tapi ya hanya sebatas itu budaya.
Sepulang sekolah di
hari pertama, saya memutuskan mengambil satu songkok kepala emak saya. Songkok
itu biasa beliau pakai untuk menutupi rambut jika ada acara ke mesjid kemudian
beliau padukan dengan selendang sebagai gaya khas orang Minang Kabau.
Saya memakainya.
Bahkan saya sempat memakainya sampai ke halaman. Busana saya hari itu, karena
ketiadaan rok yang panjang selain rok sekolah saya, saya memakai celana panjang
dengan baju kaus berlengan pendek.
Tapi kemudian saya
malu dan lari ke dalam rumah karena dari atas angkutan desa yang lewat di depan
rumah, saya melihat teman laki-laki, kami satu sekolah.
Saya yang sudah
mengetahui bahwa pakaian muslimah secara umum itu baik dalam sholat ataupun di
luar sholat adalah sama, merasa malu karena sudah mengkhianati pengetahuan
saya.
Syukurlah saya
memiliki dua saudari yang sudah duluan berjilbab/ berlilik ke sekolah. Saya
pakai rok bekas sekolah mereka, saya ambil baju kaus/ kemeja lengan panjang
(almh) kakak saya yang tidak pernah dilirik oleh orang serumah. Untuk jilbab,
saya ambil jilbab coklat bekas jilbab pramuka adik perempuan saya. Lalu saya
jahit menjadi jilbab langsung (jilbab instan ala saya dari bahan katun linen).
Itulah pakaian saya sehari-hari.
Itulah satu-satunya
jilbab saya di rumah yang hanya saya cuci sekali seminggu. Itu artinya selama
masa penjemuran kain (karena keluarga kami tidak punya mesin cuci) saya tidak
keluar rumah.
Di sini pulalah
masalah saya bertambah.
Sehingga terkesan oleh
keluarga, betapa anehnya saya ini dibandingkan saudari-saudari saya yang setiap
hari mengunyah-ngunyah ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits. Bukankah saya telah
memberikan kesan betapa sok alimnya saya ini?
Bahkan untuk keluar
rumah walau hanya sampai halaman saya tetap menutup aurat saya secara sempurna
meski dengan busana yang jarang berganti dan bau yang sedikit asem karena
keringat.
Saya yang tadinya
sangat diandalkan untuk membantu emak saya mendorong gerobak gabah ke
penggilingan padi, sampai dibentak-bentak oleh bapak saya.
Ow...ow, jangan
ditanya betapa sedihnya hatiku.
Gak enak banget lo dibentak-bentak di halaman
rumah, di dekat orang lain (tetangga/ keluarga besar) bahkan dipinggir jalan.
Trik yang diajarkan
oleh guru ngaji saya – agar jangan sampai gaya busana tuntunan ALlah ini
yang saya yakini sebagai bentuk kewajiban mematuhi perintah ALlah dan sebagai
ibadah- adalah tetap memilih diam jika saya tidak bisa menjelaskan.
Jangan berwajah
cemberut apalagi melawan, nikmati saja itu sebagai bentuk ujian cinta kepada
ALlah dan Rasul-Nya. Dan tetap melakukan kegiatan yang biasa saya lakukan
sebelum berhijab.
Itu artinya saya tetap
mendorong gerobak gabah ke penggilingan dengan baju kurung plus kaus kaki
satu-satunya. Walau saya harus dicerca. Bahkan tak jarang saya memaksakan diri turun ke sawah.
Lucunya, saya malah
dituduh ikut-ikutan aliran sesat oleh kenalan keluarga saya yang berkhidmat di
kantor Depag.Benar-benar dibully secara berjama'ah. Oleh keluarga, tetangga, keluarga besar bahkan oleh kenalan keluarga.
Maka ketika saya
memiliki jilbab kaus pertama (itu saya beli ketika pertama masuk kuliah), saya
eman-eman tuh jilbab, sampai warnanya sangat pudar karena dicuci tiap sebentar,
karena itu satu-satunya yang saya miliki.
Barangkali karena
tidak mudah bagi saya untuk berhijab sempurna, maka hingga detik ini saya tak rela
melepaskannya. Bahkan meski dunia di sekeliling saya sudah berubah, bahkan
meski teman-teman seperguruan di dunia persilatan mulai aneh-aneh, saya tetap
mencoba bertahan dari godaan.
Syukurnya, boomingnya
jilbab ala akhwat salafy, telah membantu saya untuk mudah mendapatkanya yang
sesuai dengan selera. Saya akui, dulu saya sempat minder ketika
berinteraksi dengan teman-teman seperguruan di dunia persilatan. Ditambah lagi
ada yang berkomentar betapa jadulnya gaya saya, sementara ada tuntutan untuk
menyesuaikan dengan zaman agar kita bisa diterima.
Coba bayangkan, perasaan
aneh ketika saya merasa lain sendiri di tengah pergaulan dunia persilatan.
Di ujung nelangsa
saya, saya sempat bertemu dengan seorang akhwat di depan Pand’s Collection.
Busananya salafy banget minus cadar, hitam pula tuh warnanya, sementara
suaminya (mungkin itu suaminya) malah berjeans.
Di sanalah saya merasa tertampar
dan hati saya kembali malu. Sama seperti malunya saya di hari pertama saya sepulang
sekolah setelah saya memutuskan berjilbab.
Bahkan untuk model
Jilbab Punuk Untapun (saya menyebutnya jilbab tumbung) saya sudah meminta fatwa
ke hati saya dulu, jauh sebelum saya mengenal istilah punuk unta itu sendiri.
Barangkali saya memang aneh, apa-apa harus meminta bertanya dulu ke hati. Mungkin karena saya terbiasa mengambil pelajaran dengan cara yang aneh. Sama seperti ketika bapak saya melarang saya pacaran.
***
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar